Tahukah kamu bahwa terdapat berbagai dampak labeling pada diri yang berpengaruh pada kesehatan mental? Dampak ini biasanya berupa psikis yang tidak terlihat, namun lambat laun akan menghambat individu untuk berkembang.
Sayangnya labeling menjadi fenomena yang umum dalam masyarakat. Banyak orang justru tidak memahami dampaknya pada diri sendiri. Nah, untuk lebih memahaminya, mari kenali pengertian, dampak, konsep, hingga contohnya di sini!
Daftar ISI
Apa itu Labeling?
Secara sadar atau tidak, kamu pasti pernah menjuluki kenalan, teman, atau anggota keluarga dengan nama lain. Misalnya si bandel, si nakal, si tukang nyontek, si pembangkang, anak bodoh, dan lainnya.
Meski mungkin beberapa orang merasa hal ini adalah hal wajar atau sekedar candaan, sebaiknya kamu hentikan karena ini termasuk labeling. Labeling merupakan tindakan memberikan julukan terhadap seseorang akibat perilaku, kepribadian, atau kebiasaannya.
Teori labelling pertama kali dikemukakan oleh Howard Becker tahun 1963 dalam karyanya yang berjudul Outsiders. Awal munculnya teori ini adalah sebuah pertanyaan populer di kalangan kriminolog tahun 1960-an, yakni, “Apa yang membuat beberapa orang memiliki tindakan menyimpang?”
Kemudian munculah teori dari para ahli bahwa, kebanyakan masyarakat menciptakan kejahatan akibat melabeli sesuatu dengan buruk. Terungkap pula bahwa terdapat dampak labeling pada diri sendiri dan orang lain.
Meski ada pula labeling dengan kalimat-kalimat positif, namun labeling lebih sering digunakan untuk konteks negatif. Seperti mengkritik dengan pedas, menghina, meledek, atau mencemooh seseorang yang dirasa tidak berperilaku sesuai norma sosial. Padahal, julukan tersebut kerap kali tidak sesuai dengan realitas.
Ada pula berbagai dampak pada diri sendiri bagi kamu yang kerap mendapat julukan tidak mengenakkan dari orang-orang sekitar. Bahkan mungkin kamu memberi julukan negatif pada diri sendiri.
Sayangnya, kita memang kerap tidak menyadari telah memberikan label buruk pada diri sendiri. Biasanya, hal ini muncul ketika kita dihadapkan pada keadaan yang membuat stres, merasa bersalah, atau merasa marah pada diri sendiri.
Misalnya saat kamu terburu-buru namun baru menyadari ada barang yang tertinggal di rumah, tanpa sadar mengucapkan, kalimat seperti “Dasar pelupa! HP malah ketinggalan di rumah.”. Bahayanya, kamu akan mulai meyakini konsep diri yang buruk tersebut, meskipun tidak terbukti kebenarannya.
Dampak Labeling pada Diri Sendiri
Terdapat banyak dampak dari pemberian labeling negatif yang memengaruhi kondisi mental seseorang. Berikut adalah berbagai dampak labeling pada diri sendiri yang perlu untuk kamu ketahui:
1. Rasa Malu Berlebihan
Tidak ada seorangpun yang ingin mendapat julukan berkonotasi negatif. Seseorang yang mendapat label negatif pasti akan merasa tertekan secara psikologis. Selain itu, ketika mendapatkan label buruk sepanjang waktu, kamu mungkin akan merasakan malu yang teramat sangat.
Terlebih jika hal ini berlangsung di depan umum. Rasa malu yang terjadi terus menerus dan tidak tertahankan akan membuat seseorang rentan merasa stres yang berujung depresi.
2. Menurunkan Kepercayaan Diri
Masih berhubungan dengan rasa malu. Ketika sering mendapat julukan yang berkonotasi negatif, maka lambat laun rasa rendah diri akan muncul. Sebab, ketika seseorang terus mendapat label negatif, hal itu akan terus menghantuinya.
Penyebabnya karena kamu akan merasa terkotak-kotakan dalam peran yang menjadi ciri-ciri label tersebut. Akhirnya, kamu merasa sulit percaya diri akan potensi dan kemampuan. Jika terjadi secara terus menerus, bisa kamu justru mereka meremehkan diri dan bersikap pesimis.
Tak hanya itu, dalam kasus yang lebih parah, seseorang bisa merasa tidak berharga dan tidak memiliki lingkungan yang bisa menerimanya. Hingga pada akhirnya mereka memilih untuk melakukan isolasi diri.
3. Hilangnya Motivasi
Dampak labeling selanjutnya adalah kehilangan motivasi. Pemberian labeling seperti anak bodoh, anak nakal, gagal, tidak becus, dan lainnya akan menciptakan perasaan negatif dalam diri seseorang. Kamu akan merasa lingkunganmu memiliki ekspektasi rendah, sehingga motivasi untuk berkembang pun menurun.
Parahnya lagi, kamu mungkin akan mempercayai label tersebut, sehingga membatasi diri dalam mencoba hal baru atau mengejar tujuan yang lebih tinggi. Akan timbul pula kekhawatiran pada diri sendiri soal kegagalan. Sebab jika gagal, itu akan mengkonfirmasi label tersebut.
4. Membatasi Diri
Dampak labeling pada diri selanjutnya adalah membatasi atau menutup diri. Ketika kamu diberi label tertentu, hal itu akan memengaruhi bagaimana kamu memandang diri sendiri dan bagaimana kamu berinteraksi dengan dunia luar. Kamu pun akan menjadi pribadi yang lebih tertutup.
Di mana kamu akan membatasi diri untuk melakukan interaksi dengan orang lain, sebab khawatir akan memicu orang lain akan menilai berdasarkan julukan yang beredar. Hal tersebut dapat mengakibatkan perasaan kesepian. Pada akhirnya dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental.
5. Trauma
Faktanya, labeling bisa menyebabkan dampak dalam jangka panjang, yakni trauma. Label-label buruk yang disematkan menyebabkan kerusakan psikologis yang berkelanjutan, sehingga merusak harga diri dan identitas seseorang.
Dampak traumatis lainnya adalah kamu yang mengalami labeling selalu merasa sedang dinilai atau dihakimi orang lain. Hal tersebut dapat menyebabkan kecemasan sosial, sehingga kamu menolak untuk berinteraksi dengan orang lain karena khawatir dihakimi.
Dampak Positif Labeling
Sudah memahami dampak labeling pada diri sendiri yang bersifat negatif? Namun, labeling ternyata bisa bersifat positif jika berupa kata-kata penyemangat, afirmasi, apresiasi, dan lain sebagainya. Pemberian labeling positif bisa meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi seseorang.
Bahkan, telah ada beberapa eksperimen tentang teori labeling. Contohnya seperti yang dilakukan oleh seorang kriminolog dan sosiolog asal George Washington University, William J. Chambliss. Di mana dirinya melakukan percobaan pada 8 siswa yang terkenal nakal dan memberi mereka julukan “orang suci”.
Efeknya siswa-siswa tersebut mulai meninggalkan kebiasaan buruk secara perlahan-lahan, sebab masyarakat telah mengenal mereka sebagai “orang suci”. Mereka tidak ingin lagi dikenal sebagai anak nakal, seperti sebelumnya. Eksperimen ini membuktikan teori labeling mampu mempengaruhi citra seseorang secara nyata.
Contoh-Contoh Labeling
Fenomena labeling bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan pada siapa saja. Agar kamu lebih memahami dan menghindari dampak labeling pada diri dan orang lain, berikut adalah beberapa contohnya:
- Andi beberapa kali telat masuk sekolah karena mengantar ibunya ke pasar. Namun, guru-guru yang kerap melihat keterlambatan Andi menyebutnya sebagai “siswa tidak disiplin”.
- Leni enggan meminjamkan uang pada Dini karena uang sakunya cukup terbatas. Kemudian, Dini dan teman-teman lainnya menjulukinya “si pelit” dan “tidak setia kawan”.
- Agung kerap menangis ketika melihat film-film sedih. Namun, teman-temannya menyebutnya sebagai “si cengeng” atau “anak manja”.
- Stefi kerap pulang malam karena pekerjaannya. Namun, tetangganya menganggap Stefi sebagai “perempuan tidak benar” atau “perempuan nakal”.
- Ilham tidak bisa mengerjakan soal matematika dasar. Kemudian, Ibu menganggapnya sebagai “anak bodoh”.
- Hanafi memiliki sifat lemah lembut, baik dari ucapan dan perilaku. Namun, teman-teman justru menjulukinya sebagai “banci” dan “kurang laki”.
Baca Juga : Dampak Positif dan Negatif IPTEK dalam Berbagai Bidang
Sudah Lebih Memahami Dampak Labeling pada Diri?
Ada berbagai dampak labeling pada diri, baik yang positif dan negatif. Sayangnya, banyak orang belum memahami dampak buruk dari pemberian labeling negatif pada orang lain. Labeling berkonotasi negatif memiliki dampak pada kesehatan mental individu dan sering kali menghambat perkembangannya.
Pada dasarnya, pemberian label pada orang orang termasuk dalam perilaku menghakimi. Ini tentu tidak baik, karena belum tentu apa kita pikirkan sesuai dengan keadaan orang yang mendapatkan label. Maka dari itu, usahakan untuk menghindari label negatif pada diri sendiri dan orang lain.
Daripada menghancurkan mental orang lain atau diri sendiri, lebih baik terapkan penggunaan kata afirmasi yang positif saja. Ini juga bisa menjadi cara seseorang bisa menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan optimis dalam menghadapi berbagai keadaan. Semoga bermanfaat!