Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, kebijakan Politik Etis menjadi sangat penting dalam membentuk landasan moral dan prinsip yang berkelanjutan bagi bisnis dan pemerintahan. Kebijakan politik yang kuat dapat membantu menciptakan lingkungan yang adil, transparan, dan bertanggung jawab.
Dalam artikel ini, kami akan membahas pentingnya kebijakan ini dalam menjaga kestabilan politik dan sosial, serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Daftar ISI
Pengertian Kebijakan Politik Etis
Kebijakan Politik Etis adalah seperangkat prinsip dan norma yang mengatur perilaku politik dalam menjalankan tugas pemerintahan. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi, dan akuntabilitas.
Dalam konteks kebijakan tersebut, pejabat publik diharapkan dapat bertindak secara jujur, adil, dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Karena sejatinya penerapan prinsip etika politik mencakup integritas, transparansi, partisipasi publik, perlindungan hak asasi manusia, dan pencegahan korupsi.
Kebijakan Politik Etis menjadi landasan penting dalam membangun pemerintahan yang bertanggung jawab, menjaga kepercayaan publik, dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Latar Belakang Terbentuknya Kebijakan Politik Etis
Konsep baru mengenai politik etis muncul dari kelompok sosialis-liberal yang prihatin terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat pribumi di Indonesia pada masa tersebut.
Pada 1863, sistem tanam paksa dihapus dan digantikan dengan penerapan sistem ekonomi liberal oleh Belanda, yang memungkinkan modal swasta masuk ke Indonesia. Kebijakan politik ekonomi ini secara tidak langsung membuka peluang bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di Indonesia.
Perluasan perkebunan swasta juga terjadi di wilayah Sumatera Timur. Namun, sistem ekonomi ini tidak mengubah nasib rakyat pribumi karena fokusnya pada pencapaian keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka.
Kondisi buruk yang masyarakat pribumi alami sebagai akibat dari eksploitasi ekonomi oleh pemerintah dan perusahaan swasta Belanda, terutama setelah tahun 1870.
Umumnya, kebijakan pemerintah kolonial tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap penduduk pribumi. Kondisi ini menimbulkan kritik dari kelompok sosialis di Belanda.
Namun, kebijakan tersebut berdampak negatif pada masyarakat pribumi. Mereka mengalami tekanan yang semakin berat, perlindungan terhadap hak-hak rakyat terhadap kapitalisme modern semakin melemah, dan kondisi kesejahteraan hidup mengalami kemerosotan.
Tokoh-tokoh yang Berperan dalam Pembentukan Kebijakan Politik Etis
Selama empat dekade, mulai dari tahun 1901 hingga 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan kebijakan Politik Etis. Kehadiran kebijakan ini dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Belanda seperti Pieter Brooshooft, jurnalis dari koran De Locomotief, dan politisi C. Th. van Deventer.
Kebijakan ini menjadi landasan bagi upaya pemerintah kolonial dalam memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi di Hindia Belanda. Selain dua tokoh tersebut, ada beberapa individu lain yang terlibat dalam kebijakan ini, di antaranya adalah:
1. Mr. WK Baron van Dedem
Baron van Dedem merupakan seorang pengacara dan politikus liberal asal Belanda yang memiliki peran penting dalam mengkritik kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat pribumi di Indonesia.
Baron berupaya memisahkan keuangan koloni Hindia Belanda dari keuangan negara Belanda. Selain itu, Dedem juga mendesak adanya desentralisasi kekuasaan di wilayah-wilayah kolonial.
2. Hendrik Hubertus van Kol
Hendrik Hubertus van Kol, seorang politikus Belanda yang juga berperan sebagai juru bicara kolonial, ikut mengungkapkan kritik yang sama dengan Baron van Dedem. Utamanya terhadap kebijakan Belanda yang menyebabkan penderitaan pada masyarakat pribumi di Indonesia.
Menurut Hendrik, kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah Belanda terapkan justru berdampak merugikan penduduk di wilayah jajahan. Sehingga ia mendukung kebijakan Politik Etis ini.
3. Walter Baron van Hoevel
Baron van Hoevel, seorang pendeta Belanda, terkenal karena sering memprotes kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak menguntungkan rakyat. Saat bertugas di Batavia pada 1848, ia secara aktif menentang program tanam paksa yang pemerintah kolonial Belanda terapkan terhadap penduduk Indonesia.
Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mengusir Baron karena dianggap memiliki pandangan radikal. Meskipun demikian, Baron tetap teguh dalam perjuangannya untuk kesejahteraan rakyat pribumi dengan mempromosikan pendidikan yang bebas diskriminasi.
4. Fransen van de Putte
Fransen van de Putte menghasilkan buku Suiker Contracten sebagai bentuk protes terhadap praktik tanam paksa. Sebagai keturunan Liberal Belanda, Fransen secara aktif mengkritik sistem kebudayaan kolonial yang memanfaatkan sumber daya alam dan manusia di Indonesia dengan paksaan.
Selama sisa masa jabatannya, Fransen terus berjuang untuk menghapus beberapa pelanggaran yang pemerintah Belanda lakukan.
5. Perdana Menteri Torbeck
Sejak Belanda menerapkan kebijakan tanam paksa dengan maksud meningkatkan kesejahteraan penduduk di negara mereka, banyak warga pribumi yang mengalami penindasan.
Masyarakat pribumi dipaksa untuk bekerja tanpa waktu istirahat yang cukup, tanpa upah yang memadai, dan tanpa perlindungan seperti pesangon atau jaminan sosial.
Pada akhirnya, Perdana Menteri Torbeck juga ikut berbicara untuk membela kepentingan Indonesia dengan mengkritik kebijakan yang Belanda lakukan terhadap negara tersebut.
6. Douwes Dekker (Multatuli)
Ketika kebijakan tanam paksa diberlakukan terhadap penduduk pribumi, Douwes Dekker atau yang dikenal sebagai Multatuli menjadi salah satu tokoh yang mengungkapkan pendapat kritisnya.
Melalui karya tulisnya yang berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Perdagangan Belanda (1860), Douwes Dekker mengajukan permintaan kepada pemerintah Belanda untuk memperhatikan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam karyanya tersebut, ia mengusulkan sikap balas budi kepada Belanda dengan melakukan hal-hal berikut:
- Pendidikan yang layak untuk masyarakat Indonesia.
- Membangun saluran pengairan
- Melakukan transmigrasi penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang jarang penduduknya.
Tokoh-tokoh ini memiliki peran kunci dalam membentuk pemikiran dan advokasi untuk kebijakan Politik Etis. Mereka membantu membangun kesadaran, mendorong perubahan, dan memberikan teladan bagi pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, dan akuntabel.
Program Kebijakan Politik Etis
Program kebijakan Politik Etis biasanya mencakup serangkaian inisiatif dan tindakan yang bertujuan untuk mendorong penerapan prinsip-prinsip kebijakan tersebut dalam pemerintahan.
1. Irigasi
Salah satu komponen dari program Politik Etis adalah pengembangan sistem irigasi. Dalam program ini, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan berbagai proyek pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pembangunan-pembangunan tersebut bertujuan untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemberian fasilitas dan infrastruktur dapat mendukung kegiatan pertanian, termasuk pembangunan waduk, perbaikan sanitasi, serta pembangunan jaringan transportasi angkutan hasil pertanian.
2. Edukasi
Salah satu program kedua dari kebijakan ini adalah pendidikan. Penggiat kebijakan melakukan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Selain itu, juga berupaya untuk mengurangi tingkat buta huruf di kalangan masyarakat.
Pelaksanaan pembangunan sekolah untuk rakyat pun dimulai. Namun, menurut penjelasan Suhartono dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, pada masa itu hanya laki-laki yang dapat menerima pendidikan. Sementara itu, perempuan hanya belajar di rumah.
3. Emigrasi
Program ketiga dari kebijakan Politik Etis adalah emigrasi. Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi kepadatan penduduk yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1900, populasi di Jawa dan Madura sudah mencapai 14 juta jiwa.
Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, pemerintah mendirikan pemukiman baru di Pulau Sumatera sebagai destinasi untuk pemindahan penduduk dari daerah-daerah yang padat penduduk. Implementasi kebijakan ini dimulai secara aktif pada tahun 1901.
Program-program tersebut dirancang dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan politik yang transparan, adil, dan berintegritas. Melalui pelaksanaan program-program ini, tata kelola pemerintahan yang baik dapat terwujud, adanya pencegahan korupsi, serta perlindungan yang lebih baik terhadap kepentingan publik.
Penyimpangan Kebijakan Politik Etis dan Dampaknya
Setelah naik tahta pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina menyampaikan pidato yang menyatakan bahwa Belanda memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap masyarakat pribumi di Hindia Belanda.
Ratu Wilhelmina menerjemahkan panggilan moral tersebut menjadi kebijakan Politik Etis yang dikenal sebagai Trias Van Deventer, yang meliputi:
- Pengembangan irigasi, dengan membangun dan memperbaiki sistem pengairan serta bendungan untuk mendukung sektor pertanian.
- Emigrasi, yaitu mengajak penduduk untuk bertransmigrasi ke daerah-daerah baru.
- Peningkatan pendidikan, dengan memperluas akses dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Namun, saat diterapkan, Trias Van Deventer menghadapi berbagai penyimpangan akibat adanya konflik kepentingan Belanda di Indonesia. Beberapa penyimpangan tersebut meliputi:
1. Irigasi
Penggunaan sistem pengairan hanya berfokus pada tanah yang subur untuk kepentingan perkebunan swasta Belanda. Sedangkan tanah milik penduduk tidak mendapatkan akses pengairan yang memadai.
2. Edukasi
Pendidikan hanya untuk pegawai negeri dan mereka yang mampu secara finansial. Sementara anak-anak pribumi biasa hanya memiliki sekolah kelas II dengan mutu pendidikan yang jauh tertinggal.
3. Migrasi
Migrasi ke daerah di luar Jawa hanya terjadi ke wilayah-wilayah yang menjadi pengembangan perkebunan milik Belanda. Hal ini lantaran permintaan tenaga kerja yang tinggi di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, terutama di Deli, Suriname, dan wilayah lainnya.
Bahkan, guna mencegah pelarian pekerja, pemerintah Belanda mengimplementasikan Poenale Sanctie. Sebuah peraturan yang mengamanatkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan pihak kepolisian kejar dan tangkap, lalu mereka kembalikan kepada atasan atau pengawas mereka.
Sudah Paham dengan Kebijakan Politik Etis?
Implementasi kebijakan Politik Etis membutuhkan peran aktif pemerintah, partisipasi masyarakat, dan pengawasan media massa.
Berkat menjaga keberlanjutan dan kepatuhan terhadap kebijakan politik, sebuah negara dapat membangun sistem pemerintahan yang berintegritas, adil, dan memberikan manfaat nyata bagi seluruh rakyatnya.