Meskipun termasuk masalah klasik, perkara yang satu ini masih sering menjadi perdebatan. Apakah orang tua berhak menentukan calon pasangan anaknya?
Maka, sebagai muslim kita perlu merujuk pada syariat Islam untuk menemukan jawaban yang tepat.
Apalagi, setiap perkara kehidupan memiliki aturan dalam agama Islam. Terlebih lagi, mengenai pemilihan pasangan hidup. Mari simak bagaimana hak orang tua dalam perkara ini menurut Islam.
Daftar ISI
Apakah Orang Tua Berhak Menentukan Calon Pasangan Anaknya?
Setiap orang tua pastinya menginginkan yang terbaik bagi anak. Hal ini juga berlaku dalam memilih pasangan hidup. Sehingga, sering kali orang tua mencarikan jodoh untuk sang anak.
Meskipun begitu, niatan untuk mencarikan yang terbaik demi masa depan anak ini terkadang berujung pada pemaksaan.
Bahkan, ada juga anak yang terpaksa menikah dengan pasangan yang dipilihkan orang tua alih-alih pasangan yang diinginkan. Alhasil, ikatan pernikahan berdasarkan paksaan tersebut menjadi tidak harmonis.
Baca juga: 10 Keutamaan Silaturahmi bagi Umat Islam, Jadi Pintu Rezeki
Alasannya sederhana, yakni tidak adanya kepedulian antara suami istri. Ada pula yang sampai memilih kabur demi meninggalkan pernikahan paksa.
Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut? Apakah orang tua berhak menentukan calon pasangan anaknya? Dan haruskah anak mematuhi walau terpaksa?
Syekh Ali Jumah, seorang Mufti Mesir kontemporer pernah memberikan penjelasan mengenai batasan hak orang tua dalam menentukan pasangan hidup anak.
Dalam kitabnya, Syekh Ali Jumah menerangkan,
سَاوَى الْاِسْلَامُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِي حَقِّ اخْتِيَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا لِلْأَخَرِ، وَلَمْ يَجْعَلْ لِلْوَالِدَيْنِ سُلْطَةُ الْاِجْبَارِ عَلَيْهِمَا. فَدَوْرُ الْوَالِدَيْنِ فِي تَزْوِيْجِ أَوْلَادِهِمَا يَتَمَثَّلُ فِي النُّصْحِ وَالتَّوْجِيْهِ وَالْاِرْشَادِ، وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُمَا أَنْ يَجْبِرَا أَوْلَادَهُمَا ذُكُوْرًا أَوْ اِنَاثًا
Artinya:
“Islam menyamaratakan laki-laki dan wanita dalam menentukan hak pilih keduanya pada yang lain (pasangannya-calon suaminya). Dan, (Islam) tidak memberikan otoritas pemaksaan bagi kedua orang tua atas keduanya (laki-laki dan perempuan). Oleh karenanya, hak orang tua dalam menikahkan anaknya sebatas memberi nasihat, mengarahkan, dan menunjukkan, dan tidak boleh baginya untuk memaksa anaknya (menikah dengan orang tertentu), baik laki-laki maupun perempuan.” (Syekh Ali Jumah, al-Bayan lima Yusghilu al-Azhan, [Darul Maqattham: 2009], halaman 67).
Ulama besar bernama al-Imam al-Faqih Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Muflih al-Muqdisi juga menyampaikan pendapat yang selaras dalam kitabnya.
Menurut Beliau orang tua tidak berhak menentukan pasangan hidup yang tidak diinginkan anaknya. Maka, apabila anak menolak ketentuan orang tua tersebut, ia tidak termasuk sebagai anak durhaka.
لَيْسَ لِأَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَنْ يُلْزِمَ الْوَلَدَ بِنِكَاحِ مَنْ لَا يُرِيدُ، وَإِنَّهُ إذَا امْتَنَعَ لَا يَكُونُ عَاقًّا
Artinya:
“Tidak ada hak bagi salah satu orang tua untuk menentukan calon (suami/istri) yang tidak diinginkan anaknya. Sungguh, jika ia menolak maka ia tidak termasuk durhaka.” (Ibnu Muflih, al-Adabus Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1999 M\1419 H], juz II, halaman 55).
Dalil tentang Larangan Memaksa Anak Menikah
Terdapat beberapa dalil yang menjadi landasan pandangan para ulama dalam menanggapi pertanyaan apakah orang tua berhak menentukan calon pasangan anaknya?
Salah satunya yaitu sabda Rasulullah ketika memberikan jawaban pada seorang gadis yang diperintahkan oleh orang tuanya untuk menikahi laki-laki yang tidak dia cintai.
أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِىَّ فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِىُّ
Artinya:
“Sungguh terdapat seorang gadis datang kepada nabi, kemudian ia menceritakan bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan ia tidak senang (dengan pilihan ayahnya), maka nabi memberikan pilihan (antara meneruskan dan merusak pernikahan) kepadanya.” (HR Ahmad).
Hadits tersebut jelas menerangkan bahwa si gadis berhak untuk memilih apakah ia hendak menerima atau menolak pernikahan tersebut.
Kita juga bisa menyimak penjelasan lebih lanjut dari kitab karya Syekh Ali Jumah. Beliau menerangkan sebagai berikut,
فَالزَّوَاجُ يُعْتَبَرُ مِنْ خُصُوْصِيَاتِ الْمَرْءِ، وَاِنَّ اِجْبَارَ أَحَدِ الْوَالِدَيْنِ اِبْنَتَهُ عَلَى الزَّوَاجِ بِمَنْ لَا تُرِيْدُ مُحَرَّمٌ شَرْعًا لِأَنَّهُ ظُلْمٌ
Artinya:
“Pernikahan merupakan hak khusus bagi setiap orang. Oleh karenanya, pemaksaan salah satu orang tua pada anak perempuannya untuk menikah dengan orang yang tidak dia inginkan adalah diharamkan secara syariat, karena termasuk perbuatan zalim.” (Syekh Ali Jumah, 68).
Larangan memaksakan pernikahan pada anak juga sudah ditegaskan dalam sabda Rasulullah,
لَاتُنْكِحُهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ
Artinya:
“Jangan nikahkan wanita, sedangkan ia dalam keadaan terpaksa.” (HR An-Nasai).
Maka, sudah jelas bahwa orang tua tidak boleh memaksa anak untuk menikahi calon yang mereka pilihkan.
Apabila orang tua mencarikan calon, maka hendaknya diajukan kepada anak sebagai saran atau nasihat. Sementara itu, keputusan untuk pernikahan tetap menjadi hak anak.
Dalil dalam Memilih Pasangan
Agama Islam juga telah mencakup panduan dalam pasangan. Pernikahan dalam islam merupakan hal yang sakral dan memberikan manfaat untuk menghindarkan diri dari fitnah dunia.
Mengenai calon pasangan, tidak terdapat kriteria khusus menurut aturan agama Islam. Sehingga umat muslim boleh memilih pasangan sesuai selera masing-masing.
Al-Qur’an juga telah menerangkan bahwa umat muslim hendaknya menikah dengan orang yang dicintai.
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya:
“…maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita…” (QS An-Nisa [4]: 3).
Lebih lanjut lagi, Rasulullah mengajarkan kita untuk mengutamakan ketaatan dalam beragama dan akhlak ketika memilih pasangan.
Sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi,
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ
Artinya:
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.1466).
Hadits tersebut menerangkan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kriteria utama ketika memilih pasangan hidup terbaik. Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Artinya”
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13).
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda,
إذا جاءَكم مَن ترضَونَ دينَه وخُلقَه فأنكِحوهُ ، إلَّا تفعلوا تَكن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ
Artinya:
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi” (HR. Tirmidzi no.1085).
Lantas, apa kita boleh memilih istri yang cantik atau suami yang tampan?
Faktor penampilan fisik memang termasuk kriteria umum ketika memilih pasangan idaman. Hal ini boleh-boleh saja karena sejalan dengan tujuan pernikahan, yakni untuk mendapatkan ketentraman hati.
Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Artinya:
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tentram dengannya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Selain itu, Rasulullah juga menyebutkan penampilan menyenangkan dalam sabdanya mengenai 4 ciri wanita shalihah. Berikut bunyinya:
وان نظر إليها سرته
Artinya:
“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud).
Sekian pembahasan untuk menjawab pertanyaan apakah orang tua berhak menentukan pasangan untuk anaknya? Setelah memahami hukumnya dalam Islam, semoga kita bisa menjalani sesuai syariat dan mendapat kelancaran.