Masa Iddah: Pengertian, Jenis, Hak, Larangan, dan Hikmahnya

Dalam Islam, masa iddah merupakan sebuah waktu yang dimiliki oleh seorang wanita ketika dirinya diceraikan atau ditinggal wafat oleh suami. Pada dasarnya, waktu ini ditujukan sebagai waktu tunggu untuk diperbolehkan menikah lagi dengan pria baru.

Pada kasus tertentu, seperti perceraian terkhusus karena talak satu, maka masa iddah ditujukan sebagai waktu untuk sepasang suami istri berpikir ulang untuk kembali rujuk atau tidak.

Meski disebutkan sebagai masa tunggu, hak dan juga kewajiban sepasang suami istri akan luntur seiring dengan sahnya talak yang diucapkan oleh pihak suami, kecuali mengenai ketidakbolehan seorang istri dalam menerima lamaran pria baru.

Pengertian Masa Iddah

Iddah dalam bahasa Arab berasal dari kata adda-yu’addu-‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang artinya yakni menghitung atau hitungan. Sehingga masa iddah diartikan sebagai masa menunggu berlalunya waktu.

Dalam kitab fiqih ditemukan definisi yang lebih sederhana yakni masa tunggu yang dilalui seorang wanita. Sedangkan secara istilah, menurut mazhab Hanafi masa iddah merupakan masa yang telah ditentukan secara syariat dengan berakhirnya berbagai dampak perkawinan yang masih tersisa.

Menurut pendapat jumhur, masa iddah adalah masa menunggu yang dijalani seorang perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya, sebagai ibadah atau untuk menjalani masa dukanya atas kepergian suaminya.

Menurut istilah para ulama, masa iddah merupakan sebutan atau nama suatu masa dimana seorang wanita menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggal mati suaminya atau telah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya atau berakhirnya bulan yang sudah ditentukan.

Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah, masa iddah diartikan sebagai masa tunggu bagi perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena untuk menghilangkkan rasa sedih atas kepergian suami.

Terkaita masa iddah, Allah SWT menjelaskan dalam salah satu firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang artinya:

وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wal-muṭallaqātu yatarabbaṣna bi`anfusihinna ṡalāṡata qurū`, wa lā yaḥillu lahunna ay yaktumna mā khalaqallāhu fī ar-ḥāmihinna ing kunna yu`minna billāhi wal-yaumil-ākhir, wa bu’ụlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika in arādū iṣlāḥā, wa lahunna miṡlullażī ‘alaihinna bil-ma’rụfi wa lir-rijāli ‘alaihinna darajah, wallāhu ‘azīzun ḥakīm

Artinya: “Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa, Mahabijaksana” (QS. Al-Baqarah: 228).

Jenis-jenis Masa Iddah

Dikutip dalam Buku Pintar Fiqih Wanita oleh Abdul Qadir Manshur, masa iddah terbagi menjadi dua, yakni sebagai berikut:

1. Iddah Karena Perceraian

Jenis yang pertama yakni iddah karena perceraian, iddah jenis ini memiliki dua kategi dengan hukum yang berbeda.

Yang pertama, perempuan yang diceraikan namun belum disetubuhi, hukumnya adalah ia tidak wajib menjalani masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Al-Ahzab: 49:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَكَحْتُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

Yā ayyuhallażīna āmanū iżā nakaḥtumul-mu`mināti ṡumma ṭallaqtumụhunna ming qabli an tamassụhunna fa mā lakum ‘alaihinna min ‘iddatin ta’taddụnahā, fa matti’ụhunna wa sarriụhunna sarāḥan jamīlā

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

Yang kedua, perempuan yang diceraikan dan sudah disetubuhi. Apabila ia hamil, maka masa iddahnya selesai sampai ia melahirkan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS At-thalaq ayat 4:

وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مِنْ أَمْرِهِۦ يُسْرًا

Wal-lā`i ya`isna minal-maḥīḍi min nisā`ikum inirtabtum fa ‘iddatuhunna ṡalāṡatu asy-huriw wal-lā`i lam yahiḍn, wa ulātul-aḥmāli ajaluhunna ay yaḍa’na ḥamlahunn, wa may yattaqillāha yaj’al lahụ min amrihī yusrā

Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Namun berbeda ketika ia tidak sedang dalam keadaan hamil, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, ketika ia sedang menstruasi maka masa iddahnya waktu tiga kali menstruasi, dan apabila ia tidak mengalami menstruasi masa iddahnya adalah tiga bulan.

Baca juga: 4 Contoh Ceramah Singkat tentang Sholat dalam Islam

2. Iddah Karena Kematian

Iddah yang kedua yakni iddah karena kematian, apabila perempuan ditinggal suaminya meningga maka ada beberapa kategori hukum yang dapat menjelaskan:

Yang Pertama, apabila perempuan ditinggal meninggal dalam keadaan tidak hamil, maka masa iddahnya adalah empat puluh hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 234:

“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. …”

Yang kedua, apabila perempuan yang sedang dalam keadaan hamil maka masa iddahnya adalah saat ia sudah melahirkan. Seperti dalam firman Allah dalam QS At-Thalaq ayat 4:

“…sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Hak Perempuan Selama Masa Iddah

Hak Perempuan Selama Masa Iddah

Ada beberapa hak dan juga kewajiban perempuan saat masa iddah yang dijelaskan oleh Syekh ibn Qasim dalam kitab Fathul Qarib, yakni sebagai berikut:

1.  Perempuan dalam Masa Iddah dari Talak Raj‘i

Apabila perempuan diceraikan dengan talak raj’i, maka dalam masa iddahnya ia bisa rujuk kembali tanpa melalui akad baru semasih dalam masa iddahnya.

Selain itu saat masa iddah, Istri tetap berhak atas rumah atau tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian dan biaya hidup lainnya dari mantan suami. Namun berbeda jika ia dalam keadaan nusyuz atau durhaka sebelum diceraikan atau durhaka di tengah-tengah masa iddahnya.

Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا۟ ٱلْعِدَّةَ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ لَا تَدْرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرً

Yā ayyuhan-nabiyyu iżā ṭallaqtumun-nisā`a fa ṭalliqụhunna li’iddatihinna wa aḥṣul-‘iddah,

wattaqullāha rabbakum, lā tukhrijụhunna mim buyụtihinna wa lā yakhrujna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah,

wa tilka ḥudụdullāh, wa may yata’adda ḥudụdallāhi fa qad ẓalama nafsah, lā tadrī la’allallāha yuḥdiṡu ba’da żālika amrā.

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.

Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru,” (Q.S At-Talaq Ayat 1).

Selain itu Rasulullah SAW bersabda:

“Perempuan ber-idah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya,” (Syekh Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, terbitan Alam al-Kutub, hal. 35).

Baca juga: Jelaskan Perbedaan Rukun dan Wajib Haji? Yuk Simak

2.  Perempuan dalam Masa Iddah dari Talak Ba’in

Apabila seorang perempuan diceraikan dengan talak tiga atau karena adanya fasakh dan ia tidak dalam keadaan hamil, ia tetap berhak mendapatkan temat tinggal yang layak namun tidak mendapatkan nafkah.

Kecuali ia durhaka saat sebelum ditalaknya atau durhaka saat sedang masa iddahnya.Hal ini didasari firman Allah SWT:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ

Askinụhunna min ḥaiṡu sakantum miw wujdikum wa lā tuḍārrụhunna lituḍayyiqụ ‘alaihinn, wa ing kunna ulāti ḥamlin fa anfiqụ ‘alaihinna ḥattā yaḍa’na ḥamlahunn, fa in arḍa’na lakum fa ātụhunna ujụrahunn, wa`tamirụ bainakum bima’rụf, wa in ta’āsartum fa saturḍi’u lahū ukhrā

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Hal ini juga dijelaskan dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak ada nafkah untukmu kecuali jika engkau dalam keadaan hamil,” (HR. Abu Daud no. 2290).

3.  Perempuan dalam Masa Iddah dari Talak Ba’in dan dalam Keadaan Hamil

Apabila perempuan diceraikan dengan talak Ba’in selama ia hamil, maka ia berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah saja, namun tidak berhak atas biaya lainnya.

Namun terdapat perbedaan pendapat, apakah nafkah itu gugur karena adanya nusyuz (perdebatan antara suami dan istri) atau tidak. Namun terdapat dalil khusus yang menerangkan hal tersebut.

Dari Al Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri, dia berkata:

“Dia datang kepada Rasulullah SAW meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf Al Qadum dia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya.”

Dia berkata, “Aku meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk kembali kepada keluargaku karena suamiku tidak meninggalkan rumah dan harta untukku,”

Ia berkata, “Kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan agar aku datang.”

Kemudian beliau berkata, “Apa yang tadi engkau katakan?”

Kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan, mengenai keadaan suamiku.

Kemudian beliau bersabda, “Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa iddah.”

Dia berkata, “Aku melewati masa iddah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari,” (HR. Abu Daud no. 2300, At Tirmidzi no. 1204).

4. Perempuan dalam Masa Iddah karena Ditinggal Wafat Suaminya

Berbeda dengan lainnya, perempuan dalam masa iddah karena ditinggal wafat suamiya tidak akan mendapatkan hak apapun seperti nafkah meski ia sedang hamil sekalipun.

Hal ini karena ketika ditinggal wafat oleh suami, tidak ada kewajiban keluarga dari suami untuk menafkahi istri yang ditinggal tersebut.

Larangan dalam Masa Iddah

Berikut beberapa hal yang menjadi larangan bagi perempuan saat dalam masa iddahnya:

1. Tidak Diperbolehkan Menikah dengan Laki-Laki Lain

Perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya baik karena diceraikan, ditinggal meninggal maupun fasakh sekalipun tidak diperbolehkan menikah dengan pria lain.

Dan apabila ia memaksa untuk menikah, maka pernikahannya dianggap tidak sah. Adapun laki-laki yang meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang dalam masa iddah juga tidak diperbolehkan (haram).

2.  Tidak Diperbolehkan Keluar Rumah Kecuali dalam Keadaan Darurat

Dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, maka perempuan yang sedang dalam masa iddah tidak diperbolehkan untuk keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam at-Thalaq ayat 1:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا۟ ٱلْعِدَّةَ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ لَا تَدْرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا

Yā ayyuhan-nabiyyu iżā ṭallaqtumun-nisā`a fa ṭalliqụhunna li’iddatihinna wa aḥṣul-‘iddah, wattaqullāha rabbakum, lā tukhrijụhunna mim buyụtihinna wa lā yakhrujna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah, wa tilka ḥudụdullāh, wa may yata’adda ḥudụdallāhi fa qad ẓalama nafsah, lā tadrī la’allallāha yuḥdiṡu ba’da żālika amrā

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.

Dari ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa perempuan yang sedang dalam masa iddah tidak diperbolehkan keluar jika tidak ada uzur yang mendesak.

Suami juga tidak boleh memaksa perempuan untuk keluar rumah kecuali istrinya telah melakukan perbuatan terlarang seperti zina.

3.  Melakukan Ihdad

Tidak diperbolehkan seorang perempuan dalam masa iddahnya melakukan ihdad yakni berhias dengan tujuan ingin mendapatkan perhatian seperti memakai perhiasan, wangi-wangian, pakaian mencolok dan celak mata.

Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits:

“Tidak dihalalkan bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung (menjalani masa ihdaad) atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari,” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).

Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata:

Kami dilarang ihdaad (berkabung) atas kematian seseorang di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.

Selama masa itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab.”

“Dan kami diberi keringanan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi.

Dan kami juga dilarang mengantar jenazah,” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 2739).

Hikmah Masa Iddah bagi Wanita Muslim

Dikutip dari Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Minhajul Muslim terdapat beberapa hikmah dari masa iddah bagi seorang wanita muslim:

Apabila suami melakukan talak raj’i (talak satu dan dua), ini memberikan kesempatan kepada suami agar bisa rujuk dengan istrinya tanpa kesulitan.

Untuk mengetahui kosong atau tidaknya rahim. Hal ini bertujuan untuk menjaga silsilah keturunan dari kemungkinan tercampur dengan orang lain.

Apabila istri ditinggal mati oleh suaminya, masa iddah ini akan menunjukkan kesetiaannya pada sang suami.

Demikian penjelasan terkait masa iddah bagi seorang wanita muslim. Semoga artikel ini bermanfaat dan kita selalu dalam lindungan Allah SWT.

Share:

Seorang wanita akhir zaman yang menyukai sastra dan ingin menjadi penulis yang bermanfaat!

Leave a Comment