Berbicara tentang tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia, Walisongo tak pernah luput dari perhatian. Dan salah satu anggota Walisongo yang terkenal adalah Sunan Kudus. Postingan kali ini akan membahas biografi Wali Songo lengkap mengenai tokoh yang satu ini, mulai dari silsilah, ajaran, dan lain sebagainya.
Daftar ISI
Pendahuluan
Sebelumnya, perlu kamu ketahui bahwasannya biografi Wali Songo merujuk pada sembilan orang paling dikenal sebagai penyebar agama Islam pertama di Jawa pada sekitar abad 15–16 M. Mereka telah berhasil mengantarkan Jawa sebagai masa kewalian dengan memberikan karakter yang membumi, yang disebut “Islam Jawa”.
Islam yang mereka sebarkan ini dinilai lebih berkarakter sebagai Islam yang toleran dan harmonis. Salah satu Walisongo adalah Sunan Kudus yang telah membawa daerah dengan struktur sosial hirarkis-diskriminatif di daerah yang semula dikenal Tajug menjadi kota yang lebih beradab, sehingga disebut Kudus Darussalam.
Sunan Kudus sukses membangun pranata sosial di wilayah tersebut yang memberi ruang bagi keyakinan lain untuk dapat hidup berdampingan dengan umat Islam.
Profil Sunan Kudus
Sebagai tokoh sejarah, biografi Wali Songo yang satu ini agak sulit dijabarkan. Sebuah prasasti yang ditemukan di atas mihrab Masjid Al Aqsa di Kudus mengungkapkan bahwa bangunan tersebut didirikan pada tahun 956 H (1549 M) oleh Ja’far Shodiq. Yang umumnya diidentikkan dengan Sunan Kudus.
Nama ‘Ja’far Shodiq’ dan bahkan ‘Kudus’ sendiri, telah membingungkan para sejarawan. Karena yang pertama adalah nama seorang Imam Persia (pemimpin spiritual Muslim) abad ke-8, dan Kudus (Arab Al Quds, yang artinya Kota Suci) adalah nama kuno untuk kota Yerusalem.
Melansir dari berbagai sumber, Sunan Kudus memiliki nama lengkap asli yakni Ja’far Shodiq. Beliau adalah putra dari Syarifah Ruhil dan Raden Haji Usman. Beliau merupakan seorang yang terpelajar, juga seorang penyair dan filosof.
Ibunya, Syarifah Ruhil bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sedangkan ayahnya yang bergelar Sunan Ngudung atau Penghulu Rahmatullah dari Undung, suatu daerah di Jipang Panolan (ada yang mengatakan letaknya di utara kota Blora, Jawa Tengah).
Sunan Ngudung sendiri merupakan anak dari Ali Murtadho, kakak dari Sunan Ampel. Jadi, Sunan Ampel dan Ali Murtadho adalah kakek dari Sunan Kudus. Keduanya merupakan putra dari Syekh Ibrahim Samarkand, seorang ulama dari Asia Tengah yang menikah dengan putri dari kerajaan Champa di Vietnam.
Saat kakek buyut Sunan Kudus pergi ke tanah Jawa untuk menyebarkan Islam, kedua anaknya yakni Ali Murtadho dan Sunan Ampel dibawa. Lantas, mereka juga menyebarkan ajaran Islam di Jawa seperti jejak ayahnya.
Sunan Ampel menjadi salah satu tokoh Walisongo, sedangkan Ali Murtadho memiliki keturunan seorang ulama besar, yakni Usman Haji yang kemudian memiliki putra bernama Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus.
Dalam Hikayat Hasanuddin disebutkan bahwa pasangan ayah dan anak ini merupakan ulama dan penyebar Islam yang teguh pendirian dan keras hati. Keduanya pernah turut bertempur dalam perjuangan menggulingkan sisa kerajaan Majapahit. Namun, dalam pertempuran ini Sunan Ngudung gugur sebagai syahid.
Sejak saat itu, Sunan Ngudung ditetapkan sebagai imam keempat Masjid Demak pada masa Sultan Trenggana. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam kelima Masjid Demak pada akhir zaman Sultan Trenggana dan pada awal Sunan Prawata.
Silsilah Sunan Kudus
Untuk lebih jelasnya, berikut ini daftar runtutan silsilah Sunan Kudus sebagai bagian dari biografi Wali Songo:
- Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) bin
- Usman Haji (Sunan Ngudung) bin
- Fadhal Ali Murtadha bin
- Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
- Jamaluddin Al-Husain bin
- Ahmad Jalaluddin bin
- Abdillah bin
- Abdul Malik Azmatkhan bin
- Alwi Ammil Faqih bin
- Muhammad Shahib Mirbath bin
- Ali Khali’ Qasam bin
- Alwy bin
- Muhammad bin
- Alwy bin
- Ubaidillah bin
- Ahmad Al-Muhajir bin
- Isa bin
- Muhammad bin
- Ali Al-Uraidhi bin
- Ja’far Shadiq bin
- Muhammad Al-Baqir bin
- Ali Zainal Abidin bin
- Al-Husain bin
- Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
- Nabi Muhammad Rasulullah
Dari runtutan silsilah tersebut, bisa disimpulkan Sunan Kudus merupakan keturunan ke-24 dari Rasulullah SAW. Sunan Kudus pindah dari Demak ke Kudus, setelah berselisih paham dengan Sultan Demak dalam menentukan tanggal awal bulan puasa.
Riwayat lain menceritakan bahwa kepindahan Sunan Kudus disebabkan oleh kehadiran Sunan Kalijaga ke Demak dari Cirebon atas permintaan Sultan Demak, Sultan Trenggana.
Selain itu, ada juga kemungkinan Sunan Kudus hengkang dari Demak, karena keinginannya untuk hidup merdeka dan berbakti kepada Yang Maha Kuasa sepanjang hidupnya. Tujuannya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan memperbanyak amalan, di luar keraton Demak.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian, dia melakukan perjalanan sekitar abad XVI ke pedesaan tandus di Jawa Tengah, seperti Sragen, Simo, dan Gunung Kidul.
Beliau telah mentransmisikan nilai-nilai Islam sejalan dengan pendekatan Sunan Kalijaga, yakni sangat toleran dengan budaya lokal. Penyampaiannya pun lebih halus dalam mentransmisikan Islam di tanah Jawa.
Guru Sunan Kudus
Selain berguru kepada ayahnya sendiri yang pada dasarnya juga merupakan seorang guru besar, di dalam biografi Wali Songo, Sunan Kudus juga belajar kepada beberapa ulama ternama seperti Kyai Telingsing. Beliau adalah seorang keturunan Tionghoa (dari ibunya) dengan nama asli Ling Sing, putra dari Kanjeng Sunan Sungging.
Ling Sing, tiba di awal abad ke-15. Konon, dia datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Cheng Ho. Seperti disebutkan dalam riwayat, Jenderal Muslim Cheng Ho datang ke Jawa untuk menjalin tali silaturahmi dan menyebarkan Islam melalui perdagangan.
Di tanah Jawa, The Lingsing kemudian lebih dikenal dengan nama Telingsing. Beliau tinggal di daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana.
Di sana beliau tidak hanya mengajarkan agama Islam, tetapi juga mengajarkan kepada warga sebuah patung yang indah. Ukiran kayu gaya Ging Sung sebagai mahakarya ukiran kayu dikenal dengan kehalusan dan keindahannya.
Banyak yang datang ke Kyai untuk belajar seni patung Telingsing, termasuk Raden Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), putra sahabatnya Raden Haji Usman (Sunan Ngudung). Dengan berguru pada Kyai Telingsing, Sunan Kudus mewarisi sebagian sifat positif keturunan Tionghoa, yakni keuletan, kedisiplinan, dan pandai berdagang.
Strategi Pendekatan Masyarakat Oleh Sunan Kudus
Saat mengulik tentang biografi Wali Songo, tentu strategi pendekatannya kepada masyarakat tak boleh luput dari perhatian. Sebab dalam melakukan dakwah, bukan hanya tentang menyampaikan ajaran agama Islam, melainkan juga tentang bagaimana nilai-nilai Islam dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Raden Ja’far Shodiq sadar betul bahwa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat itu sangat penting, supaya memperoleh kepercayaan mereka. Berikut ini penjelasan tentang bagaimana strategi pendekatan Sunan Kudus kepada masyarakat dalam rangka menyebarkan ajaran Islam:
1. Komunikasi yang Luwes
Dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat, Sunan Kudus tidak pilih-pilih latar belakang golongan, suku, maupun keyakinan (agama). Beliau senantiasa menyampaikan ajaran-ajaran Islam melalui komunikasi yang hangat dengan tokoh setempat dan masyarakat.
Berbagai penanda bahwa Sunan Kudus benar-benar dekat dengan masyarakat adalah adanya berbagai peninggalan dan ciri-ciri yang diwariskan olehnya. Umumnya disebut “Masjid Wali” atau dikenal dengan petilasan di kalangan masyarakat marginal, antara lain Masjid Hadiwarno, Masjid Loram, Masjid Nganguk, dll.
Interaksi keagamaan dan sosial oleh Sunan Kudus pun tidak hanya dilakukan di Masjid Agung Menara Kudus (Masjid Al Aqsha). Akan tetapi, beliau bahkan berkeliling dari desa ke desa, bahkan yang paling terpencil.
Supaya bisa dekat dengan masyarakat, berkomunikasi secara langsung dengan mereka, serta memahami masalah dan tantangan yang mereka hadapi.
2. Budi Pekerti yang Lembut
Melalui mendekatkan diri dengan umat dan tradisinya dengan mengisi nuansa keislaman, beliau bahkan memiliki kelebihan dibandingkan dengan Sunan Kalijaga, yaitu kehalusan budi pekerti dan kehati-hatiannya.
Karena kelebihan tersebut, pada teks biografi Wali Songo, tokoh Walisongo lainnya memintanya untuk berdakwah di Kudus, daerah yang masyarakatnya masih menganut teguh agama Hindu–Budha.
3. Mendidik dengan Ikhlas
Sebagai seorang sufi dan panglima Walisongo, Sunan Kudus berpandangan bahwa mendidik adalah kewajiban dan panggilan agama. Bagi beliau mendidik santri sama dengan mendidik anak kandung sendiri.
Dengan demikian, konsep yang dikembangkan oleh Sunan Kudus dalam mendidik santrinya adalah pendidikan yang dijiwai dengan keikhlasan yang tinggi dan berorientasi pada transformasi diri yang berpihak pada nilai-nilai Islam.
Sunan Kudus dikenal sebagai Alim yang memiliki ilmu yang luas, antara lain ilmu fikih, ushul fiqh, tafsir, dan mantiq. Karena kedalaman ilmunya, maka Sunan Kudus disebut sebagai “guru besar” dengan gelar Waliyyul ‘Ilmi, karena dari kebijaksanaannya.
Berilmu, bijaksana, dan ikhlas menjadi satu paket dalam diri Sunan Kudus. Tak heran jika banyak santri yang datang dari berbagai daerah untuk menimba ilmu darinya.
Beberapa dari mereka bahkan mengabdi dan ikut berjuang hingga meninggal dunia. Sebut saja Kyai Daulat dan Kyai Mijil, yang makamnya bersebelahan dengan makam Sunan Kudus.
4. Menghormati Budaya
Di dalam teks biografi Wali Songo, Sunan Kudus juga dikenal sebagai uswah hasanah, terutama sikapnya dalam menghadapi perbedaan budaya ketika menyampaikan Islam di Jawa pada umumnya dan Kudus pada khususnya.
Selama masa dakwahnya, Sunan Kudus tidak lepas dari proses sosial dan dialektika yang intensif sambil menghargai dan menghormati budaya lama, bahkan dengan nilai-nilai baru, yakni ajaran Islam.
5. Menggunakan Cerita
Raden Ja’far Shodiq juga dikenal sebagai sosok kreatif dalam berdakwah. Beliau mengarang cerita-cerita yang menginspirasi umat, terutama yang berkaitan dengan tauhid (keesaan Allah), inti dari Islam.
Salah satu contohnya bisa dilihat pada ajarannya soal penghormatan terhadap sapi. Sunan Kudus mengarang cerita terkait keberadaan sapi di wilayah Kudus bukan karena menganggap sapi sebagai makhluk suci dan layak disembah.
Alasannya adalah melainkan Sunan Kudus pernah merasa kehausan dalam perjalanannya dan pada saat yang sama, beliau mendapatkan susu dari sapi.
Dari kisah ini, masyarakat Kudus memahami bahwa penghormatan terhadap sapi bukan karena sapi itu suci. Tetapi, hanya sebagai bentuk ketakwaan terhadap sesama makhluk Tuhan.
Oleh karena itu, manusia dengan lingkungannya juga harus saling menjaga dan berperilaku baik. Selain cerita soal sapi, ada banyak lagi cerita cerdik Sunan Kudus lainnya yang sarat dengan pesan moral dan keselarasan akidah. Sehingga, lambat laun akhirnya banyak orang yang tertarik dengan ajaran beliau.
6. Tidak Mengabaikan Garis Budaya Masyarakat
Satu lagi yang menjadikan biografi Wali Songo dari Kudus ini adalah beliau tidak mengabaikan titik struktural kebudayaan dalam upayanya untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Selain itu, Sunan Kudus dalam penyampaian dakwahnya juga tampak menonjolkan garis budaya.
Oleh karena itu, selama masa dakwahnya, Sunan Kudus banyak meninggalkan tanda-tanda akulturasi budaya baru yang mencerminkan budaya Islam dengan budaya Hindu dahulu. Sehingga, berdirilah Menara Kudus dan bangunan-bangunan lain yang mencerminkan kerukunan antar kelompok dan lintas budaya yang saling melengkapi.
Berkat dakwah dan ajaran-ajaran beliau, kini daerah Kudus lebih dikenal sebagai Kudus Darussalam. Sebuah pemerintahan yang mengedepankan budaya damai dalam menampilkan Islam menghindari pemaksaan dan menghargai nilai-nilai budaya lokal.
7. Spiritual Healing
Kelebihan lain yang dimiliki Sunan Kudus adalah kemampuannya dalam mengobati berbagai macam penyakit dengan pendekatan spiritual. Hal inilah yang menjadi daya tarik berbagai pihak untuk datang kepada beliau.
Ajaran Sunan Kudus
Hal menarik lainnya dari biografi Wali Songo yang satu ini adalah tentang ajaran-ajarannya. Untuk mengetahuinya lebih lanjut, mari kulik pembahasan di bawah ini!
1. Larangan Menyembelih Sapi
Demi menarik simpati umat Hindu saat itu, Ja’far Shodiq kemudian mengikat lembu (sapi) di halaman masjid menara dengan maksud agar umat Hindu tertarik datang ke masjid.
Setelah umat Hindu berbondong-bondong datang ke pelataran masjid, Sunan Kudus mengucapkan selamat datang, kemudian berbincang, berdakwah, dan bertukar dialog.
Untuk merebut hati umat Hindu, beliau mengumumkan larangan bagi masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih dan memakan daging sapi. Tujuannya untuk menghormati umat Hindu.
Berkat upayanya tersebut, akhirnya banyak di antara umat Hindu bersimpati kepada Sunan Kudus dan bersedia masuk Islam. Begitulah daya tarik Sunan Kudus yang membuat kegiatan dakwahnya sukses.
Larangan ini merupakan simbol penghormatan terhadap umat Hindu yang saat itu masih mayoritas, sedangkan sapi tidak diharamkan bagi pemeluk agama Islam. Berkat ajarannya ini, hingga kini masyarakat Kudus masih memegang teguh tradisi tidak menyembelih sapi, termasuk pada hari raya kurban/Idul Adha.
Sebaliknya, masyarakat Kudus lebih memilih untuk menyembelih kerbau atau kambing. Menurut cerita rakyat lokal, alasan lain mengapa masyarakat Kudus tidak pernah menyembelih sapi adalah mengikuti apa yang dilakukan Sunan Kudus.
Dahulu Sunan Kudus merasa kehausan, tapi kemudian ada seorang pendeta Hindu yang membantunya dengan memberinya susu sapi. Sebagai ungkapan rasa syukur Sunan Kudus, beliau melarang masyarakat Kudus untuk menyembelih sapi.
2. Falsafah Gusjigang
Pada teks biografi Wali Songo, Kudus merupakan salah satu kawasan pesisir yang memiliki corak budaya yang unik. Masyarakat Kudus merupakan komunitas pedagang santri. Mereka adalah penganut Islam puritan seperti yang dicontohkan oleh Sunan Kudus.
Ungkapan Jigang yang merupakan singkatan dari Ngaji dan Dagang, yang merupakan gambaran diri orang Kudus. Falsafah Gusjigang yang diajarkan Sunan Kudus telah mendarah daging dan menjadi ciri khas masyarakat Kudus hingga saat ini.
Sunan Kudus mengajarkan filosofi Gusjigang kepada masyarakat Kudus, sebagai ruh yang harus dipertahankan guna meningkatkan kualitas diri dan ekonomi sebagai bekal hidup. Untuk disebut sebagai wong Kudus (orang Kudus), seseorang harus memiliki fisik dan penampilan, tutur kata, dan perilaku yang baik (Gus, yang artinya Bagus).
Wujud dari ajaran Gus secara fisik berupa gaya berpakaian asli masyarakat Kudus yang terdiri dari peci, baju koko berkerah, dan pakai sarung. Gaya berbusana ini merupakan gaya khas santri di pondok pesantren, meski dalam kesehariannya tidak selalu memakai baju koko.
Perilaku yang baik ini kemudian disempurnakan dengan selalu menuntut ilmu (Ji, artinya belajar atau mengaji). Mengaji dalam konteks ini adalah belajar, tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum sebagai bekal dalam kehidupan.
Masyarakat Kudus, khususnya Kudus Kulon (Kudus Barat) pada pagi hari akan belajar di banyak sekolah umum dan agama yang ada di wilayah Kudus Barat. Sore harinya, mereka akan menambah ilmu dengan mempelajari Al-Qur’an di Taman Pendidikan Qur’an (TPQ).
Masyarakat Kudus juga rutin mengikuti pengajian yang diadakan oleh Majelis Wali Amanat Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK). Tepatnya pada setiap Jumat pagi setelah sholat subuh dan pengajian pitulasan (17-an) yang rutin dilaksanakan setiap bulan Ramadhan.
Ilmu-ilmu tersebut kemudian dijadikan pengetahuan sebagai bekal hidup dan dibuktikan dengan menjadi ahli dagang (Gang, artinya dagang). Berdagang merupakan 9 dari 10 rezeki yang diberikan oleh Allah SWT kepada umatnya.
Sunan Kudus sebagai pendiri dan panutan masyarakat Kudus adalah saudagar yang sukses dan kaya raya, sehingga disebut sebagai Wali Saudagar. Tak heran jika sebagian besar masyarakat Kudus adalah pengusaha tangguh, kaya raya, dan sukses.
Dari pemaparan tersebut, falsafah Gusjigang pada masa kini patut diaktualisasikan dalam bentuk nyata untuk mendukung pembangunan masyarakat Kudus. Pedagang santri yang berperilaku baik ternyata patuh menjalankan ajaran agama dan mereka yang berprofesi sebagai pedagang pun meraih kesuksesan.
3. Tradisi Dandangan
Dandangan merupakan sebuah perayaan atau tradisi masyarakat Kudus menjelang bulan Ramadhan yang dipusatkan di sekitar lokasi Menara Kudus. Tradisi ini terbuka untuk umum, jadi masyarakat dari ras, agama, atau suku mana pun diperbolehkan untuk turut serta memeriahkan perayaan ini.
Tradisi Dandangan telah berlangsung selama ratusan tahun. Dahulu, tradisi ini bermula ketika orang-orang datang ke masjid untuk mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid tentang kapan hari pertama Ramadhan dimulai.
Pengumuman diawali dengan dimulainya pemukulan bedug (gendang) yang terpasang di menara, kemudian bedug berbunyi seperti “dhang..dhang..dhang”. Bunyi bedug inilah yang mengawali penyebutan kata dhandhang, sehingga masyarakat menyebutnya dengan tradisi Dandangan.
Puncak dari perayaan ini adalah sehari sebelum bulan puasa ketika malam menjelang, bedug di Masjid Menara dipukul secara acak. Kemudian pada malam hari, para pemuka agama setempat mengumumkan dimulainya bulan puasa keesokan harinya. Usai pengumuman tersebut, malam itu juga digelar shalat tarawih di Masjid Menara.
Dulu masyarakat berbondong-bondong pergi ke Masjid Menara Kudus menjelang awal Ramadhan untuk menantikan pengumuman awal puasa. Namun kini, tradisi Dandangan menjelma menjadi tradisi yang lebih besar dan meriah.
Selama tiga minggu menjelang Ramadhan, jalanan di sekitar kompleks masjid dan makam Sunan Kudus akan penuh dengan pedagang yang menjual aneka dagangannya. Mulai dari makanan, pakaian, mainan, aksesoris, hingga kebutuhan sehari-hari.
4. Bubur Asyuro dan Bukak Luwur
Di dalam teks biografi Wali Songo, masyarakat Kudus juga memiliki tradisi lain, di mana dalam tradisi tersebut terdapat upacara serah terima jaring di makam Sunan Kudus. Tradisi tersebut dinamakan Bukak Luwur. Pada saat upacara berlangsung, disediakan bubur Asyuro dan nasi jangkrik yang dapat dinikmati oleh seluruh pengunjung.
Para ibu sibuk memasak ratusan pepes dan bubur Asyuro yang kemudian akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sesuai namanya, bubur ini dimasak ketika bulan Syura (Muharram) tiba. Sebagai peringatan selamatnya Nabi Nuh dari banjir bandang pada tanggal 10 Muharram.
Biasanya, bubur Asyuro ini dibuat dan dibagikan sehari sebelum pembukaan Bukak Luwur, yaitu pada tanggal 9 Muharram. Bubur Asyuro terbuat dari 8 bahan berbeda. Ada padi, jagung, kedelai, singkong, kacang tunggak, pisang, kacang hijau, dan kacang tanah.
Selain bahan-bahan tersebut, di dalam bubur Asyura juga ditaburi beberapa jajanan lainnya. Seperti pentol, taoge, cabai merah, tahu goreng, tempe goreng, teri goreng, udang, dan sebagainya.
Agenda utama tradisi ini adalah penggantian jaring makam Sunan Kudus, yang diawali dengan khataman Qur’an, ceramah umum, bacaan dan doa tahlil, kemudian diakhiri dengan bancaan (makan bersama).
Menariknya, tradisi Bukak Luwur ini mampu menjadi media penyatuan representasi muslim sebagai mayoritas etnis Jawa dan non muslim sebagai representasi minoritas etnis Tionghoa. Melalui tradisi ini, masyarakat terbawa semangat yang dibangun Sunan Kudus yang berjiwa multikultural.
Panitia Bukak Luwur selalu menerima bantuan dari berbagai pihak, baik non muslim, etnis Tionghoa sekitar Menara Kudus maupun perusahaan tertentu. Begitu juga nasi bungkus bancaan juga dibagikan kepada masyarakat sekitar, baik yang muslim maupun non muslim.
Bahkan baru-baru ini, ada sebuah kreativitas baru dari tradisi Bukak Luwur, yakni Sendratari Bukak Luwur. Ini merupakan bentuk reproduksi tradisi yang kuat melekat pada masyarakat Kudus, dan kemudian diekspresikan dalam bentuk seni tari. Sendratari Bukak Luwur dibawakan oleh puluhan penari dengan busana adat Kudus.
Peninggalan Sunan Kudus
Biografi Wali Songo selanjutnya yang akan dibahas mengenai Sunan Kudus adalah peninggalannya. Ada banyak bukti sejarah peninggalan Sunan Kudus yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat, di antaranya:
1. Masjid dan Menara Kudus
Dari bangunan ini, bisa kamu lihat bahwa Sunan Kudus menyadari pentingnya menciptakan ruang kebudayaan dalam melakukan transformasi sosial. Masjid Al Aqsa (1549 M) dalam hal ini merupakan nilai simbolik babak baru dalam mentransmisikan nilai-nilai Islam.
Meskipun dari segi bentuk dan struktur masjid masih mempertahankan budaya lokal yang mirip dengan bangunan Pura (tempat ibadah umat Hindu).
2. Tembang Asmarandana
Asmaradana merupakan sejenis tembang macapat yang mengandung makna tentang cinta. Namanya diambil dari kata asmara (cinta) dan dahana (api). Tembang ini dijadikan sebagai media oleh Sunan Kudus dalam mensyiarkan Islam, agar bisa diterima dengan baik dan mudah oleh masyarakat Hindu Budha saat itu.
3. Keris Cintoko dan Dua Tombak
Ini merupakan pusaka peninggalan Sunan Kudus yang hingga kini masih dirawat dan dijaga oleh masyarakat Kudus. Setiap tahun setelah Idul Adha, terdapat tradisi yang dilaksanakan di dekat pintu makam Sunan Kudus, yakni memandikan keris dan tombak tersebut, sebagai wujud penghormatan dan mengingat nilai-nilai yang beliau ajarkan.
Wafatnya Sunan Kudus
Menurut sejarah, Sunan Kudus meninggal dunia pada tahun 1550 M. Pada saat itu, beliau tengah menjadi imam sholat subuh di Masjid Menara Kudus. Beliau diketahui menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan sujud. Sunan Kudus kemudian dimakamkan di lingkungan masjid tersebut.
Kini, Anda Tahu Biografi Wali Songo Sunan Kudus!
Itulah informasi seputar biografi Wali Songo, yakni Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shodiq. Nilai-nilai multikulturalisme dan penuh toleransi yang diwariskannya masih hidup dalam tradisi Islam di Kudus hingga saat ini.