Kita pasti bertanya-tanya bagaimana hukum KDRT dalam Islam sesungguhnya. Apakah benar KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga menjadi solusi tepat dalam rumah tangga?
Islam merupakan agama yang mengutamakan perdamaian. Maka dengan itu, kekerasan tentu harus dihindarkan bagi umat muslim. Begitu pula dengan saat berumah tangga, perbuatan KDRT bisa dibilang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Sering sekali kita mendengar kasus KDRT melalui media massa. Tidak heran dampaknya berupa luka fisik dan emosional sering terlihat. Tidak sedikit pula yang menganggap rumah tangga tidak dapat selamatkan lagi sehingga memilih untuk bercerai.
Jadi bagaimana hukum KDRT menurut Islam? Apakah benar KDRT menjadi sesuatu yang dilarang bagi seorang muslim? Yuk kita cari tahu selengkapnya.
Kedudukan Suami dalam Keluarga
Al-Qur’an dan hadits menjadi hal yang tidak terpisahkan saat kita membahas hukum kekerasan dalam rumah tangga. Pasalnya, Al-Qur’an dan hadits menjadi petunjuk dalam setiap aspek kehidupan bagi umat Muslim.
Kita sering mendengar kabar bahwa istri menolak patuh pada suami. Karena hal ini, mungkin saja KDRT akan terjadi. Umumnya, suami memiliki derajat yang lebih tinggi sebagai kepala keluarga daripada istri.
Ketegasan menjadi hal yang wajib bagi seorang suami. Sebagai kepala keluarga, sudah menjadi kewajiban bahwa suami harus mengatur istri dan anak-anaknya. Hal ini sudah tercantum pada dalil sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. An-Nisa: 34).
Dari ayat tersebut, bisa ditafsirkan bahwa laki-laki menjadi sosok pemimpin bagi keluarga. Sama halnya dengan sosok pemimpin yang memimpin sebuah negara.
Baca juga: Hukum Cadar dalam Agama Islam Menurut 4 Mazhab
Hak dan kewajiban seorang suami sebagai kepala keluarga adalah membimbing istri untuk selalu mengambil jalan yang lurus. Jalan lurus di sini maksudnya adalah penerapan hukum dan syariat Islam dalam setiap aspek berkeluarga.
Istri sudah mendapat kewajiban untuk patuh pada sang suami. Misalnya, ia tidak boleh bepergian sendiri tanpa seizin suami. Ia juga harus meminta izin agar bisa menunaikan ibadah puasa sunnah. Hal ini tercantum pada kutipan hadits sebagai berikut:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
Artinya: “Tidak halal bagi seorang istri untuk berpuasa, sedangkan suaminya hadir, kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah suami tanpa izin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tapi bagaimana jika ia tidak mau patuh? Apakah benar KDRT bisa menjadi solusi bentuk ketegasan yang tepat agar istri mau patuh?
Dalil Hukum KDRT dalam Islam
Suami memiliki hak untuk menasehati istri. Sebagai kepala keluarga, ia tentu memiliki keinginan agar sang istri bisa patuh dan tunduk padanya. Namun, tidak sedikit pula yang ingin melakukan tindakan kekerasan.
Ternyata, banyak suami yang salah mengartikan kekerasan menjadi solusi. Pukulan terutama pada wajah sering menjadi bentuk kekerasan yang diterapkan. Namun, ternyata hal ini tidak diperbolehkan seperti yang disabdakan Rasulullah SAW berikut:
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr (mendiamkan istri) selain di rumah.” (HR. Abu Daud).
Tentu saja, memperlakukan seorang perempuan sebagai seorang istri sangat berbeda daripada saat berhadapan dengan sesama laki-laki. Perempuan ibaratnya memiliki sifat lebih rapuh daripada laki-laki.
Pukulan dan tindakan fisik lainnya bukan hanya menjadi bentuk kekerasan di rumah tangga. Ucapan kasar dan tindakan kasar lain ikut menjadi bentuk kekerasan terhadap sang istri.
Namun, terdapat pula ayat yang memerintahkan suami untuk memukul sang istri. Metode ini menjadi salah satu dari tiga cara yang tercantum dalam ayat berikut:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. An-Nisa: 34).
Memang benar memukul istri menjadi cara ketiga dan terakhir agar istri ingin patuh. Namun, kita pasti bertanya-tanya, bukannya ini melanggar hukum KDRT dalam Islam?
Kita lihat dua cara pertama yang tercantum pada ayat tersebut. Pertama, kita harus menasehati istri yang tidak taat. Jika masih belum mempan, terdapat cara kedua, yaitu mendiamkan atau tidak mengajaknya bicara.
Memukul menjadi cara terakhir apabila istri masih tidak taat juga. Namun, ini bukan memukul secara fisik menggunakan tangan, kayu, atau cambuk, terutama pada wajah. Melainkan, memukul menggunakan siwak atau sesuatu yang serupa.
Hal ini sudah dijelaskan ulama bahwa memukul memakai siwak bisa menunjukkan puncak ketidaksukaan suami terhadap sang istri. Maka, memukul menggunakan tangan menjadi hal yang terlarang bagi seorang muslim.
Pada akhirnya, sebelum itu, hendaknya sang suami berintrospeksi diri. Begitu pun juga dengan istrinya. Ini sekaligus menjadi pengingat bahwa manusia tidak luput dari kekurangan.
Begitulah penjelasan hukum KDRT dalam Islam. Semoga kita terhindar dari perbuatan buruk seperti KDRT kelak.