Pasal Karet menjadi salah satu landasan hukum di dalam Undang-undang, sehingga digunakan sebagai tolak ukur yang sangat jelas. Pasal ini memiliki peraturan dengan standar yang cukup ambigu. Inilah mengapa banyak pro dan kontra yang terjadi. Lantas, apa saja jenisnya? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!
Daftar ISI
Apa Itu Pasal Karet?
Rubber Law sebagai nama pasal, peraturan, dan Undang-Undang yang standarnya dianggap terlalu ambigu. Indonesia pun memiliki pasal ini, adapun beberapa hal yang dianggap sebagai barang karet. Mulai dari pencemaran nama baik, lalu lintas, UU ITE, penodaan agama, dan lain sebagainya.
Di Indonesia, rancangan Undang-Undang sekarang termasuk pasal karet. Di antaranya seperti pasal santet, Undang-Undang musik, pasal penghinaan Presiden, dan perppu ormas. Berdasarkan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasal ini memiliki hukum yang standarnya belum jelas.
Pasal ini menjadi istilah rujukan tentang Undang-Undang yang standarnya tidak jelas. Biasanya, pasal ini berguna dalam hukum pidana sebagai definisi pasal hukum itu sendiri. Dengan demikian, aparat kepolisian dan pihak yang terlibat bisa menjelaskannya secara subyektif sesuai keinginannya.
Seperti namanya, pasal ini memiliki sifat karet. Sehingga membuatnya fleksibel, baik itu diregangkan maupun ditarik. Definisi dan batasan dari pasal ini sangat fleksibel, karena bisa menjangkau semua pihak yang terlibat. Bahkan, pasal ini juga bisa berguna untuk menumbangkan lawan yang tidak sesuai sistem pemerintahan.
Lebih menariknya lagi, pasal ini ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan. Bahkan termasuk Bab II Tindak Pidana Buku II, di mana mengatur kejahatan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, menjadikannya sebagai salah satu varian Pemerintah Belanda.
Selain itu, pasal ini juga berguna sebagai peraturan untuk melarang seseorang. Ini karena pada pemerintah Belanda, seseorang yang mengejek Ratu akan mendapat hukuman karet.
Pada bahasa Belanda, peraturan ini menjadi tolak ukur saat penyinggungan tersebut. Biasanya disebut sebagai haatzaai pasalen, yakni sebuah ujaran kebencian. Akan tetapi, pada 4 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal ini, sehingga tidak ada di dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Macam-Macam Pasal Karet
Damar Juniarto (Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network) menyatakan bahwa, ada 9 pasal karet di dalam UU ITE. Beliau berpendapat bahwa pasal bermasalah tersebut seharusnya dihapus. Ini karena ada rumusan karet, sehingga menimbulkan duplikasi hukum.
Salah satu yang termasuk ke dalam pasal bermasalah adalah pasal 27 ayat 3, di mana pasal tersebut membahas tentang defamasi. Pada pasal tersebut, berguna sebagai pengekang aktivitas dan ekspresi untuk warga, aktivitas, jurnalis, dan aliansi lainnya.
Bukan hanya itu saja, pasal ini juga memiliki potensi dalam mengekang masyarakat untuk melakukan kritik. Khususnya kepada pihak pemerintah dan kepolisian. Selain pasal 27 ayat 3 tersebut, ada juga beberapa pasal yang teridentifikasi sebagai pasal karet dan multitafsir. Di antaranya sebagai berikut:
- Pasal 26 ayat 3: Membahas hal-hal yang berkaitan dengan informasi, di mana informasi tidak relevan akan dihapus. Dengan demikian, pasal ini bermasalah tentang sensor informasi.
- Pasal 27 ayat 1: Berkaitan tentang masalah asusila. Alasan pasal ini bermasalah, karena bisa digunakan dalam sistem hukum korban kekerasan yang berbasis online.
- Pasal 27 ayat 3: Mengenai defamasi, karena dianggap dapat digunakan dalam represi masyarakat mengkritik polisi, pemerintah, dan lembaga negara sejenisnya.
- Pasal 28 ayat 2: Ujaran kebencian yang menjadikan masalah individu maupun kelompok. Lewat pasal ini, represi agama minoritas dan warga dapat terjadi. Terutama kritik kepada polisi dan pemerintahan.
- Pasal 29: Pasal ini berkaitan dengan ancaman kekerasan. Menjadi pasal bermasalah karena bisa berguna untuk melakukan pidana kepada seseorang. Sehingga orang tersebut bisa dilaporkan ke polisi.
- Pasal 36: Pasal ini masih menyambung dengan defamasi karena berkaitan tentang kerugian. Di mana pasal ini bisa digunakan dalam memberikan hukuman pidana defamasi yang berat.
- Pasal 40 ayat 2A: Pembahasannya berkaitan dengan muatan yang dilarang, pasal ini bisa dijadikan sebagai alasan internet shutdown terjadi. Sehingga berfungsi untuk mencegah penggunaan dan penyebarluasan berita hoax.
Contoh Pasal Karet di Indonesia
Tidak dipungkiri bahwa pasal karet menjadi tolak ukur sistem pengadilan di Indonesia. Adapun beberapa contohnya, terutama di dalam Undang-undang. Nah, di bawah ini adalah contoh dan penjelasannya:
1. RKUHP
Pada draf RKUHP, pasal ini memiliki banyak contoh pasal karet. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Pemberlakuan tindakan pidana kepada pemerintah telah ada dalam pasal 240 dan 241 di rancangan KUHP tahun 2019. Pada pasal 240, tercatat bahwa siapa saja yang melanggar hukum pemerintah dan menciptakan kerusuhan. Maka, ia akan masuk penjara minimal 3 tahun lamanya.
Sedangkan pada pasal 241, setiap orang yang memakai internet dengan tujuan tidak menyenangkan (khususnya menyinggung pemerintah). Maka, akan diancam pidana penjara 4 tahun.
- Pada pasal 353 RKUHP tahun 2019 mengungkapkan bahwa, menghina pimpinan dan lembaga negara terkait akan mendapat pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Kemudian, bagian 354 juga menyatakan bahwa barangsiapa yang sengaja mengirimkan hal-hal kurang baik kepada pemerintah melalui teknologi informasi. Maka, mereka akan mendapatkan pidana penjara 2 tahun.
2. UU MD3
Contoh pasal karet lainnya adalah UU MD3. Rapat paripurna yang telah terjadi pada 12 Februari 2021 menghadirkan pengesahan revisi UU MD3 oleh DPR Indonesia. Mereka sepakat untuk mengesahkan UU kontroversi tersebut. Meskipun banyak aksi fraksi yang dilakukan oleh Nasdem dan PPO.
Akan tetapi, secara otomatis Undang-undang ini justru meningkatkan kekuasaan DPR. Lebih dari itu, bahkan kekuasaanya menuju ke tahap yang paling serius. Sehingga menimbulkan perseteruan yang semakin parah.
Adapun beberapa isu sorotan dalam perluasan kekuasaan yang DPR lakukan, di antaranya adalah somasi, imunitas, dan persekusi. Undang-Undang ini akan berdampak kepada pihak yang dianggap merendahkan martabat kemanusiaan anggota DPR.
3. UU ITE
Seperti yang sudah Anda baca dalam poin macam-macam pasal karet, UU ITE memiliki sembilan pasal yang bermasalah. Oleh sebab itu, Damar Juniarto menyarankan untuk menghapus pasal ini. Ini karena isinya bermakna karet, sehingga cenderung bertentangan dengan sistem hukum.
Salah satunya adalah pasal 27 ayat 3 yang memiliki masalah dengan peraturan pencemaran nama baik. Pada pasal ini, ekspresi dan opini masyarakat akan dibungkam secara paksa. Bukan hanya itu saja, pasal ini juga berpotensi menurunkan semangat masyarakat dalam mengkritik lembaga negara.
Pro Kontra Pasal Karet
Berdasarkan paham demokrasi, pendapat yang berbeda-beda itu sah-sah saja dan menjadi dinamika demokrasi yang sempurna. Namun, saat pengaturan cenderung sangat keras, maka perlu dilakukan revisi lagi.
Jika melihat dari sisi norma hukum, setidaknya ada 9 interpretasi yang menjadi panduan dalam operasional hukum Indonesia. Nah, panduan tersebut dijuluki sebagai pasal karet dalam Undang-Undang.
Meskipun interpretasinya terlihat praktis, namun akhirnya tergantung pada kepentingan dari pembuat interpretasi tersebut. Pasal ini disebut sebagai ketentuan pasal yang tidak memiliki tolak ukur yang tegas dalam interpretasinya.
Sebab, pasal ini tidak memiliki kandungan interpretasi yang tunggal, melainkan multiinterpretasi. Dengan demikian, pasal ini tidak memiliki daya kepastian dalam hukum, sehingga merujuk kepada ketidakadilan yang implikasi.
Sebagai contoh, saat ketentuan Undang-undang menerapkan satu peristiwa hukum, maka akan banyak poin-poin karet yang dijumpai. Karena ketentuan pasal memiliki hubungan khusus, terutama dengan pemegang kekuasaan di dalam politik itu sendiri.
Inilah mengapa pasal karet dianggap sebagai pasal pembungkam atau self censorship. Biasanya cenderung dalam kondisi sosial politik yang terjadi pada ruang lingkup masyarakat. Namun, secara obyektif pasal ini dijadikan sebagai refleksi penyimpangan atas ketidakadilan yang terjadi.
Dengan demikian, pasal ini justru membuat masyarakat untuk menyerukan ketidakadilan yang sedang mereka rasakan. Salah satu alasannya adalah khawatir dianggap sebagai penghinaan dan pencemaran, apalagi jika berurusan dengan pemegang kekuasaan.
Sudah Mengerti Tentang Penjelasan Pasal Karet?
Jika melihat dari pro kontranya, memang pihak yang paling merugi adalah masyarakat. Khususnya masyarakat lemah yang tidak memiliki dukungan politik. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak pihak yang kurang setuju terhadap pengesahan pasal karet.
Pasal ini cenderung menguntungkan pihak atas seperti pemegang kekuasaan dan lembaga negara. Jika tidak segera mendapat revisi, maka bisa mengakibatkan kehancuran sistem hukum yang serius. Misalnya, pembunuhan demokrasi hingga pihak pemerintah yang dapat melakukan pemaksaan pada orang.