Bagi masyarakat Indonesia, tradisi halal bihalal sudah bukan lagi hal asing. Biasanya, tradisi ini dilaksanakan bertepatan pada perayaan Hari Raya Idul Fitri saat seluruh keluarga berkumpul bersama.
Bahkan halal bihalal juga dilakukan dengan rekan-rekan kantor setelah kembali dari kampung halaman.
Meskipun sarat dengan kegiatan agama, ternyata tradisi ini bukan berasal dari Arab, melainkan dari Indonesia. Mari kenali lebih banyak tentang tradisi halal bihalal.
Daftar ISI
Sejarah Tradisi Halal Bihalal
Sejarah dari halal bihalal bermula pada tahun 1948, tepatnya pada pertengahan bulan Ramadhan. Saat itu, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Hasbullah, pendiri NU (Nahdlatul Ulama) ke Istana Negara.
Pada masa itu, sedang muncul ancaman akibat disintegasi bangsa oleh kelompok DI/TII dan Partai Komunis Indonesia.
Presiden memanggil KH Wahab Hasbullah untuk meminta saran untuk mengatasi masalah tersebut. Kemudian, KH Wahab Hasbullah menyarankan untuk mempertemukan para elit politik dalam satu ruangan dan melakukan silaturahmi.
Menurut Beliau, para elit politik tidak mau bersatu karena saling menyalahkan. Sementara, saling menyalahkan itu haram (dosa), sehingga harus dihalalkan dengan saling bermaafan.
Presiden Soekarno pun menerima saran tersebut dan mengundang para elit politik ke Istana Negara tepat ketika Hari Raya Idul Fitri. Acara tersebut diberi tajuk halalbihalal.
Dalam acara tersebut, para elit politik yang duduk bersama kembali menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak itulah, istilah halal bihalal digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyebut tradisi bermaafan ketika Idul Fitri.
Sementara ada pula versi lain mengenai asal usul tradisi halal bihalal yang bermula dari Keraton Surakarta. Perintisnya yaitu Pangeran Sambernyawa yang merupakan KGPAA Mangkunegara I.
Ketika Pangeran Sambernyawa menjabat sebagai raja, diadakan pertemuan dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana setelah shalat Idul Fitri. Mereka bergantian melakukan sungkem pada Raja dan permaisuri.
Nah, acara itulah yang kemudian ditirukan oleh organisasi-organisasi Islam dengan sebutan halal bihalal.
Tujuan Tradisi Halal Bihalal
Istilah halal bihalal berasal dari bahasa (lafadz) Arab, yaitu kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal.
Meski begitu, istilah tersebut tidak ada dalam bahasa Arab. Pasalnya, halal bihalal memang merupakan tradisi tanah air dan tidak ditemukan di negara Arab maupun negara Islam lain.
Sementara, makna halal bihalal adalah kegiatan bermaaf-maafan. Halal bihalal juga diartikan sebagai saling menghalalkan, maksudnya memaafkan secara lahir dan batin.
Melansir dari laman Risalah Islam, asal usul istilah halal bihalal terbilang tidak jelas. Pasalnya, memang terdapat banyak versi mengenai sejarah tradisi ini.
Walau demikian, halal bihalal merupakan tradisi yang sangat baik karena mengamalkan ajaran Islam untuk saling memaafkan.
Lebih lanjut lagi, Quraish Shihab menambahkan bahwa tujuan dari halal bihalal adalah menciptakan keharmonisan hubungan sesama.
Dalam prakteknya, tradisi halal bihalal merupakan kegiatan silaturahmi dan saling memaafkan. Adapun silaturahmi dan saling memaafkan termasuk hal yang dianjurkan dalam Islam.
Sebagaimana firman Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf:199).
Anjuran menyambung tali silaturahmi juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya,
“Siapa saja yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Baca juga: Lafal Niat Puasa Nisfu Syaban, Arab, Latin dan juga Artinya
Doa Halal Bihalal
Berhubung tradisi halal bihalal berasal dari Indonesia, tidak ada doa khusus untuk dibaca saat melaksanakannya. Meski begitu, kita bisa mengamalkan doa yang memohon kebaikan dari Allah SWT.
Berikut beberapa doa yang bisa kita ucapkan saat halal bihalal:
1. Doa Para Sahabat
Ketika memasuki Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, para sahabat Rasulullah biasanya mengucapkan doa berikut:
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَ تَقَبَّلْ ياَ كَرِيْمُ وَجَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ الْعَاءِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ وَالْمَقْبُوْلِيْنَ كُلُّ عاَمٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ
Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kullu ‘aamin wa antum bi khair.
Artinya:
“Semoga Allah menerima (amal ibadah) kami dan kamu, Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu semua senantiasa dalam kebaikan.”
2. Doa Nabi Ibrahim
Saat hendak membangun Ka’bah, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membaca doa yang berisi permohonan kepada Allah SWT supaya menerima amal ibadah mereka.
Berikut bacaan doanya:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Rabbanaa taqabbal minnaa shalaatanaa wa du’ana innaka antassamii’ul ‘aliim. Taqabbal minnaa taubatanaa innaka antat tawwaabur rahiim.
Artinya:
“Ya Tuhan kami terimalah sholat kami dan terimalah permohonan kami. Sungguh Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Terimalah taubat kami sungguh Engkau Maha penerima taubat.”
Tradisi Halal Bihalal dari Kacamata Syariat Islam
Halal bihalal yang pada mulanya berupa satu acara perkumpulan untuk saling bersilaturahmi dan memaafkan, kini identik dengan tradisi saling mengunjungi di Hari Raya Idul Fitri.
Biasanya, masyarakat akan mengunjungi sanak saudara, kerabat, dan tetangga untuk bersilaturahmi dan saling minta maaf.
Namun, tradisi halal bihalal di Indonesia yang berlangsung setiap tahun ini sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam. Lantas, bagaimana hukumnya menurut syariat Islam?
Melansir dari laman Muslim, hukum asal bab ibadah adalah bahwa semua ibadah haram sampai ada dalilnya. Sedangkan, dalam bab adat dan muamalah, semua perkara adalah halal sampai ada yang mengharamkannya.
Sementara itu, perayaan Hari Raya Idul Fitri lebih merujuk pada mu’amalah, tapi ‘Id adalah pengecualian.
Menurut dalil-dalil yang ada, ‘Id adalah taufiqy (harus berdasarkan dalil). Pasalnya, ‘Id tidak hanya merupakan suatu adat, tetapi juga memiliki sisi ibadah.
Taufiqy dalam perayaan ‘Id memiliki dua sisi, yaitu:
1. Taufiqy dari Sisi Penyelenggaraan
Penyelenggaraan 2 hari raya dalam 1 tahun bagi umat Islam adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Dawud berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.
Artinya:
“Anas bin Malik berkata: “Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam– datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab: “Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa Jahiliyah.” Beliau pun bersabda: “Sungguh Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.”” (HR Abu Dawud No.1134).
2. Taufiqy dari Sisi Tata Cara Pelaksanaan
Dalam ajaran Islam juga terdapat aturan mengenai tata cara pelaksanaan shalat, zakat, takbir, penyembelihan kurban, dan diharamkannya puasa saat hari raya. Sehingga perayaan hari raya bagi umat muslim bukan sekedar adat.
Bahkan hal-hal lain terkait perayaan hari raya juga memiliki batasan syariah, meliputi keleluasaan makan dan minum, berpakaian dan berhias, serta bergembira.
Lantas, apakah halal bihalal tetap boleh dilaksanakan?
Mengingat ajaran Islam tidak memberi batasan mengenai sunnah dalam perayaan Id, maka boleh saja bagi umat muslim untuk melaksanakan sesuai adat dan tradisi. Hal ini termasuk berkumpul dan saling mengucapkan selamat.
Namun, perlu diingat bahwa mengkhususkan Idul Fitri untuk halal bihalal dengan saling bermaafan memerlukan dalil tersendiri. Kegiatan ini bahkan tidak dilakukan pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Jadi, perkara tersebut termasuk penambahan syariah baru dalam Islam tanpa landasan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat, “Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaannya pada masa Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam– sudah ada jika itu maslahat (kebaikan), dan beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.”
Melansir dari laman Almanhaj, saling bermaafan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun, kita tidak seharusnya mengkhususkannya pada hari tertentu dan meyakininya sebagai sunnah yang perlu dilaksanakan.
Demikianlah ulasan mengenai tradisi halal bihalal yang biasa kita laksanakan saat hari raya. Meskipun pelaksanaannya diperbolehkan, sebaiknya kita menghindari hal yang bid’ah dan melanggar syariah.