Apakah Berdosa Mengambil Keuntungan Hingga 1000%?

Setiap orang yang berniaga atau berbisnis, pastinya ingin mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Dari sisi ekonomi tentu pengambilan keuntungan baik kecil maupun besar itu sudah menjadi pilihan, lalu bagaimana dari segi agama?

Apakah berdosa mengambil keuntungan hingga 1000%?

Apa ini termasuk riba? Dan apakah Islam memberikan batasan tentang keuntungan yang boleh kita ambil?

Apakah Berdosa Mengambil Keuntungan Hingga 1000%?

Misalnya, kita membeli roti seharga Rp1000 lalu menjualnya lagi seharga Rp10.000. Hal ini berarti apabila roti tersebut laku, keuntungan yang kita peroleh bisa 10 kali lipat.

Atau contoh lainnya, seseorang membeli gula 5 kilogram seharga Rp75.000. Kemudian ia menjualnya seharga Rp750.000 atau Rp150.000 per kilogramnya supaya mendapatkan keuntungan sangat besar.

Ternyata dalam Islam, tidak ada batasan keuntungan sehingga pedagang boleh mengambil laba berapapun, asalkan tidak melanggar ketentuan umum syariat berdagang dan saling ridha. 

Setidaknya ada beberapa dalil yang menjelaskan hal tersebut :

1. Surah An-Nisaa’ Ayat 29

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ

Yā ayyuhallażīna āmanụ lā ta`kulū amwālakum bainakum bil-bāṭili illā an takụna tijāratan ‘an tarāḍim mingkum, wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum raḥīmā

Artinya: 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”

Baca juga: 5 Adab Pergaulan dalam Islam Untuk laki-Laki dan Perempuan

2. HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258

نْ عُرْوَةَ – يَعْنِى ابْنَ أَبِى الْجَعْدِ الْبَارِقِىِّ – قَالَ أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ

Artinya: 

“Dari ‘Urwah, yaitu Ibnu Abil Ja’di Al-Bariqiy, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun membeli dua kambing. Di antara keduanya, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekalipun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya”. (HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

3. HR Al-Bukhari

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu semasa hidupnya membeli sebidang tanah di pinggiran kota Madinah seharga 170.000 keping uang emas.

Setelah ia wafat, tanah itu dijual oleh anaknya, yaitu Abdullah seharga 1.600.000 dinar. Keuntungan yang diambil oleh Abdullah dalam penjualan ini hampir mencapai 1000%.

4. Kitab Yas-alunaka fi al-Din wa al-Hayah

Berdasarkan kitab ini, persentase keuntungan yang dapat kita ambil sebaiknya tidak melebihi standar pasar. 

Sebab, keuntungannya dinilai sebagai al-ribh al-fahisy atau keuntungan yang jelek. Bunyi kitab Yas-alunaka fi al-Din wa al-Hayah sebagai berikut:

Akan tetapi agama melarang pengambilan keuntungan yang jelek, yaitu keuntungan yang melebihi batas yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat terkait ukuran pengambilan keuntungan yang jelek ini. Sebagian mengatakan, keuntungan yang tidak jelek atau keuntungan yang tidak ada penipuan dan kezaliman adalah keuntungan yang masih berada dalam batas 1/3 dari modal. Sebagian mengatakan, masih dalam batas 1/6 dari modal. Sebagian lagi mengatakan, batasnya ditentukan pada kebiasaan masyarakat.”

Baca juga: Ini Dia Syarat Nikah di KUA Terbaru, Apa Saja?

Hukum Menyimpan Barang untuk Dijual Saat Harga Naik

Jika kita dengan sengaja menyimpan barang terlebih dahulu dan baru menjualnya kembali ketika harga pasaran sedang naik, maka hal tersebut merupakan perbuatan yang terlarang. Apalagi menjualnya dengan harga berkali-kali lipat.

Sebab perbuatan tersebut sama dengan menimbun barang yang sangat merugikan banyak orang. Dari Ma’mar bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ 

Artinya:

“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605).

Namun, jika seorang pedagang membeli barang tersebut saat harganya masih murah, lalu ia simpan sampai harga naik dan menjualnya lagi pada saat itu sesuai dengan harga pasar, tidak termasuk ihtikar selama tidak merugikan banyak orang, tidak merusak harga pasar, dan pedagang lagi masih menjualnya.

Selain itu, ada penjelasan di dalam Takmilat Al-Majmu’: “Ihtikar atau penimbunan yang diharamkan, yaitu membeli barang pada saat harga naik dan ditimbun agar harganya lebih tinggi lagi. Adapun jika membeli barang pada saat harga murah (musim panen) lalu ditahan hingga harga naik dan dijual saat itu, tidaklah diharamkan.”

Berdasarkan penjelasan tersebut, terjawab sudah pertanyaan apakah berdosa mengambil keuntungan hingga 1000%? Ternyata jawabannya boleh-boleh saja, mau berapapun itu selama cara berniaganya benar sesuai dengan adab dan syariat Islam.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment