Ini Hukum Asuransi Jiwa Menurut Islam, Pastikan Sudah Tau!

Asuransi jiwa adalah perjanjian antara perusahaan asuransi dengan peserta untuk pembayaran berdasarkan kematian atau kelangsungan hidup. Lalu, bagaimana hukum asuransi jiwa menurut Islam?

Dalam perjanjian asuransi, nasabah membayarkan secara rutin kepada perusahaan asuransi selama masa hidupnya. Lalu, perusahaan akan memberikan imbalan berupa uang atau ganti rugi barang saat terjadi klaim. 

Dengan kata lain, asuransi merupakan proses pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah. Adapun dananya berasal dari iuran premi yang dibayarkan oleh seluruh peserta asuransi.

Hukum Asuransi Jiwa Menurut Islam

Pada zaman nabi, tidak ada asuransi. Oleh karena itu, dalam memutuskan hukum asuransi, para  ulama berijtihad. Terdapat tiga pendapat ulama dalam menjawab pertanyaan mengenai hukum asuransi dalam Islam. Berikut penjelasannya:

1. Pendapat yang Mengharamkan

Sejumlah kelompok ulama menyatakan bahwa asuransi haram. Ulama yang menyatakan demikian antara lain Ibnu Abidin, Sayyid Sabiq, Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Shadiq Abdurrahman al Gharyani, Yusuf Qardhawi, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Bakhit al-Muth’I, serta majelis ulama fiqih. 

Para ulama tersebut berpendapat bahwa terdapat tiga aspek dalam asuransi yang haram menurut syariat Islam, yaitu ketidakpastian (gharar), unsur judi (maisir), dan riba.

Gharar terdapat dalam ketidakpastian mengenai premi dan klaim. Maisir terkait dengan unsur untung-untungan dalam penyerahan kompensasi klaim. Riba muncul dalam transaksi asuransi terkait dengan dana klaim.

Baca juga: Apa Hukum Donor Darah dalam Islam? Ini Jawabnya

2. Memperbolehkan Sebagian, Mengharamkan Sebagian

Kelompok ulama lain memperbolehkan asuransi jika menggunakan akad tabarru atau orientasi sosial, tanpa mengandung unsur-unsur yang diharamkan. Namun, para  ulama mengharamkan asuransi yang bersifat profit oriented. 

Ulama yang menyatakan pendapat ini antara lain Muhammad Abu Zahra, Wahbah al-Zuhaili, Musthafâ al-Zarqâ. Dalam konteks ini, asuransi diperbolehkan jika tujuannya adalah sosial, tanpa unsur-unsur yang bertentangan dengan syariat.

3. Pendapat yang Menghalalkan

Sejumlah ulama seperti Murtadla Muthahhari, Abdul Wahbah Khallaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Muhammad Nejatullah Shiddiq, Muhammad Musra, Muhammad al-Bahl, Muhammad Dasuqi, Muhammad Ahmad, Mustafa al-Zarqa, menyatakan bahwa asuransi adalah boleh dalam Islam. 

Para ulama tersebut berpegang pada kaidah fiqih bahwa “asal sesuatu adalah boleh”. Selain itu, tidak ada dalil naqli (dari Quran dan hadits) yang secara khusus melarang praktik asuransi. 

Kelompok ulama ini menganggap asuransi sebagai transaksi yang bermanfaat dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. 

Hal terpenting, kita harus memperhatikan akad asuransi yang digunakan dalam produk-produk asuransi syariah agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Jenis asuransi yang diperbolehkan yaitu Asuransi at-Ta’mîn at-Ta’âwuni. Jenis asuransi ini adalah asuransi gotong-royong yang tidak bertujuan mencari keuntungan, tetapi hanya tolong-menolong dalam kesusahan.

Misalnya, sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang. Uang tersebut lalu digunakan untuk membantu orang yang terkena musibah.

Hukum Asuransi Menurut Muktamar NU ke-14

Majelis Musyawarah mengambil keputusan terkait hukum asuransi jiwa menurut Islam. Berdasarkan Muktamar NU ke-14, mengasuransikan jiwa atau aset lainnya di perusahaan asuransi haram karena dianggap sebagai bentuk perjudian. 

Keputusan ini didasarkan pada pendapat Syeikh Bakhit, seorang Mufti Mesir, dalam Ahkamul Fuqaha II. Di dalam asuransi jiwa tidak ada bentuk perlindungan yang dapat memperpanjang umur atau mengubah takdir. 

Asuransi jiwa hanya menawarkan janji keamanan yang mirip dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh para penipu. Mengutip dari Syaikh Bakhit bahwa:

“Sesungguhnya ketika aku membayar satu premi, jika aku mendadak meninggal, maka aku berhak atas warisanku yang telah aku jaminkan ketika aku masih hidup. Dan itu berarti membantu meringankan kepada ahli waris setelah kepergianku. Dan jika aku tetap hidup dalam tempo yang telah ditetapkan maka aku berhak memperoleh kembali semua yang telah dibayarkan beserta keuntungannya. Dengan demikian, maka aku beruntung dalam dua hal tersebut (mati dan hidup).”

Asuransi yang dimaksud termasuk Asuransi at-Ta’mîn at-Tijâri. Jenis asuransi ini merupakan bentuk asuransi yang tujuannya mencari keuntungan dengan pembayaran angsuran yang telah ditetapkan. 

Angsuran ini secara otomatis menjadi kepunyaan perusahaan asuransi sebagai kompensasi atas risiko yang ditanggung jika terjadi musibah. 

