Saat sedang jalan-jalan di kawasan pertokoan, tak jarang kita melihat produk-produk imitasi atau KW yang dijual bebas kepada konsumen. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum menjual produk imitasi di dalam Islam?
Bagi mereka yang awam, mungkin mereka akan mengira jika barang-barang tersebut dijual dengan harga murah karena memang sedang promo. Penjual juga sering kali menggunakan berbagai cara agar konsumen percaya.
Seperti kita tahu, Islam cukup ketat dalam memberikan aturan hukum terkait perniagaan yang dilakukan oleh umatnya. Untuk itu, mari kita simak status hukum terkait menjual produk-produk imitasi di bawah ini.
Daftar ISI
Prinsip-Prinsip dalam Jual Beli dalam Islam
Sebagai seorang pembeli, tentu kita tidak ingin mendapatkan rugi setelah bertransaksi dengan penjual. Hal yang sama juga berlaku dari sisi penjual. Maka dari itu, dalam menjalankan aktivitas jual-beli harus ada prinsip-prinsip berikut:
1. Tidak Boleh Membohongi Konsumen
Prinsip jual beli pertama yang harus ditaati dari sisi penjual adalah tidak boleh membohongi konsumen. Berbohong di sini bisa dari banyak sisi, baik itu dari spesifikasi produk, kecacatannya, atau status keasliannya.
Hal ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
Artinya:
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326).
Baca juga: Infak dan Sedekah: Pengertian dan Perbedaan Keduanya
2. Tidak Boleh Mengambil Hak orang Lain Tanpa Izin
Selanjutnya, aktivitas perdagangan juga tidak boleh mengambil hak orang lain tanpa izin. Jika berkaca pada tema artikel ini, maka hak tersebut termasuk masalah merek yang mana merupakan hak intelektual dari perusahaan pemilik merek bersangkutan.
Dalam hal ini, kaidah fiqih menyebutkan:
لاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بِلاَ إِذْنٍ
Artinya:
“Tidak boleh seseorang memanfaatkan kepemilikan orang lain tanpa izinnya.” (Lihat Ad Durrul Mukhtaar fii Syarh Tanwirul Abshor pada Kitab Ghosob, oleh ‘Alauddin Al Hashkafiy).
Selain kaidah fiqih di atas, Rasulullah SAW juga bersabda bahwasanya suatu harta tidak halal jika dimiliki tanpa ada izin dari pemiliknya. Adapun bunyi hadis tersebut adalah sebagai berikut:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Artinya:
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridha pemiliknya.” (HR. Ahmad 5: 72).
3. Larangan Menyelisihi Aturan Pemerintah
Selanjutnya, kita juga dilarang untuk menyelisihi aturan pemerintah yang sudah berlaku baik itu kita suka maupun tidak suka. Kecuali jika aturan tersebut mengarah ke maksiat, maka kita boleh menerima, tetapi tidak perlu menaatinya:
Hal ini juga disampaikan dalam sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Artinya:
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).
Jika merujuk pada dalil-dalil di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum menjual produk imitasi adalah termasuk tindakan penipuan. Pasalnya, produk tersebut tidak berasal dari pemilik merek yang asli tetapi hanya tiruan semata.
Hal itu juga bisa diperparah jika penjual tidak berkata jujur pada konsumen terkait keaslian dari produk bersangkutan. Dalam kasus ini, ada dua pihak yang akan dirugikan, yaitu pemilik merek asli dan juga konsumen.
Hukum Menjual Produk Imitasi
Dalam pembahasan sebelumnya, kita bisa mengetahui bahwa ada beberapa prinsip jual beli yang harus ditaati oleh pihak penjual dan pembeli ketika bertransaksi.
Jika dilihat dari keabsahannya, aktivitas jual beli produk imitasi/KW yang telah memenuhi syarat dan juga rukunnya termasuk aktivitas jual-beli yang sah. Akan tetapi, hal itu dihukumi haram dan berdosa karena menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Adapun pihak yang mendapat kerugian adalah pemilik atau produsen dari merek bersangkutan. Oleh karena pemilik merek tidak memberikan izin kepada penjual untuk menggunakan merek tersebut, maka jenis jual-beli tersebut dilarang oleh syara’.
Sementara itu, ada dua jenis jual beli yang dilarang oleh syara’, yaitu:
1. Karena Faktor Internal
Jual beli yang dilarang oleh syara’ karena faktor internal adalah transaksi yang menjadi sebab dilarang adalah karena hal-hal internal. Beberapa contohnya adalah transaksi riba, yaitu karena objek utama transaksi mengakibatkan riba sehingga dilarang.
Selanjutnya, ada juga transaksi gharar yang mana barang jual beli tersebut tidak jelas atau tidak pasti seperti menjual hasil panen yang belum ketahuan hasilnya.
2. Karena Faktor Eksternal
Selain itu, jual beli yang dilarang oleh syara’ karena faktor eksternal adalah seperti menimbulkan dharar (kerugian) pada pihak lain di luar orang yang bertransaksi. Pada transaksi ini, barang mungkin saja tidak fasid (tidak rusak) sehingga tetap sah.
Namun, hukumnya menjadi haram karena ada sebab larangan dari eksternal, yaitu kerugian pihak lain. Di dalam kitab Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa:
وأما التي ورد النهي فيها لأسباب من خارج; فمنها الغش; ومنها الضرر; … والجمهور على أن النهي إذا ورد لمعنى في المنهي عنه أنه يتضمن الفساد مثل النهي عن الربا والغرر، وإذا ورد الأمر من خارج لم يتضمن الفساد
Artinya:
“Adapun jual beli yang ada larangan syara’ terhadapnya karena sebab-sebab dari luar (sebab eksternal) maka termasuk dalam jenis jual beli ini adalah jual beli yang mengandung manipulasi, pemalsuan atau tipu daya ghasysy), dan jual beli yang mengandung gharar, yakni merugikan terhadap diri sendiri atau orang/pihak lain.”
Dari dalil terkait hukum menjual produk imitasi di atas, para jumhur ulama menyatakan bahwa larangan terhadap jual beli dalam Islam dapat dibedakan berdasarkan alasan larangannya.
Jika larangan itu terkait langsung dengan substansi atau entitas objek yang dilarang, seperti dalam kasus riba atau jual beli dengan objek gharar (ketidakjelasan), maka jual beli tersebut dianggap rusak atau tidak sah (batal).
Namun, jika larangan tersebut berasal dari sebab-sebab eksternal, maka jual beli tersebut tidak dianggap rusak dari segi hukum.
Jadi, kita bisa mengambil 3 kesimpulan dari apa yang sudah kita bahas di atas, yaitu:
- Mereka yang menjual barang KW dan memberi kesan seolah-olah barang tersebut adalah asli, maka orang tersebut berdosa karena telah menipu konsumen dan juga pemilik merek.
- Jika penjual sudah terus terang kepada pembeli bahwa barang yang mereka jual adalah KW dengan merek yang juga berbeda, maka jual beli tersebut tetap sah dan tidak melanggar peraturan.
- Jika penjual terus terang telah menjual produk KW dan tetap menggunakan merek originalnya (tidak mengganti), maka penjual tersebut telah melakukan pelanggaran, yaitu melanggar hak orang lain merek, dan melanggar UU.
Dengan begitu, dapat kita simpulkan bahwa hukum menjual produk imitasi sah secara hukum jual beli, tetapi berdosa karena mengakibatkan kerugian oleh pihak lain. Terlebih jika penjual tidak berterus terang terkait keaslian produk.