Melalui presipitasi, awan akan mengalami proses pencairan karena adanya pengaruh dari tingginya suhu udara. Dengan demikian, hujan yang berupa butiran air pun akan jatuh untuk membasahi bumi. Lantas, bagaimana sejarah dari proses ini?
Daftar ISI
Apa Itu Presipitasi?
Berdasarkan siklus hidrologi, ada beberapa fase dalam proses ini yang akan terjadi setelah kondensasi. Sebagai proses jatuhnya berbagai materi curahan atmosfer ke permukaan bumi. Materi tersebut akan berupa cairan (hujan) atau padat (salju). Resapan air hujan yang ada di dalam tanah memiliki julukan sebagai perkolasi.
Kemudian, hujan tersebut akan turun ke permukaan bumi dengan mengenai laut, hutan, perkebunan, danau, sungai, laut, dan lain sebagainya. Hujan yang secara langsung turun mengenai permukaan air, maka disebut dengan intersepsi saluran atau channel interception.
Umumnya, air hujan memiliki kandungan dengan unsur oksigen, karbon dioksida, dan nitrogen. Berdasarkan meteorologi, presipitasi merupakan setiap materi atau produk yang berasal dari kondensasi uap air atmosfer. Biasanya juga disebut sebagai satu kelas hidrometeor, sehingga menjadi fenomena atmosferik.
Fenomena tersebut dapat terjadi karena adanya atmosfer berupa larutan gas raksasa yang berubah menjadi jenuh dan mencair sebagai air. Setelah itu, air akan terkondensasi dan keluar larutan gas tersebut.
Udara akan menjadi udara dengan dua proses, yakni pendinginan dan penambahan uap air. Pada fenomena ini, air akan jatuh ke permukaan bumi dengan berbagai bentuk.
Di antaranya seperti hujan air cair, hujan rintik, hujan es, hujan beku, dan hujan salju. Virga menjadi proses mula jatuhnya proses pencairan air jatuh ke bumi, namun akan menguap sebelum sampai ke permukaannya.
Inilah mengapa proses ini menjadi komponen penting dalam siklus air, bahkan menjadi salah satu sumber besar dari air tawar di permukaan bumi. Setiap tahunnya, proses ini akan membantu 505.000 km³ air turun ke bumi. Selain itu, sekitar 398.000 km³ turun ke lautan.
Jika berdasarkan dengan luas dari permukaan bumi, secara tahunan globalnya proses ini berjumlah 1 m. Namun, rata-rata tahunan di atas lautan adalah sekitar 1,1 m.
Sejarah Presipitasi
Ada seorang ilmuwan dari California, Amerika Serikat yang menyatakan tentang pemanasan global. Dikatakan bahwa fenomena tersebut dapat mengakibatkan peningkatan kelembaban pada berbagai wilayah. Jika wilayahnya basah, maka akan semakin basah. Sebaliknya pada wilayah kering yang juga akan semakin kering.
Berbagai gas rumah kaca yang meningkat dan menipisnya lapisan ozon juga akan mempengaruhi pola sirkulasi di atmosfer. Sehingga bisa menjadi penyebab badang mengarah ke kawasan kutub.
Ada juga beberapa ilmuwan Lawrence Livermore National Laboratory yang mengungkapkan tentang proses presipitasi, di mana akan mengalami perubahan. Baik itu di daratan maupun lautan. Namun, perubahan tidak bisa dijabarkan dengan variabilitas alam, karena berdampak langsung kepada manusia.
Selain itu, Kate Marve dan Celine Bonfils juga menyatakan perbandingan terkait prediksi model iklim. Di mana ada data cuaca yang diamati selama lebih dari tiga dekade, sehingga mampu menghasilkan penemuan terbaru.
Berdasarkan artikel penerbitan jurnal ilmiah dari Proceedings of the National Academy of Sciences. Para ilmuwan berpendapat bahwa, fluktuasi alamiah iklim dapat mengakibatkan munculnya intensifikasi hujan, salju, maupun pergeseran wilayah kutub.
Meskipun begitu, jarang sekali dua efek dapat terjadi sekaligus secara alamiah. Kate Marvel membuat kesimpulan bahwa ada pengaruh dari eksternalnya. Misalnya seperti gas rumah kaca yang meningkat, sehingga memiliki peran besar dalam perubahan.
Proses Terjadinya Presipitasi
Sebagai salah satu bagian dari siklus air, proses ini ikut andil dalam sirkulasi air. Di mana air dari bumi akan jatuh ke atmosfer, kemudian kembali ke bumi lagi.
Awalnya, awan mengalami adveksi atau proses pindahan awan ke titik lain dalam bentuk horizontal, karena adanya perbedaan arus angin maupun tekanan udara. Setelah itu, awan akan mengalami proses presipitasi.
Proses tersebut terjadi saat awan mencair, karena pengaruh dari tingginya suhu udara. Pada proses ini, hujan akan jatuh ke permukaan bumi. Sehingga mengakibatkan butiran air jatuh dan membasahinya.
Jika suhu udara awan memiliki tingkat yang terlalu rendah, bahkan sampai nol derajat celcius, maka proses ini bisa mengakibatkan salju terjadi. Ini karena awan yang memiliki kandungan air terlalu banyak akan turun ke litosfer dengan bentuk butiran salju. Contohnya seperti yang terjadi di kawasan iklim sub tropis.
Teori Proses Presipitasi
Ada berbagai teori yang menjelaskan tentang proses presipitasi. Berikut penjabarannya:
1. Koalisi-Koalesensi
Pertama adalah proses koalisi-koalesensi (daerah latitudinal rendah yang berada di sekitar khatulistiwa) dan proses bergeron atau kristal es (daerah latitudinal tinggi).
Pada proses koalisi-koalesensi, mulanya akan terjadi pembentukan titik air dengan inti kondensasi. Adapun berbagai titik air yang lebih besar ukurannya, hal ini karena titik tersebut memiliki kekuatan lebih besar.
Setelah itu, titik air yang lebih besar akan bertabrakan dengan titik yang kecil. Sehingga mereka akan bergabung dan membentuk tetesan hujan. Tetes hujan dibentuk karena adanya muatan listrik di awan, titik air, arus awan, ketebalan awan, dan ukuran dari jangkauan titik airnya.
2. Bergeron
Proses presipitasi bergeron akan mengawalinya dengan pembentukan titik air pada awan, yakni menggunakan proses koalisi-koalesensi terlebih dahulu. Sebagian titik air akan terdorong arus menuju awan, sehingga titik air pun mengalami pendinginan.
Sebagian titik air tersebut akan mengalami perubahan menjadi kristal es, karena bantuan dari berbagai partikel inti es. Kristal es memiliki tekanan uap jenuh yang lebih kecil dari titik-titik air. Dengan demikian, titik air akan menguap dan terdeposisi ke kristal es. Sehingga kristal es membesar, bertabrakan, dan membentuk salju.
Satuan Presipitasi
Secara umum, curah hujan memiliki satuan mm, yakni singkatan dari liter per meter persegi di atas permukaan tanah. Selain itu, curah hujan juga bisa disebutkan dalam satuan inci.
Curah hujan memiliki intensitas yang terukur, yakni jumlah presipitasinya memiliki satuan waktu tertentu, namun biasanya menggunakan menit. Sedangkan derajat curah hujan adalah unsur kualitatif dari intensitasnya.
Berbeda dari curah hujan, salju biasanya menggunakan pengukur besar presipitasi padat. Pengukurannya dengan membiarkan salju turun ke penampungan, sehingga ketinggiannya bisa diukur dengan satuan centimeter. Salju dapat cair dan terukur dengan metode pengukuran cair.
Jenis-Jenis Presipitasi
Dalam pembuatannya, proses ini menghasilkan beberapa bentuk, di antaranya sebagai berikut:
1. Hujan
Jenis presipitasi pertama adalah hujan. Biasanya, tetes air hujan berukuran sekitar 0,1 hingga 9 milimeter. Tetesan yang lebih besar cenderung mengalami perpecahan menjadi tetesan kecil, yaitu sebagai tetes awan karena bentuknya yang berupa bundar.
Jika tetesan membesar, maka bentuknya akan cenderung lebih lonjong. Jadi, tidak seperti di serial kartun, karena memang bentuk air hujannya tidak menyerupai tetesan air mata yang sesungguhnya.
2. Serpihan Salju
Jenis presipitasi selanjutnya adalah serpihan salju. Ketika tetesan awan kecil dengan suhu terlalu dingin akan membentuk serpihan salju, di mana pembekuannya membutuhkan waktu 10 μm. Tetes awan yang membeku pun akan berkembang di lingkungan yang jenuh.
Tetesan air yang jumlahnya lebih banyak ketimbang kristal es, maka membuat kristal es berkembang menjadi ratusan mikrometer. Pada proses ini dikenal sebagai Wegener-Bergeron-Findeisen.
3. Hujan Es
Sama seperti jenis presipitasi yang lain, hujan es akan terbentuk saat tetes air bertemperatur rendah mengalami pembekuan. Khususnya saat bersentuhan dengan inti kondensasi. Ketika bantuan es mengalami pertumbuhan yang lebih besar, maka bagian dalam akan terus membeku dan membentuk hujan es.
Sudah Mengerti Apa itu Presipitasi?
Tanpa adanya proses presipitasi, maka fenomena hujan tidak akan terjadi. Selain itu, proses ini harus memiliki pengukuran yang tepat, tujuannya untuk mendapatkan data hujan yang berguna. Khususnya untuk perencanaan hidrologis, misalnya seperti rencana pembangunan DAM, bendungan, dan lain sebagainya.