Cara Menilai Kesalehan, Kematangan Akal, dan Akhlak Seseorang

Pernahkah kita merenung seberapa baik kesalehan kita? Apakah kita pernah bertanya-tanya bagaimana cara menilai kesalehan? Baik itu diri sendiri atau orang lain? Sudahkan iman kita sangat baik selama di dunia?

Saat ini, kebanyakan orang menilai kesalehan hanya berdasarkan dari penampilan. Bagi laki-laki, jenggot lebat menjadi ciri khas kita menganggapnya alim. Sementara bagi perempuan, mereka mengenakan jilbab sudah menandakan bahwa dirinya mulai taat.

Perilaku juga menjadi faktor bagi kita untuk menilai kesalehan saat ini, mulai dari rajin beribadah seperti shalat. Kita terkadang terkagum-kagum menyaksikan penceramah atau imam menyampaikan ceramah di hadapan jamaah yang banyak di mana-mana.

Ternyata menilai kesalehan bukan sekadar menilai perilaku seperti itu dan bagaimana cara berpenampilan. Jadi mengapa seperti itu? Pada akhirnya, kesalehan berasal dari akhlak diri sendiri sebagai dasarnya.

Apa Itu Kesalehan?

Sebelum mengetahui cara untuk menilai kesalehan, ada baiknya kita mengetahui dulu definisi kesalehan. Ini akan menjadi penting bagaimana kita menilai kesalehan saat ini dan yang seperti seharusnya.

Kita mulai dari kata dasarnya, saleh. Menurut KBBI, saleh memiliki makna bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah. Saleh juga bisa menandakan beriman dan suci.

Sementara kesalehan berarti ketaatan dalam menjalankan ibadah dan menunaikan ajaran agama secara bersungguh-sungguh. Dari definisi ini, sering sekali orangtua berharap kita agar menjadi soleh semenjak usia anak-anak.

Sering sekali masyarakat membagi kesalehan menjadi dua macam secara dikotomis, yaitu kesalehan individual dan kesalehan sosial.  Umumnya, keduanya menjadi hal wajib yang dimiliki seorang muslim.

Kesalehan individual menekankan pelaksanaan ibadah atau ritual bagi seorang muslim, seperti shalat, puasa, dan hji. Macam kesalehan ini menjadi hubungan antara seorang muslim dan Allah SWT.

Di sisi lain, kesalehan sosial merujuk pada perilaku sosial seorang muslim yang menekankan nilai-nilai Islam. Tidak hanya sekadar kepekaan sosial, ia memiliki sikap santun pada orang lain, terutama suka menolong dan menghargai saudaranya.

Baca juga: Apakah Berdosa Mengambil Keuntungan Hingga 1000%?

Begini Cara Menilai Kesalehan

Berdasarkan definisi yang sudah kita pahami bersama, kesalehan bukan hanya sekadar bagaimana berpenampilan. Bukan pula sekadar rajin beribadah seperti shalat dan puasa.

Ternyata, kesalehan juga menandakan perilaku sosial terhadap sesama manusia. Seorang muslim yang saleh akan menghargai orang lain penuh cinta kasih, mempertahankan hubungan harmonis dengan saudara, dan membantu sesama.

Terdapat pula tiga hadits yang membahas standar untuk menilai kesalehan. Coba kita perhatikan ketiga hadits berikut:

Hadits Pertama

مَا شَىْءٌ أَثْقَلُ فِى مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيَبْغَضُ الْفَاحِشَ الْبَذِىءَ

Artinya

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin selain akhlak yang baik. Sungguh, Allah membenci orang yang berkata keji dan kotor.” (HR. Tirmidzi, No. 2002.).

Hadits Kedua

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Artinya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, no. 2004 dan Ibnu Majah, no. 4246).

Hadits Ketiga

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Artinya: 

“Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, no. 1987).

Dari ketiga hadits tadi, bisa kita simpulkan bahwa kesalehan bukan sekadar taat beribadah dan menjauhi larangan Allah SWT. Perilaku saat bersosialisasi juga menjadi faktor dalam cara kita untuk menilai kesalehan.

Bisa saja seseorang sudah rajin ibadah, tetapi ia memiliki perilaku yang sering berbuat tidak baik pada sesama. Lebih parah lagi, ia bisa jadi rajin beribadah demi mendapat pujian atau dengan tujuan duniawi tertentu seperti mendapatkan jodoh idaman.

Pada akhirnya, cara menilai kesalehan kembali lagi pada akhlak masing-masing. Kesalehan bukan hanya sekadar berpenampilan atau rajin beribadah, tetapi juga bagaimana perilaku saat bersosialisasi.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment