Nikah Beda Agama Menurut Islam, Ini yang Diperbolehkan!

Pernikahan tidak hanya menyatukan dua orang dalam satu ikatan pernikahan, namun menjadi penyempurna dalam beribadah kepada Allah SWT. Dewasa ini banyak pernikahan berbeda agama yang dilakukan tanpa mencari tahu hukum nikah beda agama menurut Islam.

Rasulullah SAW menganjurkan bagi umat muslim untuk menentukan pasangan berdasarkan agamanya. Hal tersebut dijelaskan dalam salah satu sabdanya, yakni:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرُ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: “Nikahilah seorang wanita itu karena empat hal, hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya, dan utamakan dia yang beragama (menjalankan agama), kamu akan beruntung.” (HR Bukhari Muslim).

Namun faktanya, akhir-akhir ini sering kali ditemukan beberapa umat muslim menikah dengan yang berbeda agama. Lantas apakah nikah beda agama menurut Islam diperbolehkan?

Hukum Nikah Beda Agama Menurut Islam dan Negara

Dengan seringnya ditemukan kasus mengenai menikah beda agama yang kian hari kian dianggap biasa ini, tentu akan semakin menimbulkan pertanyaan mengenai kebolehan nikah beda agama menurut Islam dan juga bagi negara.

Sempat marak terjadi kasus bahwa salah satu pengadilan agama di Indonesia mengesahkan pernikahan berbeda agama. Pengadilan agama Surabaya adalah satu di antaranya yang mengesahkan pernikahan tersebut dengan mengacu pada UU yang tertera,

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia di bagian Bab hak untuk berkeluarga dan melanjutnya keturunan pasal 10 dikatakan, “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Namun perlu diketahui bahwa ketentuan perkawinan tidak hanya diatur dalam UU hak berkeluarga, namun juga diatur dalam UU perkawinan yang menjelaskan bahwa sahnya perkawinan apabila sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Nikah Beda Agama Menurut Islam, Ini yang Diperbolehkan!

Dengan penjelasan tersebut, tentu dapat kita ketahui bahwa hal mengenai kasus tersebut dilarang untuk disahkan dalam bentuk pernikahan. Ketentuan pasal  ini menunjukkan bahwa perkawinan dinyatakan sah manakala ditetapkan berdasarkan hukum agama yang dipeluknya.

Bagi yang beragama Islam maka acuan sah dan tidaknya suatu perkawinan adalah ajaran agama Islam.

Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 menjelaskan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Pasal 40 menyebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Baca juga: Doa sebelum Berhubungan Suami Istri dan Lengkap dengan Artinya

Lebih tegas lagi larangan menikah beda agama pada Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Pasal 61 disebutkan: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien.”

Ketentuan undang-undang ini tentu tidak berdiri sendiri, namun menyerap dari hukum Islam. Hal ini dijelaskan dalam salah satu firman Allah SWT pada surat Al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi:

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Wa lā tangkiḥul-musyrikāti ḥattā yu`minn, wa la`amatum mu`minatun khairum mim musyrikatiw walau a’jabatkum, wa lā tungkiḥul-musyrikīna ḥattā yu`minụ, wa la’abdum mu`minun khairum mim musyrikiw walau a’jabakum, ulā`ika yad’ụna ilan-nāri wallāhu yad’ū ilal-jannati wal-magfirati bi`iżnih, wa yubayyinu āyātihī lin-nāsi la’allahum yatażakkarụn

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Latar belakang sebab turunnya ayat 221 ini diceritakan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenan dengan Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi anak seorang  wanita Quraisy yang miskin tapi cantik yang dulu menjadi kekasihnya sebelum masuk Islam, namun masih musyrik. Sedangkan Ibnu Abi Martsad adalah seorang Muslim. Rasulullah SAW melarang sahabatnya untuk menikahinya. Lalu Allah menurunkan ayat ini. (Tafsir Al-Baghawi).

Ibnu Katsir mengulas tafsir ayat tersebut, bahwa Allah SWT mengharamkan bagi umat muslim untuk menikah dengan orang musyrik yang menyembah berhala.

Namun, ada ayat yang menjelaskan mengenai kebolehan laki-laki muslim menikah dengan seorang ahli kitab. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang berbunyi:

‎اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ – ٥

Artinya, “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al-Maidah: 5).

Dari ayat tersebut, Menurut Syekh at-Thanthawi dalam Kitab Al-Wasith menjelaskan bahwa laki-laki muslim boleh menikah dengan perempuan ahlikitab injil dan taurat.

Namun Sahabat Abdullah bin Umar dan sebagian sahabat lainnya menyatakan bahwa hal tersebut hanya diperbolehkan jika tidak adanya perempuan muslimah. Sedangkan zaman sekarang sudah banyak perempuan muslimah maka hilang dispensasi itu dan hukumnya haram menikah dengan Ahli Kitab.

Dalam ayat Al-Qur’an yang lain, Allah SWT menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim menikah dengan orang kafir. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 sebagai berikut:

‎يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ – ١٠

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”. (QS. Al-Mumtahanah: 10).

Dan beberapa fatwa turut menjelaskan mengenai hukum nikah beda agama menurut Islam:

Yang pertama, yakni Majelis Ulama Indonesia yang mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan agama yakni, perkawinan beda agama hukumnya tidak sah dan haram, perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab tidak sah dan haram menurut qaul mu’tamad

Yang kedua, Nahdlatul Ulama (NU) turut menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa tersebut ditetapkan  dalam Muktamar Ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Fatwa tersebut berisi mengenai penegasan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.

Yang Ketiga, Muhammadiyah menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau Ahlul Kitab, dengan beberapa alasan sebagai berikut:

  • Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi Muhammad SAW
  • Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah SWT, dengan adanya ajaran-ajaran yesus dan yahudi serta mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah
  • Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
  • Islam tidak kekurangan wanita muslimah dengan pemahaman agama yang baik.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama tidak sah dalam perspektif manapun, baik dalam agama maupun secara negara sekalipun. Dalam hadits riwayat Muttafaq alaih, Rasulullah SAW bersabda mengenai hal yang perlu dipertimbangkan saat memilih pasangan yakni sebagai berikut:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunan-nya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu. (HR Muttafaq alaih).”

Selain itu, dijelaskan pula dalam salah satu firman Allah SWT pada Surat Ar Rum ayat 21:

وَمِنْ اٰيٰتِهٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.

Itulah dia, penjelasan terkait hukum nikah beda agama menurut Islam. Semoga kita selalu dapat memilah mana yang baik dan benar di jalan Allah SWT, aamiin.

Share:

Seorang wanita akhir zaman yang menyukai sastra dan ingin menjadi penulis yang bermanfaat!

Leave a Comment