Menjadi warisan budaya yang eksis sejak ratusan tahun silam, alat musik angklung khas daerah Jawa Barat ini telah mendunia. Meski terbuat dari potongan bambu, kesenian tradisional tersebut mampu menghasilkan lantunan irama suara yang khas, bersamaan dengan cara memainkan jenis-jenis angklung yang juga tergolong unik.
Tak hanya sarat akan unsur adat istiadat, instrumen tradisional ini diketahui memiliki nilai fungsional yang lebih luas lagi. Terbukti dengan penggunaan angklung yang masih ada pada upacara adat, keagamaan, atau konteks hiburan masyarakat sekalipun.
Artikel ini akan mengulas angklung, mulai dari sejarah, jenis, hingga cara memainkannya. Tanpa berlama-lama lagi, simak pembahasan lengkapnya!
Daftar ISI
Mengenal Sejarah Alat Musik Angklung
Berdasarkan sejarahnya, alat musik angklung telah ada sebelum Indonesia mengenal pengaruh Hindu, sekitar abad ke-5 Masehi. Walaupun terkenal sebagai instrumen tradisional dari Jawa Barat, menurut Jaap Kunst dalam Music in Java, angklung juga terdapat di daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan.
Awal mula penggunaan angklung di Jawa Barat, yaitu pada masa Kerajaan Sunda (abad 12–16). Pada era tersebut, permainan angklung berfungsi untuk memberikan pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci, sebagai lambang dari Dewi Sri atau Dewi Padi.
Sementara itu, kidung Sunda menyatakan bahwa angklung sengaja masyarakat mainkan untuk mendorong semangat prajurit dalam peperangan.
Dengan berkembangnya zaman, angklung masih tenar sebagai alat musik pertunjukan kesenian dan khalayak umum mulai mengenalnya pada abad ke-19 melalui para seniman.
Adapun, dua seniman yang berperan dalam keberlangsungan alat musik angklung di Jawa Barat adalah Daeng Soetigna selaku Bapak Angklung Indonesia, serta Udjo Ngalagena yang turut mengembangkan teknik permainan angklung salendro dan laras pelog.
Pada tahun 1938, Daeng Soetigna berhasil menciptakan jenis alat musik tradisional tersebut dengan tangga nada diatonis. Berbeda dengan angklung pada umumnya, angklung hasil inovasi Daeng Soetigna mampu berkolaborasi dengan alat musik barat yang lainnya.
Upaya melestarikan angklung selanjutnya Udjo Ngalagena teruskan dengan mendirikan tempat wisata seni budaya unggulan di Bandung yang bernama Saung Angklung Udjo. Hingga kini, tempat tersebut menjadi pusat kreativitas yang berkaitan erat dengan angklung.
Seiring bertambahnya waktu, alat musik angklung semakin mendulang popularitas yang tiada henti. Terbukti, pada tahun 2010, UNESCO menetapkan angklung sebagai warisan budaya dunia.
Jenis Alat Musik Angklung
Pada praktiknya, terdapat dua jenis angklung, yaitu tradisional dan modern. Umumnya, angklung tradisional masih berhubungan dengan upacara adat. Sementara angklung modern lebih kepada pelestarian angklung. Berikut ulasannya:
1. Angklung Gubrag
Sebagai alat musik yang tertua, jenis angklung ini dapat kamu temukan di Kampung Cipinang, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penggunaan angklung gubrag sendiri khusus untuk menghormati dewi padi.
Kemunculan angklung gubrag akan mulai terlihat jika Kampung Cipinang sedang mengalami musim paceklik. Dalam prosesnya, masyarakat kampung terkait akan melakukan ritual kepada Dewi Sri untuk segera menurunkan hujan.
Hingga saat ini, angklung gubrag masih aktif tampil pada beberapa kegiatan masyarakat, seperti melak pare (menanam padi), ngunjal pare (membawa padi), dan ngadiukeun leuit (menyimpan padi ke lumbung).
2. Angklung Badeng
Sejatinya, badeng adalah seni pertunjukan yang mempergunakan alat musik angklung sebagai bagian yang paling mendominasi dalam pagelaran tradisional tersebut. Mulanya, angklung badeng berfungsi sebagai instrumen pendukung untuk upacara padi.
Seiring dengan perkembangan Islam, kesenian yang berasal dari Garut ini beralih fungsi sebagai hiburan dan juga sekaligus sarana penyebaran agama Islam kepada masyarakat.
Oleh karena itu, lagu-lagu yang mengiringi angklung badeng kental dengan unsur Islami. Syair lagunya pun juga turut menggunakan bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Beberapa lagu tersebut, antara lain ya’ti, kasreng, solaloh, yautike, lili limbungan, dan lailahaileloh.
3. Angklung Kanekes
Sesuai dengan namanya, alat musik angklung ini biasa dimainkan oleh masyarakat Desa Kanekes (Baduy). Karena masih memegang teguh tradisi dan budaya, masyarakat Desa Kanekes sepakat menggunakan angklung sebagai instrumen untuk upacara tradisional dan ritus bercocok tanam.
Kendati demikian, masyarakat Kanekes masih bisa melakukan permainan angklung di luar konteks ritus padi, dengan harus tetap patuh terhadap aturan adat yang ada.
Misalnya, penabuhan angklung yang hanya boleh sampai masa ngubaran pare atau mengobati padi saja. Setelah enam bulan berikutnya, kesenian angklung tidak boleh masyarakat mainkan sama sekali.
Pada proses pembuatannya, kelompok yang berhak untuk membuat angklung adalah suku Baduy Luar (Kajeroan) yang memiliki darah keturunan dari para pembuat angklung terdahulu.
4. Angklung Padaeng
Menjadi salah satu jenis yang cukup kondang, angklung padaeng merupakan varian modern dari alat musik angklung. Inovasi angklung ini merupakan hasil karya dari tangan ajaib seorang Daeng Soetigna yang memakai dasar teori musik dunia Barat sebagai komponen utamanya.
Apabila angklung tradisional menggunakan tangga nada slendro, pelog, atau madenda, maka angklung padaeng memainkan 7 skala nada diatonis.
Secara spesifik, angklung padaeng terbagi menjadi dua jenis, yaitu angklung melodi dan angklung akompanimen. Hingga pada akhirnya, terdapat pembaharuan inovasi yang berkelanjutan dan menghasilkan jenis angklung yang lebih berkembang pula. Sebagai contoh, arumba, angklung sarinade, angklung toel, dan angklung sri murni.
Baca Juga : 10 Lagu Daerah Yogyakarta dan Penciptanya, Ada Gethuk!
Cara Memainkan Alat Musik Angklung
Pada praktiknya, terdapat tiga cara untuk memainkan alat musik angklung dan setiap langkah akan menghasilkan jenis bunyi yang berbeda. Adapun, rangkaian bunyi tersebut berasal dari benturan antar tabung dan bilah bambu.
Cara memainkannya pun relatif mudah, pemain hanya cukup memegang angklung dengan satu tangan. Sedangkan, tangan lainnya harus menggoyangkan alat musik tersebut hingga nantinya akan terdengar suara nyaring. Berikut beberapa teknik memainkannya:
1. Teknik Kurulung
Umumnya, teknik getar atau kurulung adalah cara yang paling mendasar dan banyak pemain gunakan dalam memainkan angklung. Teknik ini mengharuskan posisi angklung berada dalam keadaan yang lurus
Selanjutnya, pemain akan memegang rangka angklung dengan satu tangan. Lalu, tangan yang satunya lagi menggetarkan alat musik angklung ke kanan dan kiri dengan tempo yang cepat. Dengan demikian, menghasilkan nada yang sesuai keinginan dan tidak terputus-putus.
Sebagai informasi, panjang lantunan nada bergantung pada lamanya waktu saat menggetarkan angklung. Hasil bunyi oleh teknik kurulung ini sering kali banyak orang interpretasikan seperti nada gesekan biola.
2. Teknik Cetok
Berbeda dengan yang sebelumnya, posisi alat musik angklung pada teknik cetok atau sentak harus miring. Hal tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya untuk menghindari potensi pantulan tabung yang akan menyebabkan cetok bergema.
Cara memainkan teknik cetok angklung, yaitu dengan memukul tabung horizontal yang berada tepat pada bagian dasar angklung oleh kedua telapak tangan. Teknik ini nantinya dapat menciptakan bunyi pendek sebanyak satu kali atau staccato, yang implementasinya juga hampir mirip dengan bunyi pada pemetikan biola .
3. Teknik Tengkep
Kerap kali disamakan dengan kurulung, teknik tengkep ternyata juga sama-sama menggoyangkan tabung besar pada angklung dengan posisi yang lurus. Hanya saja, perbedaannya terletak pada tabung kecil yang memang sengaja ditahan dengan jari kelingking, supaya tidak ikut bergetar.
Kendati rumit dan memerlukan latihan yang ekstra, teknik ini menghasilkan suara yang lebih lembut daripada teknik kurulung. Lebih lanjut, teknik tengkep lazim pemain gunakan untuk menghadirkan suasana pertunjukan seni musikal yang syahdu, sendu, atau bahkan mistis sekalipun.
Yuk, Lestarikan Alat Musik Angklung!
Tak dapat dipungkiri, alat musik angklung dari tanah Sunda ini memang memiliki ciri khas dan daya tarik yang tiada tandingannya. Meskipun terbuat dari bahan-bahan yang sederhana, tetapi tidak akan mengurangi satu pun keindahan irama nada diatonis dan nilai fungsionalitas yang terkandung di dalamnya.
Karena sudah menjadi identitas dan budaya bangsa Indonesia, maka penting untuk senantiasa melakukan pelestarian angklung yang berkelanjutan. Hal tersebut bertujuan agar kesenian angklung tidak akan tergerus oleh arus globalisasi maupun perkembangan modern yang lainnya.