Hukum Karma dalam Islam Apakah Ada? Ini Penjelasannya!

Sebagian orang percaya dengan adanya karma sebagai balasan atas tindakan buruk yang dilakukan di dunia. Namun, apakah karma dalam Islam itu benar-benar ada?

Seperti hal baik yang akan selalu dibalas dengan suatu kebaikan, begitu juga dengan hal buruk. Mungkin di antara kita pun ada yang sering mengaitkan kejadian buruk yang terjadi merupakan karma atas tindakan yang terjadi di masa lalu.

Lantas, bagaimana hukum dari karma dalam Islam sendiri? Mari simak jawabanya di sini.

Mengenal Apa Itu Karma dalam Islam

Pada dasarnya hukum karma bukan berasal dari ajaran Islam, melainkan berasal dari ajaran Hindu dan Budha.

Dalam ajaran ini, hukum karma diartikan sebagai suatu balasan akibat perbuatan buruk yang dilakukan di masa lalu. Hukum karma di dalam Hindu dan Budha memiliki paham bahwa segala perbuatan yang dilakukan memiliki akibat pada pelaku di masa selanjutnya.

Makna dari karma adalah tindakan. Istilah ini sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang mengerikan. Kebanyakan orang yang terkadang gagal memahami makna sebenarnya dari istilah ini. Kata karma sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti tindakan atau perbuatan.

Dalam istilah sansekerta, perbuatan dan hasil yang akan di dapat dari perbuatan tersebut dinamakan karmaphala, sementara akibat yang ditimbulkan dari perbuatan disebut karma vipaka.

Baca juga: Apakah Merokok Membatalkan Puasa? Ini Kata 4 Mazhab

Hukum Karma dalam Islam

Hukum karma dalam Islam sendiri tidak ada, namun Islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan baik akan mendatangkan hal baik, sebaliknya jika melakukan hal buruk maka akan dating pula hal buruk baginya.

Bukti bahwa Islam tidak mengenal hukum karma termaktub dalam firman Allah yakni Al-Qur’an surat Al Fathir ayat 18,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى ۗوَاِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ اِلٰى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۗ اِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ ۗوَمَنْ تَزَكّٰى فَاِنَّمَا يَتَزَكّٰى لِنَفْسِهٖ ۗوَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ

Artinya: Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat engkau beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada (azab) Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka yang melaksanakan salat. Dan barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya dia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah tempat kembali. Karma dalam Islam memiliki pandangan tersendiri yang menjurus pada “balasan sebuah perbuatan”.

Tidak hanya di dunia, Islam menjelaskan bahwa segala kebaikan yang dilakukan di dunia akan menjadi tabungan pahal di akhirat kelak.

Begitu juga sebaliknya, perbuatan buruk selama di dunia akan memiliki balasan pula di akhirat kelak dengan pertanggung jawabannya. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 97 yang berbunyi:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Artinya: Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Dan adapun bagi siapa saja yang berbuat keburukan maka Allah akan menurunkan azab kepada mereka sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat Ar Rum ayat 41,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Sebab hal tersebut, alih-alih disebut sebagai hukum karma, Islam menyebutnya sebagai hukum konsekuensi, hukum tabor-tuai atau disebut juga hukum dzarroh.

Adapun istilah dzarroh artinya adalah biji sawi. Namun, dapat pula diartikan sebagai ukuran terkecil yang bisa dihitung oleh manusia.

Dalam hal ini, hukum dzarroh dimaksudkan bahwa setiap perbuatan baik maupun buruk meski sekecil biji dzarroh tetap akan mendapatkan balasan.

Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al Zalzalah ayat 7-8,

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ

Artinya: Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarroh, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarroh, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

Pandangan Mengenai Karma dalam Islam

Setelah membahas mengenai hukum karma yang merupakan ajaran dari Hindu dan Budha, karma dalam Islam sendiri sebenarnya tidak ada, sebab hal tersebut haram hukumnya bagi seorang muslim mempercayainya. Sebab hal ini dikaitkan dengan kegiatan musyrik.

Dan tidak dibenarkan pula jika memastikan hukum sebab akibat dengan sebab yang pasti tau tertentu. contoh sederhananya yakni, semisal engkau sakit parah saat ini karena dahulu engkau sering mencuri, maka hal tersebut merupakan karma.

Hal ini merupakan termasuk ke dalam kegiatan menebak hal-hal ghaib, karena:

“Darimana ia tahu bahwa penyebab sakit parah adalah karena dosa mencuri? Bukankah ada dosa-dosa lainnya yang tersembunyi bahkan lebih besar”

Bisa jadi sakit parah tersebut karena ujian dari Allah atau dosa lainnya yang pernah ia berbuat tanpa diketahui orang lain sama sekali. Bisa jadi sakit parah karena dosanya berupa keyakinan dan aqidah dalam hati yang salah mengenai agama dan ajaran Islam.

Menebak hal ghaib termasuk dosa kesyirikan yang besar. Hal ini dituliskan dalam salah satu firman Allah SWT dalam QS. An-Naml ayat 65 yang berbunyi:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ

“Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (An-Naml: 65).

Bahkan apabila kita percaya dengan tebakan hal ghaib maka ini termasuk kekufuran. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al-Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.”

Tidak boleh juga menebak hal ghaib meskipun hanya bercanda dan bermain-main. Bermain-main menebak karma juga tidak boleh, karena mendatangi tukang ramal saja ada ancamannya, baik kita membenarkan atau tidak membenarkan.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan bertanya padanya tentang sesuatu, maka sholatnya selama 40 hari tidak diterima.”

Cara Memutus Dzarroh dalam Islam

Sudah jelas bahwa karma dalam Islam itu tidak ada. Namun, ketika kita telah melakukan perbuatan buruk terhadap orang lain, tentu ada balasan yang menjadi pertanggung jawaban atas perilaku kita yakni hukum dzarroh dalam Islam. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk memohon ampun kepada-Nya.

Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memohon ampun atas dosa atau kesalahan yang kita perbuat untuk menghindari balasan buruk yang mungkin terjadi:

  1. Melakukan introspeksi diri dengan memikirkan kembali apa yang pernah diperbuat baik sengaja atau tidak sengaja sehingga membuat orang lain sakit hati.
  2. Meminta maaf dengan mencoba menghubungi orang yang pernah kamu buat sakit hati untuk mengakui dan meminta maaf.
  3. Berdoa, setelah sadar akan kesalahan diri kamu harus memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta meminta keberkahan dalam hidup.
  4. Melakukan sholat tobat nasuhah.
  5. Memperbanyak melakukan perbuatan baik.

Nah, itulah penjelasan terkait hukum karma dalam Islam sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagai umat muslim, kita dianjurkan untuk tidak mempecayai hal tersebut karena tergolong dalam kemusyrikan. Semoga bermanfaat.

Share:

Seorang wanita akhir zaman yang menyukai sastra dan ingin menjadi penulis yang bermanfaat!

Leave a Comment