Islam dikenal memiliki aturan hukum yang sangat ketat di berbagai bidang kehidupan. Lantas, apa tujuan yang ingin dicapai dari penegakan hukum Islam tersebut? Lalu, dari mana sumber hukum tersebut diperoleh?
Sebagai umat muslim, tentu kita harus tahu tentang kedua hal tersebut, sehingga kita mempunyai dasar yang kuat dalam mengerjakan perintah-perintah agama, yaitu menjalankan apa yang diwajibkan dan menghindari apa saja yang dilarang.
Pada artikel kali ini, kita akan membahas apa saja tujuan dari tegaknya hukum-hukum Islam beserta sumber dan pengertiannya. Berikut ulasannya!
Daftar ISI
Apa Tujuan yang Ingin Dicapai dari Penegakan Hukum Islam?
Secara umum, tujuan dari adanya hukum Islam adalah mencegah terjadinya kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan. Hal ini seperti tujuan hukum Islam yang telah dirumuskan oleh Abu Ishaq As-Syatibi berikut ini:
1. Memelihara Agama (Hifz al-Din)
Tujuan hukum Islam yang pertama adalah untuk memelihara agama atau dikenal dengan istilah Hifz al-Din. Konsep ini mewakili upaya untuk menjaga dan melestarikan agama Islam sebagai landasan utama dalam kehidupan umat Muslim.
Lebih lanjut, upaya untuk memelihara agama (Hifz al-Din) ini terbagi menjadi tiga peringkat, yaitu:
- Peringkat pertama adalah dharuriyat, yaitu memelihara agama ke dalam peringkat primer seperti sholat 5 waktu, puasa, dan kewajiban penting lainnya.
- Peringkat kedua adalah hajiyyat, yaitu melaksanakan hukum agama dengan maksud menghindari kesulitan atau halangan. Contohnya adalah mengerjakan sholat jama’ dan sholat qashar bagi mereka yang berhalangan dari mengerjakan sholat 5 waktu.
- Ketiga adalah tahsiniyyat, yaitu menjalankan hukum agama demi menjaga dan menjunjung tinggi martabat manusia seperti berhijab, menjaga kebersihan, berkata baik, dan sebagainya.
Baca juga: Contoh Ceramah Singkat tentang Ibu ini Bisa Jadi Referensi
2. Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs)
Apa tujuan yang ingin dicapai dari penegakan hukum Islam berikutnya adalah untuk memelihara jiwa atau dikenal dengan istilah Hifz al-Nafs.
Hifz al-Nafs menetapkan larangan tegas terhadap tindakan pembunuhan dan kekerasan. Hukum Islam menegaskan pentingnya menjaga kehidupan manusia dan melarang segala bentuk tindakan yang dapat merugikan atau membahayakan jiwa.
Hal ini juga terlampir dalam QS. Al-Isra ayat 33, yaitu:
وَلَا تَقْتُلُوا۟ ٱلنَّفْسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۗ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلْطَٰنًا فَلَا يُسْرِف فِّى ٱلْقَتْلِ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورًا
Wa lā taqtulun-nafsallatī ḥarramallāhu illā bil-ḥaqq, wa mang qutila maẓlụman fa qad ja’alnā liwaliyyihī sulṭānan fa lā yusrif fil-qatl, innahụ kāna manṣụrā.
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Hifz al-Nafs juga terbagi dalam tiga peringkat, yaitu:
- Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti tidak membunuh, memenuhi kebutuhan pokok (makan dan minum), atau hal-hal lain yang apabila dilanggar bisa mengancam jiwa seseorang.
- Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti memperbolehkan berburu binatang agar bisa memilih makan yang lezat dan halal. Jika hal ini diabaikan, maka tidak sampai mengancam jiwa, tetapi akan menyulitkan hidupnya.
- Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti penetapan tata cara makan dan juga minum. Hal ini tidak sampai menyulitkan hidup atau bahkan mengancam jiwa. Akan tetapi, hanya berpengaruh pada kesopanan saja.
3. Memelihara Akal (Hifz al-‘Aql)
Islam menganggap akal sebagai karunia dari Allah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Pemeliharaan akal dianggap sebagai tanggung jawab moral untuk memanfaatkannya dengan bijak dalam menjalani kehidupan.
Seseorang juga tidak akan bisa menjalankan hukum Islam dengan benar jika akalnya tidak terpelihara. Itulah kenapa ada banyak perkara dalam Islam yang tidak berlaku bagi mereka yang belum baligh atau memiliki gangguan jiwa.
Pembagian peringkat dalam memelihara akal (Hifz al-‘Aql):
- Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti tidak boleh minum khamr atau alkohol. Jika hal ini dilanggar, maka akan terancam eksistensi akal kita.
- Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti perintah untuk menuntut ilmu. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan merusak akal. Akan tetapi, hal ini dapat menyulitkan hidup dan menghambat pengembangan ilmu pengetahuan.
- Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti mendengarkan atau membayangkan sesuatu yang tak bermanfaat. Hal ini bisa menyalahi etiket, namun tidak sampai mengancam akal.
4. Memelihara Keturunan (Hifz al-Nasl)
Selanjutnya, hukum Islam juga bertujuan untuk memelihara keturunan yang juga dikenal dengan istilah Hifz al-Nasl.
Memelihara keturunan dalam Islam dianggap sebagai kontribusi terhadap meneruskan dakwah dan ajaran Islam. Dengan memiliki keturunan yang kuat dan taat agama, umat Islam dapat menyebarkan nilai-nilai Islam ke generasi selanjutnya.
Pembagian peringkat dalam memelihara keturunan (Hifz al-Nasl):
- Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyariatkannya menikah dan larangan berzina. Mengabaikan hal ini justru akan mengancam eksistensi keturunan.
- Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti penyebutan mahar dalam pernikahan dan adanya talaq. Penetapan keduanya akan menengahi jika ada masalah dalam pernikahan.
- Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti adanya syariat khitbah. Hal ini tidak akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula menyulitkan seseorang menjalankan perkawinan.
5. Memelihara Harta (Hifz al-Mal)
Dalam Islam, umat dianggap sebagai khalifah atau pemimpin yang bertanggung jawab atas amanah harta yang diberikan oleh Allah. Pemeliharaan harta menjadi tanggung jawab umat untuk digunakan dengan bijak dan adil.
Lantas, apa tujuan yang ingin dicapai dari penegakan hukum Islam terkait harta ini? Sama seperti sebelumnya, pemeliharaan harta (Hifz al-Mal) memiliki tujuan tertentu dalam Islam yang terbagi menjadi:
- Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti syariat terkait kepemilikan harta dan larangan mengambil harta milik orang lain. Jika hal ini dilanggar, tentu tujuan pemeliharaan harta tidak akan tercapai.
- Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, seperti adanya akad perniagaan yang menggunakan akad salam. Hal ini tidak akan mengancam harta, tetapi dapat menyulitkan hidup seseorang.
- Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti adanya etika dalam berbisnis. Hal ini mungkin saja tidak berpengaruh pada sah atau tidaknya jual beli, tetapi secara etika bisa bermasalah.
Sumber Hukum Islam dan Pengertiannya
Setelah mengetahui apa tujuan yang ingin dicapai dari penegakan hukum islam, kita juga perlu tahu dari mana sumber hukum Islam itu berasal. Berikut ini adalah beberapa sumber rujukan yang menjadi dasar diberlakukannya hukum-hukum Islam:
1. Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang utama tentu saja adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an dianggap sebagai petunjuk hidup yang lengkap dan sempurna. Ayat-ayatnya memberikan panduan dalam segala aspek kehidupan, termasuk etika, moral, serta hukum.
Kitab suci ini menyampaikan hukum syariat secara universal dan juga abadi. Artinya, hukum-hukum di dalamnya tidak terikat oleh ruang dan waktu sehingga relevan untuk diterapkan dalam berbagai masa sampai akhir jaman.
2. Hadits
Sumber hukum Islam berikutnya adalah hadits. Hadits memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mungkin memerlukan konteks atau interpretasi tambahan.
Dengan kata lain, hadits dapat membantu umat Islam dalam memahami maksud dan penerapan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya telah tercatat segala tindakan, perkataan, dan perilaku Nabi Muhammad SAW.
Sebagai contoh teladan, hadits dapat membimbing umat muslim dalam menjalankan ajaran Islam dengan memberikan petunjuk nyata tentang bagaimana Nabi mengimplementasikan ajaran Al-Qur’an di dalam kesehariannya.
3. Ijtihad Ulama
Berikutnya, sumber hukum Islam juga berasal dari ijtihad para ulama. Proses ijtihad melibatkan analisis mendalam terhadap sumber-sumber hukum Islam, termasuk Al-Qur’an, hadits, dan prinsip-prinsip hukum Islam lainnya.
Ijtihad sendiri merupakan usaha ulama dalam menentukan hukum-hukum Islam setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW sehingga tidak ada lagi orang yang bisa ditanyakan terkait pendapatnya akan suatu perkara.
Setidaknya, ada 4 jenis ijtihad yang perlu kita tahu, yaitu:
- Ijma, suatu hukum yang sesuai dengan kesepakatan para ulama.
- Qiyas, penetapan hukum baru berdasarkan hukum lain yang sudah jelas status hukumnya.
- Maslahah, prinsip kesejahteraan atau kepentingan umum (kemaslahatan umat).
- Urf, hukum yang bersifat kebiasaan atau diwariskan secara turun temurun.
Dari pembahasan ini, dapat kita pahami bersama terkait apa tujuan yang ingin dicapai dari penegakan hukum Islam. Dengan begitu, kita bisa lebih yakin dalam mengerjakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan yang berlaku.