Dalam memenuhi ajakan pasangan untuk berhubungan badan, penting memastikan bahwa itu dilakukan dengan adil dan setara. Ketika istri mengungkapkan keinginan, suami harus bersedia, begitu juga sebaliknya. Lalu, apa hukum suami menolak ajakan istri?
Selama tidak ada hambatan syar’i seperti masalah kesehatan atau lainnya, suami wajib mengiyakan keinginan sang istri.
Hal yang sama juga berlaku. Jika suami menolak, apakah ia berdosa? Mari kita simak pembahasan berikut.
Hukum Suami Menolak Ajakan Istri
Dalam Manba’ussa’adah hal. 13 dikatakan sebagai berikut.
إذا كانت المرأة بحاجة إلى من يشبع غريزتها الجنسية، فعلى زوجها أن لا يغفل عنها وعن إشباع حاجتها هذه، وكذلك بالنسبة لحاجة الرجل من زوجته، فعليها أن تلبي إذا دعاها إلى فراشه
Artinya:
“Ketika sang istri dalam kebutuhan untuk mengenyangkan hasrat seksualnya, maka si suami tidak boleh berpaling dari memenuhi kebutuhan istrinya itu. Demikian juga saat sang suami membutuhkannya, si istri harus memenuhi panggilan tersebut.”
Merujuk pada hadits riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda seperti berikut:
إذا دعى الرجل إمرأته إلى فراشه فأبت، فبات غضبان عليها لعنتها الملآئكة حتى تصبح
Artinya:
“Ketika seorang suami mengajak istrinya melakukan hubungan seksual, lalu ia menolak (tanpa alasan), dan sang suami sangat menyesalkan hal itu, maka malaikat ‘melaknat’ (mencatat sebagai laku buruk) sang istri sampai waktu subuh.”
Makna hadits tersebut berdasarkan Imam Nawawi adalah laknat dari para malaikat akan terus ada hingga terbit fajar. Terhapus jika suami memaafkan dan istri tersebut bertaubat atau ia mau melayani suaminya. (Syarh Shahih Muslim, 10: 10).
“Namun, jika istri terdapat halangan misalnya sakit atau kelelahan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini. Sebagaimana Imam Nawawi menyatakan bahwa ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya.”
Dalam perspektif ini juga berlaku bagi laki-laki. Hukum suami menolak ajakan istri yaitu dilarang.
Baca juga: Doa Kejatuhan Cicak, dan Pandangan Hukumnya dalam Islam
Hukum Suami Menolak Istri Berdasarkan Al Qur’an
Seorang suami bisa juga dilaknat malaikat sepanjang malam jika menolak ajakan istrinya tanpa alasan. Pemaknaan ini merujuk dari surah Al-Baqarah ayat 187 yaitu:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, ‘alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba ‘alaikum wa ‘afā ‘angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa antum ‘ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la’allahum yattaqụn.
Artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Dalam ayat tersebut suami dan istri merupakan pakaian bagi masing-masing. Pakaian adalah simbol kebutuhan, kenyamanan, kehangatan, juga keindahan. Itu artinya, keduanya saling melengkapi sehingga hadis tersebut juga berlaku untuk suami.
Saat istri sedang memiliki syahwat dan tidak bisa ditahan lagi, suami wajib memenuhi ajakan untuk berhubungan intim. Tapi, jika suami saat itu tidak mampu, suami boleh menolaknya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Yā ayyuhallażīna āmanụ lā yaḥillu lakum an tariṡun-nisā`a kar-hā, wa lā ta’ḍulụhunna litaż-habụ biba’ḍi mā ātaitumụhunna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah, wa ‘āsyirụhunna bil-ma’rụf, fa ing karihtumụhunna fa ‘asā an takrahụ syai`aw wa yaj’alallāhu fīhi khairang kaṡīrā.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19).
Dalam ayat lain disebutkan sebagai berikut:
لَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wal-muṭallaqātu yatarabbaṣna bi`anfusihinna ṡalāṡata qurū`, wa lā yaḥillu lahunna ay yaktumna mā khalaqallāhu fī ar-ḥāmihinna ing kunna yu`minna billāhi wal-yaumil-ākhir, wa bu’ụlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika in arādū iṣlāḥā, wa lahunna miṡlullażī ‘alaihinna bil-ma’rụfi wa lir-rijāli ‘alaihinna darajah, wallāhu ‘azīzun ḥakīm.
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228).
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita memiliki hak seimbang atau setara dalam hal syahwatnya.
Oleh karena itu, suami dilarang menelantarkan istri dengan tidak menunaikan hak syahwat istrinya. Hendaknya suami menunaikan nafkah batin tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum suami menolak ajakan istri adalah dilarang kecuali suami dalam keadaan tidak mampu. Sebab, suami juga wajib memperhatikan nafkah batin bagi istri.
Jika suami menelantarkan istrinya, suami tersebut berdosa. Itulah sebabnya perlu mengkomunikasikan dari kedua belah pihak agar suami pun sebisa mungkin mampu memahami dan mengupayakan.