Umat muslim sudah menyadari bahwasanya utang piutang yang ada keuntungan merupakan aktivitas riba dan hukumnya adalah haram. Hal ini juga sudah disepakati oleh para ulama di seluruh dunia sehingga tidak ada lagi keraguan.
Akan tetapi, terkadang ada juga kondisi di mana seseorang tidak memberikan syarat pengembalian berlebih di awal, tetapi pihak yang meminjam justru mengembalikan lebih banyak atas kemauannya.
Lantas, bagaimana hukum dari tindakan tersebut? Apakah juga termasuk riba dan diharamkan atau ada penjelasan lain? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita simak pembahasannya dalam artikel berikut ini!
Daftar ISI
Dalil tentang Utang Piutang yang Ada Keuntungan
Di dalam kasus utang piutang, terdapat dua kondisi pengembalian utang yang biasa kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua jenis pengembalian tersebut terdiri dari utang yang dipersyaratkan ada tambahan dan tidak:
1. Pengembalian Tambahan Utang sebagai Syarat di Awal
Salah satu jenis utang yang sudah banyak berkembang saat ini adalah utang dengan persyaratan bunga yang disepakati di awal perjanjian. Dalam hal ini, pihak yang peminjam harus mengembalikan pokok pinjaman dan tambahan bunganya.
Jenis utang seperti inilah yang disepakati sebagai riba. Hal ini seperti hadits berikut ini:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ حَرَامٌ
Artinya:
“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”
Hadits di atas sebenarnya dho’if, tetapi kandungan makna di dalamnya telah disepakati oleh para ulama (ijma’ ulama) sehingga dibenarkan. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Ibnu Qudamah rahimahullah:
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
Artinya:
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6: 436).
Selain pendapat tersebut, para ulama juga sepakat bahwa utang piutang yang ada keuntungan sebagai syarat adalah termasuk riba. Berikut adalah bunyi pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Mundzir:
أجمع العلماء على أن المسلف إذا شرط عشر السلف هدية أو زيادة فأسلفه على ذلك أن أخذه الزيادة ربا
Artinya:
“Para ulama sepakat bahwa jika seseorang yang meminjamkan utang dengan mempersyaratkan 10% dari utangan sebagai hadiah atau tambahan, lalu ia meminjamkannya dengan mengambil tambahan tersebut, maka itu adalah riba.” (Al Ijma’, hal. 99, dinukil dari Minhatul ‘Allam, 6: 276).
Jadi, jelas sudah bahwa persyaratan bunga atas pinjaman adalah kegiatan riba yang hukumnya haram dalam Islam. Akad utang piutang dengan adanya syarat tersebut di awal tidak boleh kita lakukan.
Baca juga: Apa Itu Nikah Siri? Pengertian, Syarat, Contoh, dan Hukumnya
2. Pengembalian Tambahan Utang Bukan Syarat di Awal
Selain sebagai syarat di awal (bunga), pengembalian utang dengan adanya tambahan terkadang bisa terjadi begitu saja dan merupakan kerelaan dari pihak peminjam, maka hal itu bukan sebuah masalah.
Hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Raafi’. Pada waktu itu, Rasulullah SAW pernah meminjam seekor unta yang masih kecil kepada seseorang. Kemudian ada unta zakat yang diminta nabi sebagai penggantinya.
Nabi Muhammad lantas meminta Abu Raafi’ untuk mengganti unta yang dipinjam sebelumnya dengan unta yang tersedia. Abu Raafi’ lalu berkata bahwa tidak ada unta sebagai pengganti dari unta kecil tadi, dan hanya ada unta dengan umur yang terbaik.
Setelah itu, Rasulullah SAW pun berkata:
أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً
Artinya:
“Berikan saja unta terbaik tersebut padanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik dalam melunasi utangnya.” (HR. Bukhari no. 2392 dan Muslim no. 1600).
Dari hadits di atas, para ulama memberikan pandangan bahwa kita diperbolehkan untuk berutang kepada orang lain sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga melakukannya.
Akan tetapi, kita tidak boleh utang piutang ini sebagai sesuatu yang lazim dilakukan atau kita bisa dengan mudah melakukannya.
Berhutanglah hanya jika kita membutuhkannya saja. Jadi, kita tetap berupaya memenuhi kebutuhan dengan uang yang kita punya.
Hadits di atas juga sekaligus menjawab bahwa mengembalikan utang dengan pengganti yang lebih baik adalah diperbolehkan. Pengganti yang lebih baik di sini bisa dalam hal kualitas maupun kuantitasnya.
Sebagai contoh, kita meminjam 2 liter minyak goreng kepada tetangga, lalu menggantinya dengan 3 liter minyak goreng sah-sah saja selama itu bukan menjadi syarat di awal akad.
Patokan dari pendapat tersebut bukanlah dari kisah atau sebab yang dijelaskan dalam hadits, tetapi lebih ke makna umum dari hadits bersangkutan. Kaidah tersebut dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
أَنَّ العِبْرَةَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Artinya:
“Yang jadikan ibrah (pelajaran) adalah umumnya lafazhnya, bukan khususnya sebab.”
Jadi, pendapat para ulama tentang utang piutang yang ada keuntungan jelas merupakan riba jika terdapat syarat di awal. Akan tetapi, tambahan tersebut boleh jika tidak ada syarat di awal dan merupakan kerelaan dari pihak peminjam.