Nikah Mut’ah Adalah: Pengertian, dan Hukumnya dalam Islam

Nikah mut ah adalah salah satu hubungan yang mengikat seorang perempuan dalam waktu tertentu. Hukumnya dalam Islam sendiri telah dijelaskan di dalam al qur’an dan juga hadist-hadist.

Beberapa orang mungkin masih asing dengan apa yang dimaksud nikah mut ah. Pasalnya, secara umum nikah mut’ah jarang sekali menjadi pembicaraan. Utamanya bagi orang awam yang tidak memahami hukum secara detail.

Namun, di beberapa kondisi nikah mut’ah memang dianggap sah oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, mengetahui hukum nikah mut ah dalam Islam sangat penting untuk meminimalisir hal yang mungkin membahayakan jika dilakukan.

Nikah Mut’ah Adalah

Pengertian sederhana dari nikah mut ah adalah seseorang yang menikahi wanita dalam kurun waktu tertentu. Pernikahannya sering disebut sebagai nikah kontrak.

Seseorang yang melakukan pernikahan mut’ah akan tetap mendapatkan nafkah berupa harta, makanan, pakaian, dan juga kebutuhan lainnya. 

Namun, apabila masanya telah selesai keduanya akan berpisah dengan sendirinya tanpa adanya kata talak.

Cara nikah mut’ah sendiri sangat sederhana, bahkan tidak membutuhkan wali seperti pernikahan Islam pada umumnya. Kedua mempelai hanya perlu membuat kesepakatan mahar dan juga batas waktu pernikahan.

Biasanya pernikahan mut’ah ini tidak berjalan lebih dari empat puluh lima hari.

Ketentuannya, seperti tidak ada mahar kecuali sudah ada kesepakatan untuk tidak memberikan nafkah, mewariskan harta dan juga tidak ada iddah kecuali istibra’ (satu kali haid untuk wanita menopause atau dua kali haid untuk wanita biasa).

Rukun nikah mut’ah dibagi menjadi empat antara lain:

  1. Shighat (lafal ‘aku nikahi engkau’ atau ‘aku mut’ah engkau’)
  2. Mahar (syarat saling rela meskipun hanya satu genggam gandum)
  3. Memiliki batasan waktu
  4. Calon istri diutamakan beragama muslim

Baca juga: Apa Itu Nikah Siri? Pengertian, Syarat, Contoh, dan Hukumnya

Hukum Nikah Mut’ah dalam Islam

Nikah mut ah adalah serangkaian ketentuan yang pernah berlaku di masa Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, hukumnya hingga saat ini masih berseberangan. Sebab, beberapa orang menganggap sah, beberapa lainnya mengharamkannya.

Jika dilihat dari sisi syari’at, maka agama melarang tegas seseorang melakukan perkawinan ini. Sebab, jika masih berlaku hingga detik ini, maka perkawinan ini hanya akan menimbulkan banyak kesesatan umat.

Hukum nikah mut’ah dan dalilnya bisa kita lihat dari riwayat Abu Dawud dan at Tirmidzi oleh Ibu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.

Ia mengatakan: “Mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang di suatu negeri dengan membawa dagangannya, sedangkan dia tidak mempunyai orang yang bisa menjaganya dan mengumpulkan barang perniagaannya kepadanya, lalu dia menikahi seorang wanita hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya. Kala itu ayat Al-Qur’an (yang) dibaca (dan berlaku adalah firman Allah):

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Artinya:

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)”[An-Nisaa’/4: 24].

Selain itu, juga terdapat hadist yang memperbolehkan nikah mut’ah dilaksanakan di awal Islam. Kemudian turun ayat yang menjelaskan tentang larangan nikah mut’ah bagi setiap orang terutama Muslim.

Baca juga: Ini Hukum Pacaran dalam Islam, Penjelasan Lengkap

Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut’ah pada awal Islam ialah:

عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .

Artinya:

Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan.”

وَ عَنْهُ قَالَ : أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا

Artinya:

Dari beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami.”

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

Artinya:

Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami.”

Hingga turun ayat:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴿٢٣﴾ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

Artinya:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isteri-mu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atasmu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina…”[An-Nisaa’/4: 23-24].

Urutan Waktu Pengharaman Nikah Mut’ah

Berdasarkan beberapa hukum dan juga dalil pernikahan mut’ah terdapat waktu tertentu yang mengharamkannya, antara lain:

  1. Waktu larangan dimulai saat perang Khaibar berlangsung (Muharram 7 H)
  2. Saat Umrah Qadha (Dzul Qa’dah 7H)
  3. Pada saat masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H)
  4. Ketika perang Awthas, Perang Hunain (Syawal 8H)
  5. Perang Tabuk (Rajab 9 H)
  6. Haji Wada’ (Dzulhijjah 8 H)
  7. Larangan secara mutlak diberlakukan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu’anhu

Akan tetapi, disamping beberapa riwayat yang sudah disebutkan diatas. Pasalnya, larangan nikah mut ah adalah shahih. Utamanya ketika perang Khaibar, pada masa penaklukan kota Mekkah, dan juga perang Awthas.

Riwayat tersebut bahkan pernah disampaikan oleh Muhammad bin Abi (Dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah):

عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ

Artinya:

Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar.”

Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. 

“Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut’ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata: ”Apakah engkau mau bermut’ah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata: ”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya.”

Nah, itulah beberapa penjelasan mengenai nikah mut ah adalah sebagian dari perjalanan Rasulullah SAW dalam mensyiarkan agama Islam. Akan tetapi, pernikahan mut’ah hingga hari kiamat tiba telah diharamkan.

Sehingga siapa saja yang melakukannya maka telah melanggar larangan dari Rasulullah SAW dan juga Allah SWT.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment