Pada dasarnya, upacara adat merupakan bagian integral dari budaya suatu masyarakat. Upacara adat Jawa Barat adalah manifestasi dari warisan budaya yang kaya dan memiliki beragam fungsi yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti agama, sosial, dan budaya.
Artikel ini akan mengajak kamu untuk menjelajahi 7 upacara adat yang ada di Jawa Barat serta menjelaskan fungsi dan pelaksanaannya. Yuk, baca artikel ini untuk dapatkan jawabannya!
Daftar ISI
7 Upacara Adat Jawa Barat
Jawa Barat memiliki beragam jenis upacara adat dengan tujuan yang berbeda-beda. Masyarakat Jawa Barat masih tetap mempertahankan dan melaksanakan berbagai tradisi dan upacara adat hingga saat ini. Berikut 7 contoh upacara adat Jawa Barat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat hingga saat ini, yaitu:
1. Upacara Seren Taun
Pada bulan Agustus, masyarakat Jawa Barat mengadakan upacara Seren Taun di setiap tahunnya.
Upacara ini adalah ritual penyerahan hasil panen berupa padi yang telah ditanam selama satu tahun ke dalam leuit. Leuit adalah sebutan untuk lumbung padi tradisional.
Pelaksanaan upacara Seren Taun ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur, penghormatan, dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa serta Dewi Sri atas hasil panen selama setahun.
Pengunjung dapat melihat barisan peserta yang berjalan bersama-sama dari lapangan terbuka menuju leuit Si Jimat di hari pelaksanaan upacara tersebut.
Barisan peserta terdiri dari ujungan atau gebotan, pembawa pare bapa dan pare indung, juru rajah, para pemungut ceceran padi, pembawa rengkong, dan alat-alat lembur.
Terdapat pula kesenian tradisional, seperti toleat, jipeng, dogdog lojor, ujungan, dan angklung gubrag selama acara berlangsung.
Upacara dimulai dengan ngukus, yaitu mengadakan pembakaran kemenyan. Setelah itu, prosesi selanjutnya adalah ngadiukeun pare, yakni memasukkan padi ke dalam lumbung padi atau leuit.
Abah dan Ema Anom bersama dengan pembantu utama Abah dan Istri, serta dua orang saksi yang akan melakukan prosesi tersebut.
2. Upacara Mapag Sri
Upacara adat Jawa Barat selanjutnya adalah Mapag Sri. Mapag Sri memiliki karakteristik yang unik. Upacara ini mengandung nilai-nilai agama Islam. Meskipun demikian, didalamnya masih terdapat unsur-unsur tradisi Sunda klasik.
Pelaksanaan upacara ini dilakukan di setiap bulan Agustus. Tujuan dari pelaksanaannya adalah untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil pertanian yang baik.
Selain itu, upacara ini juga menjadi sarana untuk menjaga dan mendekatkan diri kepada Allah SWT bagi masyarakat setempat.
Upacara Mapag Sri melibatkan simbol Dewi Sri. Masyarakat akan mengarak simbol tersebut mengelilingi kampung. Selama prosesi tersebut, beragam pertunjukan seni juga ikut mengiringinya.
Setelah prosesi pengarakan tersebut, terdapat pagelaran wayang kulit Purwa, mengisahkan cerita Sulanjana yang merupakan kisah asal-usul padi.
Upacara akan dilanjutkan dengan acara selamatan dan penarikan air dari tujuh mata air. Masyarakat meyakini air ini adalah obat untuk berbagai penyakit sekaligus sebagai perlindungan dari bencana atau kesialan.
3. Upacara Nadran
Upacara Nadran adalah upacara yang pelaksanaannya berbentuk sedekah laut. Asal kata nadran berasal dari bahasa Arab “nadar”, yang artinya ungkapan rasa syukur.
Tujuan utama pelaksanaan upacara Nadran ini adalah sebagai ungkapan terima kasih para nelayan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nelayan mengungkapkan rasa syukur atas hasil tangkapan ikan yang mereka dapatkan sekaligus memohon agar di masa depan mereka akan mendapatkan hasil yang lebih melimpah.
Fungsi lain dari upacara ini adalah untuk menghormati leluhur yang masyarakat percayai sebagai penjaga ikan di laut. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, sebutan bagi leluhur tersebut adalah Bedug Basu.
Selain itu, pelaksanaan upacara Nadran juga diyakini untuk meminta keselamatan agar para nelayan terhindar dari gangguan roh jahat yang dapat mengganggu aktivitas mereka di laut.
Terdapat pagelaran wayang kulit yang mengisahkan kisah Bedug Basu dalam pelaksanaan upacara nadran.
Tidak hanya itu saja, terdapat pula pertunjukan kesenian sandiwara yang mengisahkan cerita rakyat lokal. Umumnya, pelaksanaan upacara nadran di Sungai Buntu yakni pada bulan Juni selama dua minggu.
4. Upacara Adat Ngalaksa
Upacara adat ngalaksa adalah salah satu tradisi adat Jawa Barat. Pelaksanaannya yakni setiap bulan Juni selama musim panen. Terdapat tarian rengkong dan tarian ngalaksa selama prosesi upacara ini.
Rengkong adalah alat yang berguna untuk memikul padi dari sawah. Alat ini terbuat dari bambu gombong. Dalam penggunaannya, padi diikat pada rengkong dengan tali ijuk.
Alat ini akan menghasilkan suara karena gesekan antara bambu dan tali ijuk. Suara inilah yang membuat alat ini menarik. Sehingga, berdasarkan hal tersebut muncul ide untuk mengintegrasikannya ke dalam sebuah pertunjukan.
Saat para peserta upacara berjalan menuju lumbung padi, bunyi-bunyian dari rengkong akan menciptakan irama. Irama tersebut serupa dengan suara langkah-langkah para peserta selama upacara ngalaksa.
Masyarakat Rancakalong akan melaksanakan upacara adat ini selama satu minggu secara berkesinambungan. Dalam pelaksanaannya, upacara ini akan diiringi oleh seni tradisional tarawangsa.
Acara ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesuksesan panen yang mereka peroleh. Ungkapan rasa syukur ini diungkapkan melalui berbagai tarian tradisional.
5. Upacara Bubur Syura
Pelaksanaan upacara Bubur Syura yakni setiap tanggal 10 Muharram. Upacara ini lebih erat kaitannya dengan cerita Nyi Pohaci Sanghyang Sri sebagai Dewi Kesuburan.
Masyarakat Cirebon mempercayai bahwa upacara ini mampu mendatangkan kesejahteraan dan ketentraman dalam hidup.
Pelaksanaan upacara ini umumnya di luar rumah warga atau di lapangan, di sepanjang tepian sungai, atau di lokasi lain yang telah mendapat persetujuan oleh para tetua adat.
Ada berbagai perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara Bubur Syura. Diantaranya yaitu benda-benda keramat, persembahan, serta peralatan untuk memasak bubur. Terdapat pula pertunjukan seni dalam upacara ini.
Baca Juga : Malam Satu Suro: Arti, Sejarah, Serta 5 Larangannya
6. Rebo Wekasan atau Ngirab
Rebo Wekasan atau Ngirab adalah sebuah upacara adat Jawa Barat yang memiliki unsur keagamaan yang kuat.
Masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Drajat, Cirebon umumnya yang melaksanakan upacara ini. Pelaksanaannya adalah bentuk ziarah tradisional ke makam Sunan Kalijaga.
Pelaksanaan upacara ini yakni setiap hari Rabu pada minggu terakhir di bulan Shafar. Banyak yang menganggap bahwa waktu tersebut merupakan hari yang penuh keberkahan. Bahkan, hari tersebut konon mampu mengusir bala dan ketidakberuntungan dalam kehidupan.
Masyarakat Cirebon menganjurkan untuk tidak melakukan beberapa aktivitas, seperti perjalanan jauh atau pekerjaan berisiko di bulan ini.
Mereka juga menganjurkan bagi masyarakat untuk lebih banyak memberikan bantuan kepada sesama, terutama anak-anak yatim, janda tua, dan lansia.
Bagi mereka, penting di bulan ini untuk meningkatkan dan memperkuat hubungan sosial antarindividu dengan mempererat tali silaturahmi.
Pada bulan ini, mereka juga akan melaksanakan beberapa kegiatan utama, yakni Ngapem, Ngirab, Rebo Wekasan, dan Tawurji.
7. Upacara Ngalungsur Pusaka
Pemimpin dari pelaksanaan upacara ngalungsur pusaka adalah seorang kuncen atau penjaga tradisi. Upacara adat ini memperkenalkan berbagai pusaka yang merupakan warisan dari Sunan Rohmat Suci.
Dalam pelaksanaannya, peserta upacara dapat menyaksikan proses penyucian berbagai pusaka. Pusaka-pusaka ini memiliki nilai simbolis dan mewakili perjuangan Sunan Rohmat Kudus dalam penyebaran Islam.
Baca Juga : Sejarah Singkat Tari Kecak Bali dan Keunikannya
Sudah Paham tentang Berbagai Upacara Adat Jawa Barat?
Upacara adat Jawa Barat memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan budaya dan tradisi. Tidak hanya mencerminkan kepercayaan spiritual masyarakat setempat semata. Tetapi juga dapat menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari serta memperkuat ikatan sosial antarwarga.
Dengan melanjutkan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat Jawa Barat dapat memastikan warisan budayanya tetap hidup dan berkembang. Selain itu, pelaksanaannya juga berguna untuk menjaga harmoni dengan alam dan sesama manusia.