Sejarah Kenapa Babi Haram dalam Islam, Menurut Al-Quran

Setiap umat Islam seharusnya tahu hal-hal yang diperintahkan dan dilarang sesuai Al-Qur’an. Salah satu yang dilarang yaitu mengonsumsi daging babi. Lalu, sebenarnya kenapa babi haram? Kita mungkin pernah bertanya demikian.

Dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi disebutkan bahwa babi merupakan binatang yang haram dimakan oleh manusia. Ada pendapat bahwa babi haram karena mengandung cacing yang telurnya tidak mati meskipun sudah dimasak.

Apa sebenarnya yang menjadi alasan larangan mengonsumsi babi ini? Selain dari Al-Qur’an, apakah ada penjelasan secara ilmiahnya?

Sejarah Kenapa Babi Haram dalam Islam

Pada dasarnya, sejarah haramnya daging babi lantaran Allah telah melarang manusia untuk mengonsumsi binatang yang tidak baik. Sebab, sejatinya makanan memiliki dampak pada perilaku dan sifat seseorang. 

Sebagai contoh, makanan yang sehat dan didapat dengan cara halal akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang positif. Sebaliknya, makanan yang didapat dengan cara haram atau prosesnya tidak sesuai ajaran Islam, akan berdampak buruk.

Itulah sebabnya kita perlu berhati-hati dalam memilih dan mengatur harta serta makanan untuk diri kita sendiri, anak-anak, dan keluarga. Kita harus menghindari makanan yang dilarang oleh agama, salah satunya daging babi.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 173, Allah SWT telah mengharamkan daging bagi untuk dimakan. Tak hanya itu, dalam ayat tersebut Allah juga mengharamkan bangkai, darah, dan binatang yang disembelih tanpa menyebutkan nama-Nya.

Baca juga: 9 Syarat Menjadi Imam Salat Jamaah, Bukan Orang Fasik!

Bukan hanya dalam Surah Al-Baqarah saja, Allah melarang umat Islam memakan daging babi dalam Al-Qur’an di tiga surah berbeda. Surah lainnya yaitu surah Al-Maidah dan surah An-Nahl:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Innamā ḥarrama ‘alaikumul-maitata wad-dama wa laḥmal-khinzīri wa mā uhilla bihī ligairillāh, fa maniḍṭurra gaira bāgiw wa lā ‘ādin fa lā iṡma ‘alaīh, innallāha gafụrur raḥīm

Artinya:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Baqarah: 173).

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

ḥurrimat ‘alaikumul-maitatu wad-damu wa laḥmul-khinzīri wa mā uhilla ligairillāhi bihī wal-munkhaniqatu wal-mauqụżatu wal-mutaraddiyatu wan-naṭīḥatu wa mā akalas-sabu’u illā mā żakkaitum, wa mā żubiḥa ‘alan-nuṣubi wa an tastaqsimụ bil-azlām, żālikum fisq, al-yauma ya`isallażīna kafarụ min dīnikum fa lā takhsyauhum wakhsyaụn, al-yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matī wa raḍītu lakumul-islāma dīnā, fa maniḍṭurra fī makhmaṣatin gaira mutajānifil li`iṡmin fa innallāha gafụrur raḥīm

Artinya:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah: 3).

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Innamā ḥarrama ‘alaikumul-maitata wad-dama wa laḥmal-khinzīri wa mā uḥilla ligairillāhi bih, fa maniḍṭurra gaira bāgiw wa lā ‘ādin fa innallāha gafụrur raḥīm

Artinya:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 115).

Ketiga ayat tersebut secara bersama-sama menyatakan haramnya daging babi untuk dikonsumsi. Artinya, jelas bahwa larangan tersebut wajib kita taati sebagai umat Islam yang beriman.

Ibnu Katsir  juga menyebutkan bahwa “Begitu juga dilarang memakan daging babi baik yang mati dengan cara disembelih atau mati dalam keadaan tidak wajar. Lemak babi pun haram dimakan sebagaimana dagingnya karena penyebutan daging dalam ayat cuma menunjukkan keumuman (aghlabiyyah) atau dalam daging juga sudah termasuk pula lemaknya, atau hukumnya diambil dengan jalan qiyas (analogi).” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 36).

Para ulama dalam ijma pun sepakat babi haram untuk dikonsumsi. Ibnul ‘Arabi rahimahullah selaku penyusun Ahkam Al-Qur’an berkata, “Umat telah sepakat haramnya daging babi dan seluruh bagian tubuhnya. Dalam ayat disebutkan dengan kata ‘daging’ karena babi adalah hewan yang disembelih dengan maksud mengambil dagingnya. … Dan lemak babi termasuk dalam larangan daging babi.” (Ahkam Al-Qur’an, 1: 94).

Dapat disimpulkan bahwa kenapa babi haram karena Allah SWT telah melarang umat-Nya untuk mengonsumsi daging babi bagaimanapun jenis dan bentuknya. Meskipun begitu Al-Qur’an tidak menerangkan secara jelas apa alasannya.

Namun, mayoritas ulama menjelaskan bahwa sebab pengharaman babi adalah karena najisnya. Berikut firman Allah SWT yang menjelaskannya:

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Qul lā ajidu fī mā ụḥiya ilayya muḥarraman ‘alā ṭā’imiy yaṭ’amuhū illā ay yakụna maitatan au damam masfụḥan au laḥma khinzīrin fa innahụ rijsun au fisqan uhilla ligairillāhi bih, fa maniḍṭurra gaira bāgiw wa lā ‘ādin fa inna rabbaka gafụrur raḥīm

Artinya:

“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)” (QS. Al An’am: 145).

Baca juga: 4 Doa Susah Tidur, Agar Dimudahkan Terlelap dan Memperoleh Perlindungan Allah SWT

Larangan Mengonsumsi Daging Babi secara Ilmiah

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia berusaha mengkaji larangan ini secara ilmiah. Selain dalam Al-Qur’an, para peneliti akhirnya melakukan penelitian untuk menjawab kenapa babi haram.

Dosen Gizi Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Menurut Harry Freitag menyebutkan bahwa daging babi berbahaya karena adanya potensi infeksi cacing pita. Daging babi memiliki risiko parasit yang lebih tinggi daripada daging hewan lainnya.

Sejalan dengan penelitian itu, Dokter Spesialis Gizi Klinik MRCCC Siloam Hospital, dr Inge Permadhi, mengungkapkan bahwa daging babi bisa menimbulkan infeksi parasit. Infeksi ini disebabkan oleh cacing pita dan cacing Trichinella Spiralis.

Hikmah Haramnya Daging Babi

Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Kitab Al Ath’imah hal. 40 menjelaskan bahwa ada yang diharamkan karena makanannya yang jelek seperti Babi.

Alasannya karena ia mewarisi mayoritas akhlak yang rendah lagi buruk. Sebab, ia adalah hewan terbanyak makan barang-barang kotor dan kotoran tanpa kecuali.

Hikmah adanya larangan daging babi lantaran binatang yang tidak baik bisa mewarisi sifat buruk kepada orang yang mengonsumsinya. 

Demikian alasan kenapa babi haram menurut pandangan Al-Qur’an dan beberapa hadis pendukung. Sementara dari penelitian ilmiah, daging babi juga berpotensi membawa penyakit karena adanya cacing pita. Karena itu sudah semestinya kita mentaati hal tersebut tanpa mempertanyakannya lagi. Wallahu a’lam.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment