Begini Hukum Berhutang dalam Islam serta Adabnya

Pernahkah kamu berada di dalam situasi yang mengharuskan dirimu untuk meminjam uang kepada orang lain? Apalagi saat ini tidak cuma ke kerabat atau tetangga, tapi banyak lembaga pembiayaan yang mempermudah untuk mendapatkan dana tambahan dengan cepat lewat berhutang. Lantas, bagaimana hukum berhutang dalam Islam?

Apa yang Dimaksud dengan Hutang?

Istilah hutang sudah sangat melekat pada kehidupan sehari-hari dalam masyarakat dari berbagai kalangan. Banyak yang masih beranggapan bahwa hutang itu identik dengan seseorang yang hidupnya miskin atau kurang berkecukupan. Padahal, hutang bisa dimiliki oleh siapa pun, bahkan perusahaan besar sekalipun.

Jadi, apa yang sebenarnya dimaksud dengan hutang? Hutang merujuk pada jumlah uang atau nilai ekonomi lainnya yang dipinjam oleh satu pihak dari pihak lain. Ini adalah kewajiban finansial yang harus dibayar kembali dalam waktu tertentu, biasanya dengan membayar bunga sebagai imbalan atas penggunaan uang tersebut.

Dalam bahasa Arab, hutang disebut juga dengan istilah Qardh yang bermakna memotong. Adapun dalam syari’at Islam, hutang adalah memberikan harta kepada mereka yang membutuhkan atas dasar kasih sayang, dengan harapan dapat dimanfaatkan dengan baik dan dikembalikan kepada si pemberi.

Bagaimana Hukum Berhutang dalam Islam?

Kabar baiknya, Islam sebagai agama yang sempurna sudah mengatur segala aspek kehidupan manusia, salah satunya terkait dengan hukum berhutang. Hutang diatur dalam agama Islam, karena memang merupakan salah satu bagian kecil dalam urusan ekonomi manusia. 

Meskipun terdengar sepele, namun urusan hutang ini tidak boleh diremehkan. Sebab, berhutang juga memiliki beberapa konsekuensi yang harus siap ditanggung oleh si peminjam maupun si pemberi. 

Melansir dari beberapa jurnal, hutang dalam perspektif hukum Islam adalah kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mencapai kemaslahatan hidup. Oleh karena itu, dalam kegiatan ekonominya manusia harus mengikuti aturan prinsip-prinsip Islam.

Adapun hukum berhutang dalam Islam adalah boleh, selama tidak melibatkan praktik riba. Utang piutang dianggap sebagai jalan bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Landasan hukumnya adalah berdasarkan salah satu riwayat hadits shahih, yaitu:

مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَب يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Artinya: “Barangsiapa yang melepaskan seorang muslim dari kesusahannya di dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya di hari kiamat, dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama (suka) menolong saudaranya.” (H.R Muslim)

Selain itu, terdapat juga nas Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hukum kebolehan berhutang dalam Islam, yaitu di dalam Surat Al-Baqarah ayat 245:

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۜطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya: “Barangsiapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

Dalam Islam, utang piutang juga dianggap sebagai amal kebaikan antara kalangan orang yang hidup berkecukupan dengan masyarakat yang kekurangan. Dengan utang piutang, diharapkan dapat menjembatani dua golongan ini untuk saling membantu satu sama lain. 

Dalam praktiknya, pemberian dan pengambilan pinjaman harus didasarkan pada persetujuan dan kontrak yang jelas. Syarat-syarat dan jangka waktunya pun harus  disepakati oleh kedua belah pihak. 

Penerima hutang memiliki kewajiban moral dan agama untuk membayar kembali hutang tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Sedangkan pemberi hutang harus bersikap adil dan tidak mengeksploitasi kesulitan finansial penerima hutang.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa kebolehan hutang dalam Islam ini bukan berarti membebaskan individu supaya bisa seenaknya meminjam harta orang lain untuk keuntungan pribadi, melainkan hanya dalam kondisi yang sangat mendesak. Selain itu, ada kewajiban untuk membayar kembali bagi si peminjam yang harus ditunaikan.

Kapan Diperbolehkan untuk Berhutang?

Dari penjelasan pada poin sebelumnya, bisa kamu ketahui bahwa kebolehan hutang dalam Islam ini bukan berarti membebaskan individu supaya bisa seenaknya meminjam harta orang lain untuk keuntungan pribadi. Akan tetapi, hanya dalam kondisi yang sangat mendesak.

Contohnya untuk memenuhi kebutuhan pokok, membayar biaya berobat, kebutuhan darurat, membayar iuran sekolah, dll. Jadi, jika untuk memenuhi kebutuhan konsumtif semata, seperti kebutuhan tersier atau sekunder, sebaiknya hindari untuk berhutang. 

Kalaupun kamu tetap ingin berhutang, perhitungkanlah terlebih dahulu, apakah kamu benar-benar mampu membayarnya di kemudian hari. Tentunya hal ini bertujuan supaya kamu tidak terjebak dalam arus utang piutang untuk waktu yang lama.

Syarat Berhutang

Apabila kamu memang terpaksa harus berhutang, ada beberapa syarat yang terlebih dahulu harus kamu pahami. Di antaranya:

  • Uang atau harta yang dihutangkan harus halal dan jelas sumbernya.
  • Pemberi pinjaman sebaiknya tidak mengambil keuntungan atau riba dari pinjaman yang diberikan.
  • Peminjam harus berniat untuk menggunakan harta atau uang yang dipinjamkan secara baik dan bermanfaat.
  • Jika kesulitan melunasinya tepat waktu, hendaknya si peminjam mau meminta izin dan maaf serta tetap berusaha untuk membayar kembali.

Adab-Adab Berhutang

Selain syarat dan hukum berhutang dalam Islam, penting juga untuk mengetahui apa saja adab-adabnya. Hal ini berlaku untuk yang berhutang maupun yang memberi hutang. Berikut ini adab berhutang yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam:

1. Sebaiknya Ada Catatan Tertulis 

Sebaiknya membuat perjanjian tertulis dengan menghadirkan minimal dua orang saksi yang adil dan dapat dipercaya. Tujuannya adalah untuk menghindari perselisihan dan kesalahpahaman di masa mendatang. Hal ini tercantum dalam nas Q.S Al-Baqarah ayat 282:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian mencatatnya.”

2. Harus Ada Niat Melunasi Hutang

Adab ini sebagaimana hadits yang berbunyi, “Barangsiapa yang berhutang, tapi ia berniat tidak melunasi hutangnya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri.”

Seseorang yang hendak berhutang harus memiliki rasa takut, kalau nanti tidak mampu untuk melunasinya, karena alasan dosa dan sulit untuk masuk surga. Sebagaimana hadits riwayat Muslim yang artinya, “Semua dosa orang yang mati syahid diampuni, kecuali ia memiliki hutang.”

3. Jangan Suka Menunda Pembayaran Hutang

Ada hadits shahih yang menyebutkan bahwa menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayarnya adalah salah satu bentuk kezaliman. Jadi, jika sudah tenggat waktu pembayaran, segeralah untuk membayarnya kembali, baik itu dengan cara dicicil atau dilunasi.

Jangan malah menunggu untuk ditagih dahulu baru membayar. Selain itu, jangan pernah juga untuk mempersulit dalam pembayaran hutang dengan banyak beralasan.

Adab lain yang juga tak kalah untuk diperhatikan saat hendak berhutang adalah:

  • Jangan pernah menjanjikan sesuatu, apabila tidak mampu menepatinya.
  • Tidak meremehkan hutang, meskipun sedikit.
  • Pihak yang berhutang harus bersikap sopan dan hormat kepada pemberi hutang. Jangan sesekali berbohong, menipu, apalagi melarikan diri dari tanggung jawab untuk melunasi hutang.
  • Bagi si peminjam, jangan pernah lupa mendoakan orang yang telah memberi pinjaman.

Sudah Paham Hukum Berhutang dalam Islam?

Itulah penjelasan tentang hukum berhutang dalam Islam beserta syarat dan adabnya. Meskipun hukumnya boleh, ingatlah bahwa berhutang sama sekali tidak bisa dianggap remeh, karena jika ada hutang di dunia yang belum terlunasi, maka itu bisa menjadi penghalang kamu untuk masuk surga.

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page