Biografi Sunan Kalijaga (Raden Syahid) dan Dakwahnya

Dalam penyebaran Islam di Indonesia, nama Walisongo sudah tidak asing lagi. Seperti namanya, kelompok ini memiliki 9 tokoh dengan metode penyebaran yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga atau Raden Syahid. Ingin mengenal beliau lebih dalam lagi? Ketahui biografi Sunan Kalijaga berikut ini!

Biografi Sunan Kalijaga

Menjadi seorang tokoh Islam yang berpengaruh, khususnya di pulau Jawa. Membuat nama Sunan Kalijaga telah dikenal oleh khalayak umum dari masa ke masa. Mengingat seberapa pintarnya ia menyebarkan Islam, tentu informasi tentang beliau tidak boleh terlewatkan. Berikut biografinya:

1. Masa Kecil Sunan Kalijaga

Lahir pada tahun 1400-an, Sunan Kalijaga adalah seorang keturunan keluarga bangsawan dari Tuban. Ayah beliau menjabat sebagai bupati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta atau yang sering disebut Raden Sahur. Sedangkan Ibu beliau bernama Dewi Nawangrum.

Sunan Kalijaga memiliki nama kecil Raden Syahid, di mana dalam beberapa literasi terkadang dieja menjadi Raden Said. Sebagai keturunan bangsawan, beliau memiliki sejumlah julukan. Mulai dari Pangeran Tuban, Raden Abdurrahman, Lokajaya, Syekh Malaya, dan Ki Dalang Sida Brangti.

Adapun dua pendapat berbeda yang membahas tentang asal-usul Sunan Kalijaga. Pada pendapat pertama, dikatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Jawa asli dan Arab.

Sementara itu, ada juga yang berpendapat bahwa Sunan Kalijaga adalah orang Arab. Hal tersebut didasari adanya Babad Tanah Jawi dengan urutan silsilah keluarganya mulai dari kakeknya. Dalam silsilah tersebut, Sunan Kalijaga masih keturunan dari Abbad bin Abdul Muthalib, yakni paman dari Nabi Muhammad SAW.

Sejak kecil, guru agama Sunan Kalijaga sudah mengenalkan agama Islam kepada beliau. Hal tersebut bertujuan untuk menjadikan dasar-dasar Islam (Al-Qur’an dan Hadist) sebagai pedoman hidup yang baik untuk Sunan Kalijaga.

Selain itu, ia juga kerap diajarkan materi kepemimpinan sejak masih belia. Sehingga, Sunan Kalijaga sudah bisa menyelesaikan suatu permasalahan dengan mudah. Ini terbukti saat belia Sunan Kalijaga kerap menjadi pemimpin atau pemberi ide ketika bermain bersama teman-temannya.

Meskipun memiliki kepintaran luar biasa, Sunan Kalijaga selalu bersikap rendah hati dan tidak sombong. Sehingga, beliau selalu disukai oleh orang-orang sekitarnya.

2. Perseturuan dengan Sang Ayah

Menurut sejarahnya, ayah Sunan Kalijaga adalah asli keturunan dari pemberontak legendaris kerajaan Majapahit, yakni Ronggolawe. Jauh sebelum lahirnya Joko Said, Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam terlebih dahulu. Hal tersebut didasarkan dari riwayat Masyhur

Walaupun ia adalah seorang muslim, namun ia dikenal sebagai pemimpin yang kejam terhadap pemerintahan Majapahit yang memeluk agama Hindu. Bahkan, ia juga menetapkan pajak yang tinggi kepada rakyatnya.

Sementara itu, Joko Said muda tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat ayahnya. Ia menganggap kebijakan tersebut terlalu kejam untuk rakyat. Oleh karena itu, Joko Said selalu membangkang terhadap kebijakan yang diperintahkan oleh ayahnya.

Puncak pembangkangan yang dilakukan oleh Joko Said adalah saat membongkar lumbung kadipaten dan membagikan padi kepada rakyat Tuban. Di mana saat itu rakyat sedang mengalami kondisi kelaparan akibat kemarau panjang.

Karena tindakan tersebut, ayahnya menggelar sidang untuk mengadili dan menanyakan alasan Joko Said melakukan perbuatannya. Oleh sebab itu, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan mengatakan alasannya kepada sang ayah.

Beliau mengatakan bahwa tindakan tersebut beralasan karena ajaran agama Islam. Ia sangat menentang ayahnya yang melakukan korupsi makanan di lumbung, namun rakyatnya malah hidup dengan miskin dan merasa kelaparan setiap hari.

Akan tetapi, ayahnya tidak terima dengan alasan yang dikatakan oleh Sunan Kalijaga. Ayahnya beranggapan bahwa Sunan Kalijaga terlalu mengguruinya soal agama.

Karena alasan yang tidak diterima tersebut, berakibat membuat ayahnya mengusir Joko Said dari kadipaten. Namun, Joko Said dapat  pulang kembali dengan syarat mampu menggetarkan Tuban melalui bacaan ayat-ayat Al-Qur’an.

3. Riwayat Pernikahan

Menurut catatan biografi Sunan Kalijaga, beliau dikatakan memiliki tiga orang istri. Antara lain adalah Dewi Sarah, Siti Zaenab, dan Siti Hafsah. Dari ketiga pernikahan ini, Sunan Kalijaga memiliki banyak keturunan.

Dewi Sarah adalah istri pertama dari Sunan Kalijaga, ia merupakan putri Maulana Ishaq. Dari pernikahan ini, Sunan Kalijaga dikaruniai 3 orang anak, yakni Raden Umar Said atau Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.

Lalu, istri keduanya bernama Siti Zaenab. Beliau adalah putri dari Sunan Gunung Jati. Berbeda dari pernikahan pertama, dari pernikahannya bersama Siti Zaenab, Sunan Kalijaga dikaruniai 5 orang anak. Antara lain Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panenggak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.

Sementara itu, istri ketiganya adalah Siti Hafsah yang mana putri dari Sunan Ampel. Jika dibandingkan dari riwayat pernikahan lainnya, jumlah dan nama anak Sunan Kalijaga di pernikahan ini tidak ada keterangan jelas yang tersedia.

Sejarah Terciptanya Nama Kalijaga

Berdasarkan anggapan dari masyarakat Cirebon, asal usul nama Kalijaga berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Pasalnya, Sunan Kalijaga dikatakan pernah tinggal di Cirebon. Selain itu, ia juga bersahabat dengan Sunan Gunung Jati.

Akan tetapi, faktanya dusun Kalijaga tidak menunjukkan “Kali” sebagai ciri khasnya. Sementara itu, secara logika nama dusun Kalijaga muncul setelah Sunan Kalijaga tinggal di sana.

Sedangkan menurut riwayat Jawa Mistik atau Kejawen, nama Kalijaga dikaitkan dengan Sunan Kalijaga yang suka berendam di sungai atau kali. Jadi, Sunan Kalijaga diibaratkan seperti orang yang menjaga sungai.

Anggapan tersebut muncul setelah Joko Said bertapa di tepi sungai oleh sang guru, yakni Sunan Bonang selama bertahun-tahun. Namun, tidak sedikit yang berpikir bahwa pendapat tersebut tidak masuk akal.

Kala itu, Sunan Kalijaga kemungkinan menghabiskan waktu lama dengan berendam di sungai, tanpa melakukan shalat, puasa, makan, dan minum. Sehingga, pendapat lain muncul, beberapa beranggapan bahwa nama Kalijaga berasal dari bahasa Arab “Qadli”. Dengan demikian, nama Kalijaga merujuk pada Joko Said.

Ini karena frasa tersebut berasal dari “Qadli Joko Said” yang memiliki arti Hakim Joko Said. Pada tahun 1478, wilayah Demak berhasil didirikan. Melalui catatan sejarah tersebut, Sunan Kalijaga ditugaskan sebagai Qadli atau hakim oleh Sunan Giri.

Masyarakat Jawa dikenal mudah melafalkan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Sebagai contoh seperti Dulkangidah (Dzulqa’dah), Surah (Syura’), Mulud (Maulid), Kalimosodo (Kalimah Syahadah), Sekaten (Syahadatain), dan lain sebagainya.

Cara Dakwah Sunan Kalijaga

Setelah mengetahui biografi Sunan Kalijaga, metode dakwah yang digunakan oleh beliau juga tidak boleh ketinggalan untuk dibahas. Oleh sebab itu, berikut ini beberapa cara dakwah Sunan Kalijaga:

1. Seni Ukir

Seni ukir memiliki peranan penting dalam gerakan penyebaran Islam di Indonesia. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh Islam yang menggunakan metode ini. Ia menggunakan seni ukir berbentuk dedaunan, meninggalkan seni ukir kuno yang berbentuk manusia dan hewan.

Hal tersebut karena sejak Walisongo berdakwah Islam, seni ukir bentuk manusia dan hewan sudah tidak digunakan kembali. Lebih menariknya lagi, ternyata Sunan Kalijaga yang mengawali seni ukir dedaunan terlebih dahulu.

Seni ukir ini dapat ditemukan pada guyau, yakni alat yang berfungsi untuk menggantungkan gamelan. Selain itu, seni ukir dedaunan juga terdapat di rumah-rumah adat Kudus dan Demak.

2. Tembang

Dalam berdakwah Islam, Sunan Kalijaga juga menggunakan tembang. Hal tersebut karena tembang merupakan kebudayaan dan kesenian yang melambangkan masyarakat Jawa. Seperti yang diketahui, Sunan Kalijaga menjadikan Jawa sebagai wilayah dakwahnya.

Menurut biografi Sunan Kalijaga ada beberapa tembang yang diciptakan oleh beliau. Salah satunya tembang Macapat yang memiliki nada toleransi antara budaya Jawa dan Arab. Selain itu, ada juga tembang lainnya, seperti Gundul-gundul Pacul, Suluk Linglung, Lingsir Wengi, Lir-ilir, Kidung Rumeksa ing Wengi, dan lain sebagainya.

Tembang Rumekso ing Wengi memiliki makna doa malam hari setelah melakukan sholat Tahajud. Doa yang dipanjatkan bertujuan untuk meminta terhindar dari segala gangguan negatif. Selain itu, tembang ini juga memiliki gaya bahasa yang sesuai pikiran masyarakat Jawa.

Inilah mengapa makna tembang Rumekso ing Wengi dapat menusuk hati para pendengarnya. Sunan Kalijaga menyusun tembang dengan menggunakan bahasa Jawa, karena masyarakat Jawa cenderung kurang mahir dan masih kesulitan dalam menghafal bahasa Arab.

3. Gamelan

Dalam penyebaran Islam, Sunan Kalijaga menggunakan gamelan sebagai media dakwah saat ada pertunjukan tertentu. Misalnya seperti pertunjukan wayang, ketukan gamelan akan diubah menjadi irama yang sesuai dengan lakon pewayangan.

Selain pertunjukan wayang, gamelan juga sering digunakan untuk mengundang masyarakat datang ke masjid. Bahkan, gamelan juga dipakai pada acara Sekaten dan Grebeg. Ini bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat Jawa.

4. Sekaten dan Grebeg

Grebeg atau Gumrebeg memiliki arti riuh dan rame. Secara istilah, Grebeg adalah sebuah keramaian untuk merayakan acara. Ketika Grebeg berlangsung, biasanya akan ada konvoi dan barisan prajurit yang membawa gunungan. Secara umum, perayaan Grebeg akan diiringi dengan gamelan.

Sementara itu, Sekaten berarti nama dua alat gamelan. Secara istilah, Sekaten adalah bagian dari serangkaian acara Grebeg. Walisongo menjadikan Grebeg dan Sekaten sebagai gagasan untuk menggabungkan kebudayaan Jawa dan ajaran Islam.

Grebeg dan Sekaten adalah kebudayaan yang memang sudah ada sejak kerajaan Hindu Budha. Penggabungan ini kemudian dimodifikasi sesuai dengan ajaran di agama Islam.

Menurut biografi Sunan Kalijaga, beliau merupakan orang pertama yang mencetuskan ide untuk menggabungkan Grebeg, Sekaten, dan agama Islam. Ide ini muncul saat Sunan Kalijaga datang ke masjid dan bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi SAW. Di mana ia sedang mencoba menarik masyarakat sekitar.

Melihat kepopuleran Grebeg dan Sekaten, membuat Sunan Kalijaga berinisiatif untuk menggabungkan unsur kebudayaan tersebut dengan dakwah Islam. Pasalnya, Grebeg dan Sekaten memang sudah dikenal secara luas oleh masyarakat Islam.

Pada Grebeg Maulud, Sunan Kalijaga juga menambahkan gamelan dan tari-tarian untuk meramaikan pelaksanaan acara tersebut. Biasanya, pertunjukan ini berlokasi di lingkungan Keraton. Di mana gamelan akan diletakkan pada halaman masjid, sehingga masyarakat akan tertarik mengunjunginya.

Selain itu, komplek masjid juga dihiasi dengan pernak-pernik menarik, sehingga mampu mengundang masyarakat untuk datang ke masjid. Meskipun pada awalnya masyarakat merasa malu, namun perlahan mereka mulai datang. Mereka akan melewati gapuran dan dituntun untuk mengucapkan syahadat.

Setelah itu, masyarakat diajarkan cara berwudhu yang benar. Selain Grebeg Maulid, ada juga pertunjukkan Grebeg Syawal. Biasanya acara tersebut dilaksanakan pada hari raya Idul Fitri. Sedangkan Grebeg Besar dapat dilakukan pada hari raya Idul Adha. 

Ketika pelaksanaan Grebeg dan Sekaten berlangsung, tersedia juga Gunungan. Memiliki makna kemakmuran dan rasa syukur kepada Tuhan, setiap masyarakat akan mendapatkan Gunungan. Media dakwah Islam dengan Grebeg dan Sekaten yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga sukses besar dan masyarakat menyukainya.

5. Wayang

Wayang adalah salah satu media dakwah yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Alasan menggunakan wayang sebagai media dakwah karena masyarakat Jawa yang sangat gemar menonton wayang. Saat berdakwah, beliau menjadi dalang di wilayah Pajajaran dan Majapahit.

Selain menjadi dalang wayang, Sunan Kalijaga juga menjadi dalang pantun. Jika ada masyarakat yang mengadakan pertunjukan wayang, maka Sunan Kalijaga akan ikut serta dalam acara tersebut tanpa dipungut biaya. Masyarakat hanya cukup membayarnya dengan dua kalimat syahadat. 

Inilah mengapa Islam berkembang dengan cepat. Dalam pertunjukkan wayang yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga, terdapat kisah Ramayana dan Mahabarata. Selain itu, ada juga lakon yang disukai oleh masyarakat, yakni Dewa Ruci.

Kisah Dewa Ruci sendiri adalah pengembangan cerita dari Nawa Ruci. Dalam kisah Dewa Ruci, diceritakan bahwa Bima adalah salah satu Pandawa yang mencari kebenaran melalui bimbingan dari Begawan Drona. Sehingga, Bima dapat bertemu dengan Dewa Ruci.

Selain Mahabarata, Ramayana, dan Dewa Ruci, Sunan Kalijaga juga mengangkat kisah tokoh-tokoh wayang lainnya. Antara lain seperti Gareng, Bagong, Petruk dan Semar. Tentu saja lakon wayang akan dibumbui oleh ajaran agama Islam.

Ketika menjadi dalang, Sunan Kalijaga menjelaskan tentang ajaran tasawuf melalui wayang, khususnya pada lakon Dewa Ruci. Jadi, masyarakat dapat merasa terhibur dengan pertunjukan wayangnya.

Ketika membawakan acara wayang, Sunan Kalijaga selalu melakukan modifikasi pada bentuk wayangnya. Sebagai contoh, jika sebelumnya wayang berbentuk gambar manusia, maka ia mengubahnya menjadi gambar dekoratif yang bentuknya tidak mirip seperti manusia.

Melihat media dakwah wayang yang digunakan oleh Sunan Kalijaga, ini menunjukkan bahwa beliau cerdas dan ahli dalam memadukan unsur budaya dan Islam. Oleh sebab itu, hingga kini kebudayaan dan kesenian wayang tidak pernah lepas dari masyarakat Jawa.

Selain Punakawan dan Dewa Ruci, Sunan Kalijaga juga kerang memasukan tokoh Bima dan Yudistira. Seperti kisahnya, lakon Yudistira mendapatkan azimat Kalimasada akibat tidak mengikuti perang.

Azimat tersebut berfungsi sebagai pelindung diri untuk terhindar dari musuh, sehingga ia dapat memelihara pemerintahan kerajaan secara stabil. Jimat ini memiliki lambang kalimat syahadat. Oleh sebab itu, kebudayaan wayang sering dipentaskan dengan lakon Azimat Kalimasada.

Selain bertujuan untuk menghibur masyarakat, Sunan Kalijaga menjadikan pertunjukkan wayang sebagai pendidikan dan pelatihan rohani. Inilah mengapa pertunjukan wayangnya cenderung menampilkan tokoh-tokoh yang digemari oleh masyarakat.

Hampir keseluruhan media dakwah wayang ini mementaskan kisah-kisah mengenai tasawuf dan akhlakul karimah. Sunan Kalijaga menjadikan umat Budha dan Hindu sebagai target dakwah. Ini karena kedua agama tersebut mengajarkan tentang kebatinan.

Jimat Kalimasada adalah sebuah teks berbentuk kalimat syahadat yang memiliki ketahanan yang lama dan kuat. Oleh sebab itu, Yudistira meninggal dalam kondisi sudah masuk ke Islam. Kata Kalimasada berasal dari kalimat syahadat dengan arti Yang Bersaksi.

Lalu, pada lakon Bima digambarkan seperti sholat. Hal tersebut berdasarkan dari cerita Hindu, bahwa Bima digambarkan sebagai sosok kuat. Sementara itu, sholat adalah tiang agama Islam, karena tanpa sholat maka agama Islam seseorang dapat runtuh.

Sedangkan Arjuna digambarkan seperti puasa. Kemudian Nakula dan Sadewa digambarkan seperti zakat dan haji. Melalui penggambaran tersebut, Sunan Kalijaga memberikan pengetahuan tentang badan manusia dengan menggunakan wayang kepada masyarakat Jawa.

Artinya, wayang kulit yang dipentaskan telah dianggap seperti kehidupan manusia. Ini merujuk ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, di mana beliau mengajarkan masyarakat untuk tidak melihat seseorang dari penampilan luarnya saja.

Sikap Teladan dari Sunan Kalijaga

Setelah mengetahui cara dakwah Sunan Kalijaga berdasarkan catatan biografi. Anda sebaiknya juga melihat nilai sikap baik dari tokoh penyebar agama islam ini. Sebagai seorang tokoh Islam, ada banyak sikap baik dari Sunan Kalijaga yang dapat diteladani, antara lain sebagai berikut:

1. Penuh Ketekunan

Sepanjang usia beliau, Sunan Kalijaga memberikan waktu luangnya untuk mengabdikan diri dalam gerakan penyebaran Islam. Itulah mengapa penyebaran Islam dapat meluas dengan cepat saat di tangan Sunan Kalijaga dan toko Walisongo lainnya.

Lewat sikap penuh ketekunan yang dimiliki oleh Sunan Kalijaga, Islam berkembang dengan pesat. Sunan Kalijaga tetap tekun dan istiqomah dalam menyebarkan Islam, dimana ia berkeliling mulai dari daerah satu ke daerah lainnya.

2. Toleransi Tinggi

Berdasarkan biografi Sunan Kalijaga di atas, beliau menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan seni budaya. Ia menyebarkan pendekatan tersebut dengan cara santun dan toleran, tanpa adanya paksaan.

Ini dibuktikan dari rasa toleransi yang sangat tinggi. Bahkan setiap beliau mementaskan wayang, ia tidak pernah mengharapkan upah. Sebab baginya, ucapan kalimat syahadat sudah cukup untuk menjadi hal yang tidak ternilai.

3. Kreativitas

Sunan Kalijaga dikenal sebagai seniman yang kreatif. Sudah banyak peninggalan karya yang sejarah. Mulai dari lakon wayang kulit, permainan tradisional, rancangan alat pertanian, gubahan tembang, formasi alat gamelan, karya suluk, hingga sumbangsi untuk ketatanegaraan. 

Oleh sebab itu, kreativitas yang dimiliki oleh Sunan Kalijaga sangat patut untuk diteladani, sebab dapat memberikan nilai positif bagi kehidupan manusia. Sehingga kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Menjadi sosok kreator yang penuh kreativitas, beliau dapat mengubah dan menuangkan ide-ide baru untuk mengembangkan agama Islam. Sikap ini wajib diteladani, sehingga umat muslim dapat melakukan inovasi demi kemajuan Islam.

Salah satu contoh karya legendaris dari Sunan Kalijaga adalah tembang Kidung Rumekso Ing Wengi, berikut ini bunyinya:

Teguh hayu luputa ing lara…

Luputa bilahi kabeh…

Jin setan datan purun…

Paneluhan tan ana wani…

Miwah panggawe ala…

Gunaning wong luput…

Geni atemahan tirta…

Maling adoh tan ana ngarah ing mami…

Guna duduk pan sirno…

Dalam bahasa Jawa, Tembang diartikan sebagai lantunan pengantar tidur untuk seorang bayi yang sedang digendong. Tembang memiliki isi doa permohonan kepada Allah SWT. Doa tersebut bertujuan untuk meminta dijauhkan dari segala gangguan dan godaan yang menyesatkan.

Berkat peran Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam di Jawa, Islam dapat membentuk karakter Nusantara yang memiliki sifat toleran, lentur, dan kearifan.

Mengesampingkan mitos dan legenda sebagai latar belakangnya, Sunan Kalijaga telah menciptakan dasar kehidupan masyarakat yang kreatif, harmonis, dan produktif. Lewat tangan Sunan Kalijaga, Islam tumbuh dengan lebih lentur, moderat, kultural, dan menyerap berbagai ekspresi budaya.

Bukan hanya dakwah melalui wayang dan tembang, namun beliau juga menciptakan tradisi sedekah bumi, sulukan, tahlilan, hingga arsitektur masjid yang memiliki nuansa Jawa. Masjid tersebut sering dikaitkan dengan dakwah yang penuh spirit oleh Sunan Kalijaga.

Wafatnya Sunan Kalijaga

Berdasarkan perkiraan sejarah di catatan biografi Sunan Kalijaga, beliau memiliki masa hidup mencapai lebih dari 100 tahun lamanya. Telah diperkirakan bahwa, beliau hidup sejak abad pertengahan 15 hingga akhir abad 16. Jadi, Sunan Kalijaga telah mengalami masa kerajaan Majapahit.

Lebih tepatnya pada masa akhir kekuasaan Majapahit, yakni berakhir pada tahun 1478. Kemudian berlanjut pada kesultanan Demak yang memerintah dari tahun 1481 hingga 1546 M dan Kerajaan Pajang yang berkuasa dari tahun 1546 hingga 1568 M.

Selain itu, Sunan Kalijaga juga mengalami awal kekuasaan Kerajaan Mataram dalam pimpinan Panembahan Senopati. Ia bahkan ikut merancang pembangunan Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon.

Sekitar tahun 1580 M, Sunan Kalijaga dikabarkan telah wafat. Beliau menghembuskan nafas terakhir pada usia 131 tahun. Sunan Kalijaga dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak. Menurut informasi, makam beliau berada di tengah kompleks pemakaman dengan lingkaran dinding sebagai pintu makamnya.

Area makam ini memiliki jarak sekitar 3 km dari Masjid Agung Demak. Tidak berbeda dari makam Walisongo lainnya, makam Sunan Kalijaga diletakkan dalam bangunan tungkub yang memiliki tembok hiasan berbentuk kayu ukir.

Sudah Semakin Mengenal Sosok Sunan Kalijaga?

Melihat dari biografi Sunan Kalijaga dan sikap teladan yang dimilikinya, sudah dipastikan bahwa beliau adalah sosok yang menginspirasi banyak pihak. Karena itu, kita dapat menjadikannya sebagai motivasi dalam menjalani hidup yang lebih baik lagi. Mari implementasikan suri teladan Sunan Kalijaga di kehidupan!

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page