Memahami Hukum Kredit dalam Islam serta Dalil Lengkapnya

Dalam menjalani hidup, manusia tidak pernah terlepas dari jual beli. Tujuan dari kegiatan ini tak lain adalah untuk mencukupi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karenanya Allah sangat memperbolehkannya. Nah, saat melakukan jual beli, tak jarang orang lebih memilih kredit. Bagaimana hukum kredit dalam Islam?

Pengertian Kredit 

Kredit dipilih saat uang yang kita miliki tidak mencukupi untuk cash. Metode kredit ini mengharuskan kita untuk mengangsur sejumlah uang beberapa kali sampai lunas dan mencapai target nominal pembayaran.

Kredit bisa dipahami sebagai pemberian penggunaan barang atau uang kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian yang sudah disepakati antara pihak satu dengan pihak lain. 

Biasanya sistem penjualan kredit ini dimaknai sebagai penjualan barang tidak tunai dimana harganya nanti lebih mahal daripada pembayaran secara tunai. Ini menjadi lebih mahal karena sistem pembayarannya secara berangsur sesuai tenggat waktu yang telah disepakati, sampai lunas. 

Sebagai contoh, seseorang ingin membeli handphone dengan harga cash Rp5.000.000,00. Kemudian seseorang tersebut memilih membayar secara kredit dengan angsuran sebesar Rp800.000 selama 8 bulan. Total harga keseluruhan dari handphone tersebut jadi lebih mahal, yakni Rp6.000.000,00.

Kredit seperti ini ada yang menggunakan jaminan, ada juga yang tidak. Begitu juga dengan bunga, ada yang menggunakan bunga ada yang tidak. Jadi tergantung setiap perusahaan atau toko sebagai pihak penyedia kredit. 

Dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998, kredit dijelaskan sebagai penyedia uang atau tagihan yang bisa disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam melunasi utang dalam jangka waktu tertentu dengan bunga. 

Jadi dari sini kredit bisa dipahami sebagai sistem pembayaran menggunakan cara angsuran (cicilan) dengan nominal dan jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan kedua belah pihak (pemberi kredit dan penerima kredit).

Manfaat dan Tujuan Adanya Kredit

Sebelum membahas hukum kredit dalam Islam, ketahui dulu apa saja manfaat dan tujuan adanya kredit. Sistem pembayaran kredit tentu mempunyai manfaat dan tujuan tersendiri baik untuk pihak yang memberi utang dan orang yang berutang (kreditur). Namun secara umum, pembayaran kredit ini bertujuan untuk:

1. Mencari Keuntungan

Dalam perbankan, kredit bertujuan untuk mencari keuntungan. Keuntungan ini didapatkan dari bunga yang dibebankan kepada nasabah (kreditur) sebagai balas jasa karena bank sudah menyediakan dana untuk mereka. 

2. Membantu Para Nasabah yang Punya Usaha

Kredit juga berguna untuk mendukung para nasabah yang ingin membuka usaha sendiri. Di sini pihak bank akan menyediakan dana pinjaman untuk dijadikan investasi atau modal usaha. Meski begitu, pihak bank tetap akan mendapatkan keuntungan dari nasabah.

3. Membantu Pemerintah

Pemerintah juga turut merasakan manfaat dari kredit. Semakin banyak penggunaan sistem kredit, maka semakin meningkat pula dana yang dimiliki pemerintah untuk pembangunan berbagai sektor. 

Selain itu ada juga manfaat dan tujuan dari kredit, antara lain:

  • Mencari keuntungan;
  • Meningkatkan daya guna barang atau uang;
  • Mendukung stabilitas ekonomi;
  • Meningkatkan gairah usaha pada masyarakat;
  • Meningkatkan penjualan dan peredaran barang;
  • dan lain-lain.

Bagaimana Hukum Kredit dalam Islam?

Sejatinya Allah SWT menghalalkan manusia melakukan segala bentuk transaksi jual beli, asalkan kegiatan tersebut sesuai ajaran agama dan tidak melanggar syariat, seperti ada unsur penipuan, spekulasi, dan adanya riba’. 

Sistem kredit adalah sistem transaksi utang piutang yang sebenarnya sudah tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ.

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu melakukan mu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Melihat dari hukum asal jual beli yang mubah asal dengan catatan tidak melanggar syariat, maka bisa dikatakan hukum kredit adalah halal dan sah. Dalam sebuah riwayat yang pernah diceritakan oleh istri Nabi, Aisyah ra, bahwa dulu Nabi pernah bertransaksi dengan membeli barang dari orang Yahudi dengan cara utang. 

Hal ini membuktikan bahwa hukum kredit dalam Islam adalah halal asalkan tidak melanggar syariat Islam (seperti memberatkan kreditur) dan akad yang terjadi antara penjual dan pembeli sudah jelas. 

Mayoritas para ulama pun juga berpendapat kredit adalah boleh, sebab itu adalah bagian dari cara untuk mendapat keuntungan, asalkan akadnya jelas serta tempo dan jumlah pembayaran sudah sesuai kesepakatan antara penjual dengan pembeli. 

Kesepakatan para ulama ini sudah tercantum dalam sidang Al-Fiqh Al-Islami yang diselenggarakan di Jeddah 14-20 Maret 1990. Dalam sidang tersebut diputuskan bahwa hukum kredit dalam Islam dimana harga lebih tinggi dibanding harga tunai adalah boleh. 

Begitu juga dengan menyebutkan harga barang secara kontan sedangkan pembayarannya diangsur dalam waktu tertentu yang diketahui dengan jelas dan pasti. 

Syarat Diperbolehkannya Hukum Kredit dalam Islam

Nah jika sudah mengetahui hukum kredit dalam Islam, sekarang kita perlu tahu apa saja syarat diperbolehkannya kredit sehingga transaksi menjadi sah dan tidak dikenai hukum riba. 

Seorang ulama kontemporer, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi pada sistem kredit. Jika seandainya syarat ini tidak dilakukan, maka akad yang terjadi tidak sah, menjadi riba, dan hukum keuntungannya pun menjadi haram.  Syarat–syarat tersebut antara lain:

1. Akad yang Terjadi Tidak Dimaksudkan untuk Riba

Jual beli kredit tidak boleh memisahkan antara margin dan harga tunai yang diikat dengan waktu dan bunga. Sebab ini seperti konsep riba. Selain itu, tidak juga diperbolehkan seseorang menggunakan jual beli inah.

Jual beli inah berarti seseorang menangguhkan dan menjual barangnya, lalu membelinya kembali dari orang yang telah membeli barang itu sebelumnya. Ia kembali membelinya dengan harga lebih murah dari yang ia jual, namun cara bayarnya dengan cara kontan sesuai kesepakatan. 

Cara seperti ini diharamkan oleh Islam karena mendekati riba. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim harus menjauhi cara ini. 

2. Barang Sudah Dimiliki oleh Penjual

Jika sebelum akad barang masih belum di tangan penjual atau penjual belum memiliki barang itu, kemudian dijual secara kredit, maka hukumnya haram. Penjual harus memiliki dulu barang tersebut baru kemudian boleh menjualnya secara kredit kepada pembeli. 

Begitu juga apabila penjual sudah membeli barang tersebut, namun ia belum menerima barang, maka hukum kredit dalam Islam seperti ini adalah tidak boleh. 

3. Tidak Boleh Menjual Emas secara Kredit

Menurut Syekh Yusuf, menjual emas secara kredit adalah haram, sebab termasuk riba’ ba’i

4. Akadnya Harus Jelas

Saat melakukan jual beli kredit, maka harganya haruslah satu dan juga jelas besaran angsuran serta jangka waktu pembayarannya. Ini bisa dilakukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yakni penjual dan pembeli. 

Selain itu akadnya pun juga harus tegas, tidak boleh dibuat dengan menggunakan penjualan leasing atau jual beli sewa. 

5. Tidak Boleh Mendenda Jika Terlambat Bayar

Seorang penjual tidak boleh membuat persyaratan wajib bayar denda kepada pembeli yang terlambat membayar cicilan. Ini dikarenakan menyerupai kelakuan orang-orang jahiliyah masa Nabi yang suka memakan riba. 

Sudah Paham Bagaimana Hukum Kredit dalam Islam?

Dari sini bisa disimpulkan bahwa hukum kredit dalam Islam adalah boleh, asalkan harus sesuai dengan syariat Islam, seperti jauh dari riba’ dan akad yang dilakukan jelas, baik dari nominal cicilan, maupun jangka waktu pembayaran.

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page