Hukum pajak dalam Islam wajib untuk diketahui bagi kamu seorang Muslim. Pasalnya, membayar pajak sudah menjadi kewajiban jika dilihat dari sisi pemerintah. Namun, banyak yang bertanya-tanya, apakah pajak itu sesuai dengan ajaran Islam?
Bagaimana hukumnya membayar pajak dan bekerja di bidang perpajakan? Apa saja macam-macam pajak yang ada dalam Islam dan bagaimana perbedaannya dengan pajak yang berlaku di Indonesia saat ini?
Berikut ini adalah beberapa sudut pandang yang dapat membantu kita memahami masalah pajak dalam Islam.
Pengertian Pajak
Pajak adalah suatu pungutan yang dikenakan oleh negara atau pemerintah kepada rakyat untuk membiayai kepentingan umum, terutama ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.
Pajak di dalam Islam harus sesuai dengan syariat, keadilan, kemaslahatan, dan kesepakatan antara penguasa dan rakyat. Pajak menurut syariat Islam juga harus digunakan untuk tujuan-tujuan yang halal, bermanfaat, dan transparan.
Pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah Dharibah, Al-Usyr, Al-Maks, atau Al-Kharaj. Istilah-istilah ini memiliki makna yang berbeda-beda, tergantung pada konteks dan jenis pajak yang dimaksud. Berikut ini adalah beberapa definisi pajak dalam Islam dari berbagai sumber:
1. Menurut Yusuf Qardhawi
Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial,politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.
2. Menurut Gazi Inayah
Pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum, serta untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.
3. Menurut Abdul Qadim Zallum
Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt. Kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.
4. Menurut Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Juwaini
Pajak adalah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.
Baca juga: Niat dan Tata Cara Tayamum yang Benar Agar Sholat Sah
Macam-Macam Pajak
Macam-macam pajak adalah berbagai jenis pungutan yang dikenakan oleh negara atau pemerintah kepada rakyat untuk membiayai kepentingan umum.
Pajak memiliki fungsi anggaran, regulasi, pemerataan, dan stabilisasi. Pajak juga memiliki berbagai kriteria dan karakteristik yang membedakannya.
Berdasarkan instansi pemungutnya, macam-macam pajak di Indonesia dibedakan menjadi pajak negara dan pajak daerah, yaitu sebagai berikut:
1. Pajak negara
Pajak negara adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat secara nasional. Pajak negara terdiri dari:
A. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh yaitu pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak.
B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
PPN dan PPnBM yaitu pajak yang dikenakan atas konsumsi dan transaksi jual beli barang dan jasa tertentu.
C. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB yaitu pajak yang dikenakan atas kepemilikan, pemanfaatan, atau penguasaan tanah dan/atau bangunan.
D. Bea Materai
Bea Materai yaitu pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen tertentu, seperti surat perjanjian, akta notaris, kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek.
E. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli, hibah, waris, atau cara lainnya.
Baca juga: Hadits Memuliakan Tamu dan Adab Menerima Tamu dalam Islam, Yuk Amalkan!
2. Pajak daerah
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota secara lokal. Pajak daerah terdiri dari:
A. Pajak provinsi
Pajak Provinsi yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi, seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak tembakau.
B. Pajak kabupaten/kota
Pajak kabupaten/kota yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, dan pajak parkir.
Hukum Pajak dalam Islam
Ada berbagai hukum pajak di dalam agama Islam, berikut hukumnya:
1. Sudut Pandang yang Mengharamkan Pajak
Sudut pandang ini berpendapat bahwa pajak adalah haram dan tidak boleh dikenakan kepada kaum Muslimin, karena pajak merupakan bentuk penzaliman dan pengambilan harta tanpa kerelaan dari pemiliknya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
A. Hadis Riwayat Imam Ahmad
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459).
B. Surat An-Nisa
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29).
C. Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mengambil sesuatu yang bukan hak kalian, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan hal itu pada kalian pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2417 dan Muslim no. 1832).
Pendapat ini juga mengatakan bahwa pajak tidak diperlukan karena umat Islam telah memiliki sistem zakat yang lebih sempurna dan adil untuk menyejahterakan masyarakat dan memenuhi kebutuhan negara.
Zakat adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, sedangkan pajak adalah buatan manusia yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kepentingan penguasa.
2. Sudut Pandang yang Memperbolehkan Pajak
Sudut pandang ini berpendapat bahwa pajak adalah boleh dan wajib dibayar oleh kaum Muslimin, karena pajak merupakan salah satu bentuk kontribusi kepada negara dan masyarakat. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
A. Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian lima hal: shalat, zakat, haji, puasa, dan taat kepada penguasa.” (HR. Ahmad no. 17344, Abu Dawud no. 4278, Ibnu Majah no. 2864, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3588).
B. Surat An-Nisa
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa: 59).
C. Hadis Riwayat Bukhari Muslim
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mendengar dan taat kepada penguasa (walaupun ia seorang budak Habsyi), maka ia termasuk orang-orang yang mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7142 dan Muslim no. 1838).
Pendapat ini juga mengatakan bahwa pajak diperlukan untuk menambah sumber pendapatan negara dan masyarakat, terutama di zaman modern yang penuh dengan tantangan dan kebutuhan.
Zakat saja tidak cukup untuk membiayai semua sektor, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan, dan lain-lain. Pajak juga dapat menjadi sarana untuk mengatur perekonomian dan mengurangi kesenjangan sosial.
3. Sudut Pandang yang Bersyarat
Sudut pandang ini berpendapat bahwa pajak adalah boleh dan wajib dibayar oleh kaum Muslimin, tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
- Pajak harus ditetapkan oleh pemerintah yang sah dan adil, yang menerapkan syariat Islam dan menjaga kepentingan umat.
- Pajak harus disepakati oleh rakyat atau perwakilannya, dengan cara musyawarah atau demokrasi.
- Pajak harus sesuai dengan kemampuan dan kewajiban rakyat, tanpa memberatkan atau merugikan mereka.
- Pajak harus digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umum, tidak untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
- Pajak harus transparan dan akuntabel, tidak ada penyelewengan atau korupsi.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
A. Hadis Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bermusyawarah.” (HR. Abu Dawud no. 2928, Tirmidzi no. 2166, Ibnu Majah no. 36, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2463).
B. Surat Ali Imran
Allah SWT berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104).
C. Hadis Riwayat Muslim
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya; dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim no. 49).
Pendapat ini juga mengatakan bahwa pajak harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti keadilan, keseimbangan, kemaslahatan, dan kesederhanaan. Pajak juga harus memperhatikan hak-hak rakyat, seperti hak milik, hak hidup, hak beribadah, dan hak bersosial.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum pajak dalam Islam tidaklah mutlak, tetapi bergantung pada berbagai faktor dan kondisi. Oleh karena itu, kaum Muslimin harus bersikap bijaksana dan kritis dalam menyikapi masalah pajak ini.
Umat Islam harus membayar pajak jika memenuhi syarat-syarat syar’i dan bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Namun, umat Muslim juga harus menolak pajak jika bertentangan dengan syariat Islam dan merugikan diri sendiri atau orang lain.