Jika jumlah pembayaran dari perusahaan melebihi uang angsuran, perusahaan harus menanggung selisihnya sebagai kerugian.  

Namun, jika tidak terjadi musibah, angsuran tersebut menjadi milik perusahaan tanpa memberikan ganti rugi kepada nasabah. Hal ini merupakan keuntungan bagi perusahaan asuransi.

Dengan demikian, asuransi tersebut termasuk dilarang karena melibatkan unsur spekulasi yang dapat merugikan salah satu pihak.

Alasan Haramnya Asuransi

Hukum asuransi jiwa menurut Islam adalah haram dengan beberapa alasan. Asuransi haram karena mengandung unsur riba, qimar (unsur judi), dan ghoror (ketidakjelasan atau spekulasi tinggi).

1. Akad Mencari Keuntungan (Mu’awadhot)

Asuransi melibatkan akad untuk mencari keuntungan. Pada dasarnya hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Terlebih lagi, akad asuransi sendiri mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan. 

Salah satu ketidakjelasan adalah kapan nasabah akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap nasabah bisa yakin mendapatkan klaim mengingat accident atau risiko yang terjadi bersifat tak tentu. 

Seorang nasabah mungkin mengalami accident setiap tahun atau mungkin tidak sama sekali selama bertahun-tahun. Ini menciptakan ketidakjelasan pada aspek waktu.

Unsur gharar lainnya terkait dengan besaran klaim yang akan diterima sebagai timbal balik. Besaran klaim ini juga tidak diketahui dengan pasti, sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip jual beli dalam Islam. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung gharar atau spekulasi tinggi, sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli gharar (mengandung unsur ketidakjelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

2. Asuransi Mengandung Unsur Judi

Hukum asuransi jiwa menurut Islam haram karena asuransi mencakup unsur qimar atau judi. Nasabah mungkin tidak mengalami kecelakaan sama sekali atau mungkin mengalami kecelakaan sekali dan seterusnya. 

Hal ini menunjukkan adanya spekulasi yang tinggi. Pihak penyedia asuransi dapat mengalami keuntungan karena tidak perlu membayar ganti rugi. 

Pada suatu saat, pihak asuransi bisa mengalami kerugian besar karena banyaknya klaim akibat musibah atau kecelakaan. 

Dari sudut pandang nasabah, ada kemungkinan besar bahwa nasabah tidak akan mendapatkan klaim karena tidak pernah mengalami kecelakaan atau risiko. 

Bahkan, ada nasabah yang hanya membayar premi beberapa kali namun memiliki hak penuh untuk menerima klaim, atau sebaliknya. 

Semua ini mencerminkan unsur judi yang melibatkan spekulasi tinggi. Dalam Islam, Allah secara tegas melarang praktik judi berdasarkan ketentuan umum dalam ayat-ayatNya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). 

3. Asuransi Mencakup Unsur Riba 

Riba dalam asuransi adalah fadhel (riba perniagaan karena kelebihan) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. 

Jika perusahaan membayar klaim kepada nasabah atau ahli warisnya dalam jumlah yang lebih besar dari premi yang telah diterima, hal ini termasuk riba fadhel. 

Sebaliknya, jika perusahaan membayar klaim sebesar premi yang diterima namun dengan penundaan, itu dianggap sebagai riba nasi’ah (penundaan). 

Dalam situasi ini, nasabah seolah-olah memberikan pinjaman kepada perusahaan asuransi. Tidak diragukan bahwa kedua bentuk riba ini diharamkan menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).

4. Asuransi Termasuk Dalam Judi dengan Taruhan yang Dilarang

Judi melibatkan unsur taruhan. Hal ini serupa dengan premi yang diinvestasikan dalam asuransi. 

Premi dapat dianggap setara dengan taruhan dalam perjudian. Namun, tidak semua orang akan menerima klaim atau imbalan, ada yang menerima, dan ada yang sama sekali tidak. 

Hukum asuransi jiwa menurut Islam bentuk seperti ini terlarang karena judi yang melibatkan taruhan hanya diperbolehkan dalam tiga permainan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ

Artinya:

“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). 

Para ulama memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam. Misalnya, lomba untuk menghafal Al-Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sementara, asuransi tidak termasuk dalam hal ini.

5. Pengambilan Harta Orang Lain Melalui Jalur yang Tidak Sah

Pihak asuransi mengambil harta, tetapi tidak selalu memberikan imbalan atau timbal balik yang pasti. 

Padahal, dalam akad mu’awadhot, seharusnya terdapat imbalan yang setara. Jika tidak ada imbalan yang jelas, hal ini termasuk hukum Allah dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 29). 

Tentu, setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, tetapi tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan. 

Berdasarkan penjelasan ini, jelas bahwa hukum asuransi jiwa menurut Islam adalah haram. Banyak ulama yang mengeluarkan fatwa yang melarang asuransi tijari dalam segala bentuknya. 

Terlebih lagi, asuransi yang umumnya beredar saat ini yang dilakukan untuk meraih keuntungan, termasuk hal yang dilarang oleh syariat. 

Sementara itu, jenis asuransi yang dibolehkan adalah asuransi at-Ta’mîn at-Ta’âwuni yang memiliki tujuan untuk gotong royong.

Nah, semoga penjelasan mengenai hukum asuransi jiwa menurut Islam ini bisa membantumu untuk menentukan pilihan ke depannya.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment