Apa Hukum Menikah dengan Sepupu dalam Aturan Agama Islam?

Di dalam masyarakat Indonesia, hukum menikah dengan sepupu masih dipandang abu-abu sehingga menghasilkan jawaban yang beragam. Sebagian masyarakat ada yang beranggapan jika hal itu dibolehkan.

Akan tetapi, sebagian masyarakat yang lain melarang pernikahan tersebut dilakukan. Hal inilah yang kerap menjadi perselisihan di kalangan masyarakat dan terkadang bisa menimbulkan hubungan kekeluargaan jadi merenggang.

Lantas, bagaimana persoalan menikah dengan sepupu ini jika dilihat dari perspektif aturan agama Islam? Untuk mengetahui jawaban pastinya, mari simak bersama penjelasan di bawah ini lengkap dengan dalil-dalilnya.

Pasangan yang Boleh Dinikahi dalam Islam

Sebagai khalifah di muka bumi, Allah telah menciptakan umat manusia untuk hidup saling berpasang-pasangan. Hal itu sebagaimana Allah telah menciptakan Nabi Adam dan juga pasangannya, Siti Hawa, untuk saling beranak-pinak.

Dalam Q.S. An-Nur ayat 32, Allah berfirman:

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Wa angkiḥul-ayāmā mingkum waṣ-ṣāliḥīna min ‘ibādikum wa imā`ikum, iy yakụnụ fuqarā`a yugnihimullāhu min faḍlih, wallāhu wāsi’un ‘alīm

Artinya:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Ayat di atas menjelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan para kaum mukmin yang belum memiliki pasangan atau masih sendiri untuk menikah. 

Baca juga: 7 Bacaan Akad Nikah Bahasa Arab Latin dan Artinya Lengkap!

Bahkan, jika di antara kaum mukmin yang berhasrat menikah, tapi masih dalam keadaan fakir (belum berkecukupan), maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya yang besar. 

Di samping itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan umatnya untuk hidup saling berpasangan atau menikah. Semua itu demi menjaga kehormatan serta kesucian pada diri manusia. Rasulullah SAW bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya:

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi).

Dari hadist di atas, sudah jelas bahwasanya Rasulullah SAW menganjurkan para pemuda untuk menyegerakan menikah jika sudah mampu. Pasalnya, hal itu akan lebih baik karena dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan.

Akan tetapi, persoalan menikah pada akhirnya juga menimbulkan pertanyaan baru. Siapa saja pasangan yang boleh kita nikahi menurut Islam? Lalu, apa hukum menikah dengan sepupu?

Mengutip dari buku “Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari” hasil tulisan dari Muh. Hambali, ada dua kategori wanita yang haram untuk dinikahi. Kategori pertama berlaku untuk selama-lamanya karena pengaruh kekerabatan atau hubungan darah.

Kategori kedua haram dinikahi untuk sementara waktu saja karena sebab tertentu. Jika penyebab haramnya seorang wanita sudah hilang, maka wanita tersebut boleh untuk dinikahi. 

Adapun penyebabnya bisa karena talak tiga, sedang dalam masa idah, atau sebab-sebab lainnya sesuai dengan ketentuan agama Islam.

Di dalam Al Qur’an Surat An-Nissa ayat 23 juga sudah dijelaskan siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi atas dasar kekerabatan atau hubungan darah. Adapun bunyi dari ayat QS. An-Nissa ayat 23 adalah sebagai berikut:

 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

ḥurrimat ‘alaikum ummahātukum wa banatukum wa akhawātukum wa ‘ammātukum wa khālātukum wa banatul-akhi wa banatul-ukhti wa ummahātukumullātī arḍa’nakum wa akhawātukum minar-raḍā’ati wa ummahātu nisā`ikum wa raba`ibukumullātī fī ḥujụrikum min-nisā`ikumullātī dakhaltum bihinna fa il lam takụnụ dakhaltum bihinna fa lā junāḥa ‘alaikum wa ḥalā`ilu abnā`ikumullażīna min aṣlābikum wa an tajma’ụ bainal-ukhtaini illā mā qad salaf, innallāha kāna gafụrar raḥīmā

Artinya: 

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Di dalam Surat An-Nissa ayat 23 di atas, dijelaskan bahwa ada beberapa wanita yang haram untuk dinikahi. Jika kita simpulkan beberapa kategori wanita yang haram untuk dinikahi tersebut antara lain:

  • Ibu-ibumu
  • Anak-anak perempuanmu
  • Saudara-saudara perempuanmu
  • Saudara dari ayahmu yang perempuan (bibi dari keluarga ayah)
  • Saudara dari ibumu yang perempuan (bibi dari keluarga ibu)
  • Anak perempuan dari saudara laki-lakimu hingga keturunannya.
  • Ibu yang menyusui
  • Saudara perempuan sepersusuan
  • Ibu-ibu istrimu (mertua)
  • Anak-anak istri yang dalam pemeliharaanmu dari istrimu (anak tiri)
  • Istri anak laki-lakimu (menantu)
  • Saudara perempuan istrimu (kecuali istri telah bercerai atau meninggal)
  • Istri dari anak angkat laki-lakimu

Itulah wanita-wanita yang diharamkan untuk kita nikahi karena adanya hubungan darah atau hubungan kekerabatan tertentu. Sebagian di antaranya berlaku selama-lamanya, tetapi sebagian lagi hanya berlaku pada kondisi tertentu.

Baca juga: Hukum Pernikahan Syighar, Pengertian dan Dalil yang Melarangnya!

Jadi, Apa Hukum Menikah dengan Sepupu?

Dari penjelasan hadits yang telah dibahas di atas, dapat kita ketahui siapa-siapa saja wanita yang haram untuk kita nikahi. Seperti yang sering kita dengar, wanita-wanita tersebut dikategorikan sebagai mahram.

Dalam hal ini, sepupu tidak termasuk sebagai mahram sehingga hukum menikahinya adalah diperbolehkan. Hal ini juga dijelaskan dalam potongan Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 50 yang berbunyi:

وَبَنَاتِ عَمَّٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَٰلَٰتِكَ ٱلَّٰتِى هَاجَرْنَ مَعَكَ وَٱمْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِىِّ إِنْ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۗ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِىٓ أَزْوَٰجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Yā ayyuhan-nabiyyu innā aḥlalnā laka azwājakallātī ātaita ujụrahunna wa mā malakat yamīnuka mimmā afā`allāhu ‘alaika wa banāti ‘ammika wa banāti ‘ammātika wa banāti khālika wa banāti khālātikallātī hājarna ma’ak, wamra`atam mu`minatan iw wahabat nafsahā lin-nabiyyi in arādan-nabiyyu ay yastangkiḥahā khāliṣatal laka min dụnil-mu`minīn, qad ‘alimnā mā faraḍnā ‘alaihim fī azwājihim wa mā malakat aimānuhum likai lā yakụna ‘alaika ḥaraj, wa kānallāhu gafụrar raḥīmā

Artinya:

“Hai nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dari ayat di atas, sudah jelas disebutkan siapa saja wanita yang haram untuk kita nikahi. Sementara untuk sepupu, yaitu anak dari paman atau bibi, tidak termasuk yang dilarang sehingga hukum menikah dengan sepupu dalam Islam diperbolehkan.

Meski begitu, beberapa pendapat tidak menganjurkan pernikahan tersebut karena bisa mengakibatkan keturunan yang tidak kuat atau sehat. 

Hal ini merujuk pada hadis nabi yang menyebutkan, “Kawinlah dengan yang bukan kerabatmu, kalian tidak akan melemah.”

Selain itu, KH. M. Syafi’i Hadzami dalam kitabnya yang berjudul ‘Taudhihul Adillah 6’ menyebutkan bahwa sepupu bukan termasuk mahram sehingga membatalkan wudhu dan boleh dinikahi.

Akan tetapi, masih dari kitab yang sama, disebutkan bahwasanya pernikahan dengan sepupu termasuk ‘khilafu al-aula’ atau berarti menyalahi yang utama. 

Pernikahan dengan sepupu juga disebutkan kurang sempurna syahwatnya sehingga pertumbuhan anak juga tidak maksimal. Jadi, hukum menikah dengan sepupu bukan juga menjadi sesuatu yang disarankan.

Jika dalam pendekatan medis menyatakan bahwa ada hasil yang kurang baik dari pernikahan dengan sepupu, maka hal itu bisa menjadi larangan untuk menikahi kerabat terdekat kita, terutama sepupu.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hukum menikah dengan sepupu adalah sesuatu yang dibolehkan dalam agama Islam. Akan tetapi, Islam lebih mengutamakan memilih pasangan yang jauh kekerabatannya.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment