Biografi Dewi Sartika – Pahlawan Nasional Emansipasi Perempuan

Raden Dewi Sartika merupakan salah satu pahlawan emansipasi perempuan yang dedikasinya masih terus dikenang hingga sekarang ini. Apalagi ada banyak sekali jasa dan perjuangan yang beliau lakukan semasa hidup untuk perempuan Indonesia. Makanya, tak heran jika banyak orang yang tertarik dengan biografi Dewi Sartika.

Nah, untuk Anda yang juga ingin tahu tentang biografi Dewi Sartika lengkap dengan fakta menarik perjuangan yang beliau lakukan bagi perempuan Indonesia, simak ulasannya dalam artikel di bawah ini!

Biografi Dewi Sartika sebagai Pahlawan Emansipasi Perempuan

Raden Dewi Sartika adalah seorang tokoh perempuan pelopor pendidikan yang ada di Indonesia. Ia berjuang keras dalam mewujudkan pendidikan yang layak bagi kaum perempuan. 

Pada saat itu, perempuan masih belum mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga menyebabkan kaum perempuan pada saat itu sering dipandang remeh oleh kaum laki-laki yang berpendidikan tinggi.

Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember di Bandung, Jawa Barat. Orang tuanya berasal dari priyayi Sunda yang bernama Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Ayahnya merupakan pejuang kemerdekaan pada masa itu. 

Kedua orang tuanya bersikeras untuk menyekolahkan Sartika di Sekolah Belanda, walaupun hal tersebut bertentangan dengan budaya ada pada waktu itu.

Saat menjadi patih di Bandung, Raden Somanagara menentang Pemerintah Hindia-Belanda yang menyebabkan istrinya dibuang di Ternate. Dewi diasuh oleh pamannya yang merupakan kakak dari ibunya yang bernama Arya yang pada saat itu menjabat sebagai Patih di Cicalengka. 

Ia diasuh oleh pamannya lantaran ayahnya meninggal dunia dan juga ibunya yang telah diasingkan ke Ternate.

Dewi Sartika mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda dari pamannya. Ia juga berwawasan kebudayaan Barat yang didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda. Ia menunjukkan potensinya dalam dunia pendidikan saat masih kecil. 

Hal tersebut didukung oleh kegemarannya yang sering memperagakan praktik yang ia terima di sekolah, belajar membaca-menulis, dan bahasa Belanda yang ia ajarkan kepada anak-anak pembantu di Kepatihan. 

Ia melakukannya sambil bermain di belakang gedung kepatihan. Sederhana saja alat yang ia gunakan ialah papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting yang dijadikannya sebagai alat bantu belajar.

Anak-anak pembantu yang ada di Kepatihan mampu untuk membaca, menulis beberapa kata dalam bahasa Belanda yang membuat masyarakat di Cicalengka gempar. 

Masyarakat di sana kaget, karena pada waktu itu belum ada anak (anak rakyat jelata) yang mempunyai kemampuan seperti itu. Mereka memiliki kemampuan tersebut, karena diajari oleh Dewi Sartika.

Saat remaja, Dewi Sartika kembali ke Bandung dan tinggal bersama ibunya. Ia semakin yakin untuk mewujudkan cita-cita selama ini, yaitu mendirikan sebuah sekolah yang bertujuan untuk memajukan pendidikan untuk kaum perempuan. 

Cita-citanya tersebut sejalan dengan cita-cita yang dimiliki oleh pamannya. Namun, cita-citanya tersebut sulit untuk diwujudkan, karena hukum adat pada saat itu yang mengekang kaum perempuan untuk berpendidikan.

Kegigihan dalam berusaha tidak akan pernah mengkhianati. Hasilnya, Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dikhususkan untuk kaum perempuan. 

Pada biografi Dewi Sartika, materi yang ia ajarkan masih sedikit, hanya meliputi merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, dan menulis yang bertujuan untuk membuat perempuan mempunyai keterampilan.

Pada tanggal 16 Januari 1904, setelah berkonsultasi dengan Bupati R.A.A Martanegara, Dewi Sartika membuka sebuah sekolah yang bernama Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama yang ada di Hindia-Belanda. 

Sakola Istri yang bertempat di ruang pendopo Kabupaten Bandung, ia dibantu oleh dua saudara sepupunya, yaitu Ny. Poerwa dan Nyi Oewid dalam mengajar. Murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang.

Pada tahun 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga membuatnya pindah lokasi ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Tempat ini dibeli oleh Dewi Sartika dengan uang tabungannya dan bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. 

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawati. Suaminya juga seorang guru di sekolah Karang Pamulang yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru. 

Dari pernikahan tersebut, mereka memiliki putra bernama R. Atot yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung.

Pada tahun-tahun berikutnya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Lulusan pertama dari Sakola Istri, yaitu pada tahun 1909.

Pada tahun 1912, sudah berdiri sembilan Sakola Istri di setengah dari seluruh kota-kota kabupaten Pasundan. Tahun 1914, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). 

Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri hanya tinggal 3/4. Pada tahun 1920, seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri. Sekolah ini juga didirikan di Bukittinggi oleh Encik Rama Saleh.

Pada bulan September 1929, tepat saat Sakola Kautamaan Istri berusia 25 tahun, Dewi Sartika mengadakan peringatan atas pendirian sekolah tersebut. Pada saat itu juga, Sakola Kautamaan Istri berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi. Atas dedikasinya dalam bidang ini, ia dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 1947 di Tasikmalaya. Dimakamkan di pemakaman Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian, dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan karang Anyar, Kabupaten Bandung.

Dedikasinya dalam mencerdaskan bangsa dan perjuangannya dalam pendidikan di Indonesia, ia diberi gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut diberikan pada tanggal 1 Desember 1966.

Fakta Menarik Tentang Raden Dewi Sartika

Setelah mengetahui biografi Dewi Sartika secara singkat, berikut ini adalah berbagai fakta menarik tentang pahlawan emansipasi perempuan tersebut yang bisa Anda simak, yaitu:

1. Lahir dari Keluarga Pejuang Kemerdekaan

Dari penjelasan singkat pada biografi Dewi Sartika sebelumnya, kamu bisa mengetahui bahwa beliau lahir dari keluarga yang juga merupakan pejuang kemerdekaan. Kecintaannya terhadap dunia pendidikan ternyata juga berasal dari semangat kedua orang tuanya, yakni Raden Somanagara dan Nyi Raden Rajapermas.

Keduanya merupakan tokoh perjuangan yang pada saat itu secara terang-terangan berani melawan Belanda. Bahkan ayahnya, Raden Somanagara sempat diasingkan hingga meninggal di Ternate.

Meski begitu, ibu Dewi Sartika tidak berhenti untuk melakukan perjuangan menghadapi penjajah. Meski perjuangan yang dilakukan tidak bersifat politis, melainkan fokus di bidang pendidikan, namun semangat inilah yang kemudian menular pada Dewi Sartika.

Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, Dewi Sartika pun kemudian diasuh oleh pamannya yang juga merupakan kakak kandung dari sang ibu bernama Aria. Dia adalah seorang patih di Cicalengka.

Berkat sang paman, Dewi Sartika mendapat ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan adat budaya Sunda. Tak hanya itu, seorang Asisten Residen asal Belanda juga turut serta mengajarkan Dewi Sartika tentang budaya dan adat bangsa Barat.

Berkat kedua orang tuanya yang juga merupakan tokoh perjuangan bangsa Indonesia, Dewi Sartika berhasil mendapatkan kesempatan untuk mengenal pendidikan sejak kecil. Hal inilah yang kemudian membuat minatnya terhadap dunia pendidikan semakin besar.

2. Ketertarikannya Terhadap Dunia Pendidikan

Pasca kepergian sang ayah, Dewi Sartika bersama sang ibu pindah dari Cicalengka untuk menetap di Bandung. Pada saat itu, beliau meminta restu pada sang ibunda dan beberapa sesepuh lainnya untuk mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak perempuan.

Sayangnya, ketika itu niat baiknya tidak langsung disambut dengan terbuka. Sebab, ada beberapa anggota keluarganya yang justru meragukan keputusannya. Apalagi jika mengingat tragedi yang menimpa sang ayah.

Akan tetapi, Dewi Sartika begitu beruntung karena mendapatkan dukungan dari sang kakek, R.A.A Martanegara yang ketika itu menjabat sebagai Bupati Bandung. Selain sang kakek, ia juga mendapatkan dukungan dari Inspektur Kantor Pengajaran, Mr. Den Hamer.

Berkat dukungan dari kedua tokoh ternama tersebut, Dewi Sartika akhirnya berhasil membuka sekolah bernama Sakola Istri di Bandung pada tanggal 16 Januari 1904.

3. Berjuang Bersama dengan Sakola Istri

Pada masa pertama kali berdiri, keadaan Sakola Istri pada teks biografi Dewi Sartika tentu saja masih jauh dari kata sempurna. Bahkan saat itu, ruang belajarnya juga berada satu tempat di kantor Kabupaten. Sedangkan jumlah murid perempuan yang ikut belajar hanya sebanyak 20 orang saja.

Meski begitu, Dewi Sartika tetap gigih dan terus berjuang bersama Purmo dan Uwit sebagai dua guru lain yang mengajar. 

Di Sakola Istri, pendidikan yang diajarkan tidak hanya sekedar membaca, menulis, berhitung, dan pelajaran agama saja. Akan tetapi, ada juga beberapa pelajaran yang mampu mengasah keterampilan para perempuan, seperti menjahit dan merenda.

Hal inilah yang kemudian secara perlahan mampu menarik minat dan juga antusiasme dari masyarakat sekitar untuk ikut belajar. Akhirnya, Sakola Istri pun terus berkembang hingga kekurangan kelas saking banyaknya jumlah murid yang bersedia untuk ikut belajar.

Perjuangan yang penuh semangat dari Dewi Sartika untuk mewujudkan impiannya terhadap dunia pendidikan ini bisa kamu lihat kembali dari tulisan-tulisan dalam buku berjudul De Inlandsche Vrouw (Wanita Bumiputera). 

Dalam bukunya tersebut, Dewi Sartika menyebutkan bahwa kesejahteraan yang paling penting salah satunya dilakukan melalui pendidikan dan kesehatan. Baik itu kesehatan jasmani maupun rohani.

4. Pernikahan Dewi Sartika

Saat genap berusia 22 tahun, di dalam teks biografi Dewi Sartika, ia menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata pada tahun 1908. Beliau juga merupakan seorang guru di sekolah Karang Pamulangan.

Adanya kesamaan cita-cita dan ketertarikan dalam dunia pendidikan membuat keduanya berhasil menjadi pasangan yang sepakat untuk terus memajukan pendidikan, khususnya bagi perempuan Indonesia.

Setelah menikah, Dewi Sartika terus mendapatkan dukungan dari sang suami hingga akhirnya berhasil memiliki ratusan murid Sakola Istri pasca enam tahun berdiri. Tak lama setelahnya, ia mengganti nama Sakola Istri menjadi Sakola Kautamaan Istri.

Tujuannya adalah untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi para ibu rumah tangga, agar mereka semakin terampil. Apalagi pelajaran yang diajarkan juga ditambahkan dengan materi pembinaan rumah tangga.

5. Perjuangan Sekolah Raden Dewi Sartika

Pada akhirnya, impian Dewi Sartika ketika kecil benar-benar terwujud. Setelah 25 tahun dari waktu pertama kali Sakola Istri berdiri, lembaga pendidikan ini akhirnya kembali berubah nama menjadi Sekolah Raden Dewi dan berhasil diakui oleh pemerintah.

Bukan cuma itu saja, bahkan Pemerintah Hindia Belanda juga memberikan gedung sekolah baru yang lebih besar sebagai wujud apresiasi. Oleh karena itulah, tanggung jawab yang dipikul oleh Dewi Sartika menjadi semakin besar. 

Apalagi kini ia dituntut untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan adanya tambahan kurikulum ‘Perawatan orang sakit’ yang diajarkan langsung oleh Zuster van Arkel.

Sekolah Dewi Sartika yang semakin besar dan berkembang kemudian memunculkan semangat bagi para perempuan di daerah lain untuk turut serta mendirikan tempat pendidikan khusus untuk perempuan.

Berdasarkan penjelasan pada biografi Dewi Sartika, tidak hanya di wilayah Jawa Barat, seorang perempuan lain bernama Encik Rama Saleh juga memberanikan diri mendirikan sekolah khusus perempuan di Bukittinggi.

Demi mewujudkan mutu pendidikan yang sama dan setara, Dewi Sartika akhirnya mendirikan Organisasi Kautamaan Istri yang bertujuan untuk menaungi sekolah-sekolah khusus perempuan yang berdiri di daerah lain.

Dengan begitu, maka seluruh sekolah bisa mewujudkan sistem pembelajaran yang setara dengan sekolah yang ada di pusat. 

Meski berhasil mendapat pengakuan dari pemerintah, namun perjalanan Dewi Sartika dalam membangun sekolah khusus pemerintah ini tidak selalu berjalan mulus. Pecahnya Perang Dunia I kala itu berdampak pada tingginya harga kebutuhan masyarakat.

Hal inilah yang membuat Dewi Sartika bersama suaminya harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan sekolah. 

Setelah 35 tahun berdiri, suami Dewi Sartika meninggal dunia, sehingga ia harus melanjutkan perjuangan seorang diri. 

Kemudian pada tahun 1945, adanya Perang Dunia II dan pergantian pemerintahan dari Belanda ke Jepang dan kembali lagi ke Belanda-Inggris, membuat Sakola istri menghadapi kesulitan yang sangat besar. Khususnya di kota Bandung, karena saat itu terjadi kekacauan akibat peristiwa Bandung Lautan Api.

Akhirnya, ia pun memutuskan untuk mengungsi ke daerah Garut. Sekolah khusus perempuan yang sudah puluhan tahun ia perjuangkan juga terpaksa harus dihentikan.

6. Banting Tulang Demi Menutupi Pengeluaran Operasional Sekolah

Sejak berubah nama menjadi Sakola Kautamaan Perempuan, hampir seperempat wilayah di Jawa Barat sudah berdiri sekolah khusus perempuan tersebut. Bahkan, kegigihan Dewi Sartika dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Indonesia juga telah menginspirasi banyak perempuan lainnya.

Selama mendirikan sekolah khusus perempuan, dari awal sampai akhir, Dewi Sartika rela banting tulang demi membayar dan menutupi pengeluaran operasional sekolah. Karena biayanya pada saat itu semakin besar, akibat jumlah murid yang semakin banyak.

Meski harus melewati perjuangan yang tidak mudah, karena ia harus terus memutar otak demi memenuhi kebutuhan operasional sekolah, Dewi Sartika justru tidak pernah mengeluh.

Bahkan, Dewi Sartika merasa segala lelah dan perjuangannya selama ini bisa langsung terobati, ketika melihat ada banyak perempuan Indonesia yang pada akhirnya bisa mendapatkan pendidikan. 

Baginya, pendidikan perempuan Indonesia dan generasi penerusnya adalah salah satu hal yang penting. Hal inilah yang kemudian membuatnya tak pernah berhenti dan terus berusaha memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan Indonesia. Meskipun hal tersebut harus didapatkan dengan perjuangan yang sangat berat dan melelahkan.

7. Wafatnya Raden Dewi Sartika

Perjuangan yang dilakukan selama 63 tahun demi pendidikan bagi perempuan Indonesia membuat Dewi Sartika jadi tampak semakin menua dan letih. Apalagi ia harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini tentu saja bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi kondisi kesehatannya juga semakin menurun.

Ketika berada di pengungsian, Dewi Sartika sulit mendapatkan obat-obatan dan makanan bergizi. Pada akhirnya, ketika berada di Cinean, Dewi Sartika jatuh sakit dan langsung dirawat oleh dr. Sanitioso.

Namun, segala pertolongan yang sudah dilakukan tak bisa menyelamatkan nyawanya. Pada tanggal 11 September 1947, tepatnya pukul 09.00 WIB, Dewi Sartika yang dikenal sebagai seorang perempuan hebat dan mengabdikan diri bagi pendidikan perempuan Indonesia. Dinyatakan berpulang ke pangkuan sang Pencipta.

Seluruh masyarakat Jawa Barat yang mendengar kabar tersebut tentu saja merasa berduka dan kehilangan sosok pejuang hebat. Kala itu, karena masih dalam masa pengungsian, pemakaman Dewi Sartika harus dilakukan secara sederhana di daerah Cinean.

Pasca kepergiannya, Dewi Sartika akhirnya mendapatkan gelar Pahlawan Nasional 19 tahun kemudian. Perjuangannya bagi pendidikan perempuan Indonesia dan semangatnya semasa hidup terbukti telah menginspirasi perempuan di masa itu. 

Ketulusannya dalam membangun negeri hingga terus dirasakan oleh setiap generasi penerus bangsa merupakan salah satu wujud perjuangan yang sangat berarti. 

Teladani Kisah Pahlawan Pendidikan Lewat Biografi Dewi Sartika!

Nah, itu dia ulasan singkat mengenai kisah semasa hidup pahlawan pendidikan perempuan di Indonesia melalui teks biografi Dewi Sartika lengkap dengan fakta-fakta menariknya.

Semoga dengan adanya teks biografi Dewi Sartika, kita bisa meneladani kegigihan dan perjuangan beliau semasa hidup demi mewujudkan kesejahteraan bagi pendidikan perempuan Indonesia. Bila perlu, kita juga bisa melanjutkan perjuangannya dengan cara–cara lain sesuai dengan kondisi sekarang ini.

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page