Memberi sedekah artinya kita beramal sholeh terhadap siapapun yang dikasihi. Lalu, muncul pertanyaan bagaimana jika kita beri sedekah pada pengemis yang pura-pura miskin. Apakah hukumnya boleh atau tidak?
Tentunya memberi atau mengasihi merupakan anjuran dalam agama Islam. Tanpa perlu memandang siapa dan dari mana asalnya. Namun, maraknya aksi penipuan para pengemis yang berpura-pura miskin membuat kita resah.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang ternyata adalah orang kaya. Sementara sebagai sesama manusia terlebih umat muslim ingin rasanya membantu dan mengasihi mereka.
Daftar ISI
Hukum Beri Sedekah pada Pengemis yang Pura-Pura Miskin
Hal yang terpenting yang perlu diingat yakni, bahwa kita sebagai umat muslim harus saling membantu terhadap saudara yang kesusahan. Lalu bagaimana jika kita beri sedekah pada pengemis yang pura-pura miskin. Berikut hukumnya:
1. HR. Bukhari dari Kisah Abu Yazid
Dari Abu Yazid Ma’an yang mana kakeknya termasuk dalam sahabat Rasul, pernah bercerita. Saat itu, ayahnya mengeluarkan sejumlah mata uang dinar yang diniatkan untuk sedekah.
Setelah itu, ayahnya meletakkan uang tersebut di dekat seorang yang ada di masjid. Lalu, Ma’an mengambil uang tersebut dan menemui ayahnya. Ayah Ma’an berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.”
Ma’an menyampaikan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda:
لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ
Artinya:
“Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid (Ayah Abu Yazid Ma’an). Sedangkan, wahai Ma’an engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (Fathul-Baariy, Ibnu Hajar, 5/20).
Dari rujukan hadis tersebut, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Orang yang bersedekah akan dicatat pahala sesuai yang ia niatkan, baik yang ia beri sedekah lahiriyah pantas menerimanya atau tidak.” (Fath Al-Bari, 3:292).
Baca juga: Apa Hukumnya Suami Menyembunyikan Uang dari Istri?
2. HR. Bukhari dan Muslim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ
يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju itu.” (HR Bukhari no 1 dan Muslim no 1907).
Makna dari hadis tersebut, apabila dimisalkan ada pengemis mengetuk pintu rumah kita, apakah kita harus memberinya sedekah atau tidak? Sementara secara lahiriyah, dia tampak miskin.
Sekalipun keliru jika pengemis tersebut ternyata orang kaya. Allah tetap akan mencatat niat baik kita untuk bersedekah. Sedangkan pengemis tersebut berdosa karena sedekah yang tidak pantas ia terima.
3. HR. Bukhari dari Abu Hurairah
Dari Abu Hurairah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
Artinya:
“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari No. 1476).
Hadis ini apabila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari memiliki makna jangan memanjakan pengemis atau pengamen di jalanan. Dengan memanjakan mereka, secara tidak langsung kita membenarkan perlakuan mereka.
Padahal secara fisik mereka masih sehat dan mampu untuk bekerja. Namun, karena lebih nyaman dengan mengemis mereka justru lebih memilih untuk mengemis sepanjang waktu.
Adapun orang yang berhak untuk diberi yakni orang shalih yang sudah bekerja keras namun belum mendapat penghasilan yang cukup. Maka yang seperti ini wajib untuk diberi sedekah.
Baca juga: Hukum Cashback dalam Islam, ada yang boleh dan Tidak
4. HR. Bukhari dari Usamah bin Zaid
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, lalu kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka.
Usama bin Zaid dan seorang dari kaum Anshar bertemu dengan salah seorang lelaki dari golongan mereka. Setelah mendekat, lelaki itu kemudian mengucapkan kalimat laa ilaha illallah.
Orang dari kaum Anshar, menahan untuk membunuhnya. Sedangkan Usamah bin Zaid menusukkan tombaknya hingga membuat lelaki terbunuh.
Berita itu terdengar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau berkata:
يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ » قُلْتُ كَانَ مُتَعَوِّذًا . فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
Artinya:
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hak itu.
“Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?”. Ucapan itu terus diulang oleh Nabi shallallahu Alaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari No. 4269 dan Muslim No. 96).
5. Riwayat Muslim dari Usamah bin Zaid
Dalam riwayat muslim disebutkan, setelah Usama bin Zaid membunuh lelaki itu, lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلاَحِ. قَالَ أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لاَ فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
Artinya:
“Bukankah ia telah mengucapkan laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?.” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takut dari senjata.” Belia bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkan karena takut saja atau tidak?.” Beliau mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk islam hari itu saja.”
Nah, dari sejumlah hadis di atas. Maka kita sebagai manusia hanya diperintahkan untuk melakukan kebaikan. Sedangkan hati, bukanlah urusan kita. Manusia tidak punya kemampuan untuk menilai isi hati.
Maka dari itu, hukum beri sedekah pada pengemis yang pura-pura miskin adalah niat baik kita akan tetap tercatat amal baik oleh Allah S.W.T. Sementara, pengemis yang meminta akan tercatat dosa karena memakan yang bukan haknya.