Batas Maksimal Suami Boleh Tidak Memberikan Nafkah Batin

Di dalam Islam, terdapat beberapa jenis nafkah yang mesti ditunaikan oleh seorang suami. Salah satunya adalah nafkah batin. Sebagai suami, kita harus tahu batas maksimal suami tidak memberikan nafkah batin. 

Bagaimana pun, nafkah batin juga bagian nafkah yang sangat penting.

Oleh karena itu, silahkan simak berapa sebenarnya batasan maksimal seorang suami tidak memberikan nafkah batin kepada istrinya. 

Batas Maksimal Suami Boleh Tidak Memberikan Nafkah Batin

Memberikan nafkah kepada istri adalah kewajiban suami, termasuk memberikan nafkah batin. Hal ini telah Allah jelaskan di dalam Surat At Talaq ayat 7 yang berbunyi: 

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Liyunfiq dzuu sa’atin min sa’iyyatihi, waman qudira ‘alaihi rizquhu, falyunfiq mimmaa aataahu Allah, laa yukallifullahu nafsan illaa maa aataahaa, sa yaj’alu allahu ba’da ‘usri yusra. 

Artinya: 

“Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS At-Thalaq: 7).

Mengingat status nafkah wajib, maka seorang istri dapat menuntut apabila sang suami tidak memenuhinya. Hal tersebut terdapat di dalam Kitab Wahbah Al Zuhaili pada juz 9, di halaman 6832. 

Adapun batas maksimal suami boleh tidak memberikan nafkah batin kepada istri? 

1.  Menurut Imam Ibnu Hazm

Imam Ibnu Hazm mengemukakan pendapat yang berlandaskan pada QS. Al Baqarah ayat 22, yang berbunyi: 

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ 

Faidzaa tathaharna fa’tuu hunna min haitsu amarakumullah, innallaaha yuhibbu al thawwaabiin wa yuhibbu al muthathiriin. 

Artinya: 

“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222).

Ibnu Hazm memahami bahwasanya QS. Al Baqarah ayat 222 tersebut, Allah menjelaskan tentang siklus haid yang dialami oleh wanita yakni sebulan sekali, dan adanya perintah wajib untuk memberikan nafkah batin.

Baca juga: Bacaan Doa Sujud Sahwi, Tata Cara, Alasan, Dalil & Hukumnya

2. Menurut Imam Syafi’i

Sementara itu, Imam Syafi’i mempunyai pandangan, bahwasanya batas maksimal suami boleh tidak memberikan nafkah batin adalah 4 bulan. Hal ini didasarkan pada ketetapan yang telah dibuat oleh Umar bin Khattab. 

Di masa itu, tidak sedikit sahabat yang berangkat perang meninggalkan anak dan istrinya. Tentu, istri-istri yang ditinggal berperang merasakan kesedihan. Kemudian, beliau berdiskusi dengan Hafsah, lalu mengambil keputusan. 

Adapun keputusan yang dikeluarkan ialah prajurit yang telah melaksanakan tugasnya di medan perang selama 4 bulan boleh pulang ke rumah yakni untuk memberikan nafkah batin kepada istri yang telah ditinggalkan atau menceraikannya.

Pendapat Imam Syafi’i ini tertuang di dalam Kitab Al Umm pada juz 7, halaman 121 yang berbunyi:

 كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا ، فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْتُ    

Kataba ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ilaa umaraa’i al ujnaadi fii rijaalin ghaabuu ‘an nisaa’ihim yaa muruhum an yakhdzuuhum bian yunfiquu au yuthallaquu, fa in thallaquu ba’atsuu binafaqati maa hasabuu, wa hadzaa yusybihu maa washaftu.

Artinya: 

“Umar bin Khaththab ra pernah menulis surat kepada para panglima perang mengenai para suami yang jauh istrinya. Dalam surat tersebut beliau menginstruksikan kepada mereka agar mengultimatum para suami dengan dua opsi; antara memberikan nafkah kepada para istri atau menceraikannya. Kemudian apabila para suami itu memilih menceraikan para istri, mereka harus mengirimkan nafkah yang belum mereka berikan selama meninggalkannya. Hal ini mirip dengan apa yang telah saya (Imam As-Syafi’i) kemukakan.”

Baca juga: 7 Pola Hidup Sehat Menurut Islam ala Rasulullah SAW

3. Menurut Ulama Indonesia

Adapun batas maksimal suami boleh tidak memberikan nafkah batin kepada istrinya yang akan kita bahas selanjutnya adalah yang berlaku di Indonesia. Di negara kita sendiri ada yang namanya ta’liq talak yang terdapat di dalam buku nikah. 

Isinya sangat beragam, mencakup kewajiban suami dan istri, sampai dengan masalah nafkah batin ini. Salah satu poin yang ada di dalam buku nikah adalah tidak memberi nafkah wajib kepada istri selama 3 bulan lamanya. 

Poin tersebut berbunyi:  Apabila saya: … (2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya … dan karena perbuatan tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya.”

Itu artinya, ulama Indonesia menetapkan aturan bahwasanya batasan maksimal seorang suami boleh tidak memberikan nafkah batin kepada istrinya adalah 3 bulan lamanya, dengan konsekuensi bisa jatuh talak. 

Namun, talak tidak serta merta jatuh, lantaran tergantung pada keridhaan istri. Ketika sang istri ridha, maka pernikahan akan tetap seperti biasanya. Tatkala istri tidak ridha, maka istri dapat, dan boleh menggugatnya ke pengadilan.

4. Menurut Para Ulama

Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Inna lizaujika ‘alaika haqqa

Artinya:

Sesungguhnya istrimu juga punya hak yang mesti engkau tunaikan” (HR. Bukhari no. 1975).

Hadis tersebut menunjukkan adanya kewajiban suami untuk memberikan nafkah batin kepada istrinya. 

Adapun pendapat para ulama terkait dengan berapa batas maksimal suami boleh tidak memberikan nafkah batin kepada istrinya ialah tiga bulan. 

Pendapat tersebut terdapat di dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’, yang menjelaskan bahwasanya:

“Suami yang memboikot istrinya lebih dari tiga bulan, jika itu karena istrinya berbuat nusyuz, yaitu istrinya berbuat maksiat kepada suaminya dalam perkara-perkara yang terkait hak suami. Dan si istri terus-menerus melakukannya setelah dinasehati dan diingatkan untuk takut kepada Allah, serta diingatkan untuk menunaikan hak-hak suaminya. Maka istri yang demikian boleh diboikot di ranjang seberapa pun lamanya. Sebagai bentuk hukuman baginya, sampai ia mau menunaikan hak suaminya dan sampai suaminya ridha kepadanya. Nabi Shallallahu Alaihi wasallam pernah memboikot istri-istrinya, sehingga tidak digauli selama satu bulan”. 

Tampaknya, ulama Indonesia mengambil pendapat dari  Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’. Lantaran terdapat kesamaan penetapan batas maksimal. 

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya terdapat beberapa versi berapa batas maksimal suami boleh tidak memberikan nafkah batin kepada istrinya.

Ada yang berpendapat satu bulan, tiga bulan, dan ada yang berpandangan 4 bulan. Masing-masing pendapat memiliki landasan yang kuat. Wallahu a’lam.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment