Memahami Akad Sewa Menyewa (Ijarah), Ju’alah, dan Bedanya

Bagi sebagian besar orang, ijarah atau akad sewa menyewa sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian, banyak di antara kita yang belum mengerti betul hukumnya menurut Islam.

Selain ijarah, kita juga perlu mengenal tentang akad ju’alah atau memberikan upah.

Mari langsung saja kita simak penjelasannya.

Akad Sewa Menyewa

Sewa menyewa merupakan salah satu metode yang banyak kita gunakan untuk mendapatkan kebutuhan. Dalam fiqih Islam, kegiatan sewa menyewa disebut sebagai ijarah.

Secara bahasa, ijjarah merupakan istilah untuk ujrah (upah). Sedangkan menurut istilahnya, al-ijarah yaitu memberikan manfaat benda kepada orang lain dengan mendapatkan ganti pembayaran.

Pengertian akad ijarah menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Hukum ijarah dalam Islam adalah dibolehkan. Akad ijarah juga disebutkan dalam firman Allah berikut:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Artinya: 

“Bila mereka menyusui anak-anak mereka dari kalian dengan upah, maka bayarlah upah mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6).

Bahkan, akad ijarah telah dijalankan oleh para nabi sejak jaman dulu. Hal ini tertuang dalam ayat Al-Qur’an.

لَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

Artinya: 

“Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik“. (Al-Qashash/28: 27).

Nabi Muhammad SAW juga pernah melakukan akad sewa menyewa. Salah satunya yaitu ketika Beliau berhijrah dan menyewa seseorang sebagai penunjuk jalan.

Hal ini disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu (ia berkata).

وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدَّيْلِ ثُمَّ مِنْ بَنِي عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيْتًا الْخِرِّيْتُ الْمَاهِرُ بِالْهِدَايَةِ.

Artinya: 

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang penunjuk jalan yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.” (al-Bukhari (IV/442, No. 2263).

Rasulullah juga menganjurkan untuk bersegera memberikan hak (upah) setelah pekerjaan selesai.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Artinya: 

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).

Baca juga: Apakah Suntik KB Membatalkan Puasa? Ini Jawabannya!

Ketentuan Akad Sewa Menyewa

Akad ijarah memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Pasalnya, dengan akad ini pemilik barang mendapatkan imbalan atas kegunaan barangnya, sementara penyewa berhak mendapatkan kegunaan barang tersebut.

Biasanya, penggunaan barang oleh penyewa memiliki batas waktu yang telah disepakati bersama.

Untuk menjalankan akad ijarah dengan benar, penyewa perlu membayarkan uang sewa. Jadi, sebagai muslim kita perlu tahu apa saja yang boleh menjadi uang sewa dalam akad ijarah.

Para ulama ahli fiqih berpendapat bahwa segala harta yang bisa diperjualbelikan bisa kita jadikan uang sewa.

Artinya, pembayaran sewa tidak harus berupa uang, tapi boleh dengan emas, perak, dan berbagai barang lain. Tetapi, ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu jumlahnya harus jelas.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim No 4034 yang artinya sebagai berikut:

“Hanzhalah bin Qais al-Anshari mengisahkan: Aku pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij Radhiyallahu anhu perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak (dinar dan dirham). Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa. Sejatinya dahulu semasa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang ‘sewa uang’ berupa hasil tanaman yang tumbuh di dekat sungai, parit, dan hasil tumbuhan tertentu. Dan ketika musim panen tiba, bisa jadi tanaman bagian ini rusak sedangkan bagian ini utuh sedangkan bagian itu rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang kecuali dengan cara ini, karena itu mereka dilarang menyewakan ladangnya. Adapun menyewakan ladang dengan ‘uang sewa’ yang telah jelas nan pasti maka tidak mengapa.”

Selain itu, dalam syariat terdapat dua ketentuan terkait barang yang disewakan, yaitu:

1. Barangnya Halal

Akad ijarah sejatinya termasuk jual beli. Bedanya, yang diperjualbelikan adalah jasa atau kegunaan barang bukan kepemilikannya.

Berdasarkan hal ini, maka berlaku hukum jual beli dalam akad ijarah. Di antaranya yaitu larangan memperjualbelikan barang-barang haram, seperti babi dan anjing.

Baik fisik maupun kegunaan dari barang-barang yang haram tidak boleh kita gunakan dalam jual beli, termasuk ijarah.

Hukum ini berlandaskan pada hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ

Artinya: 

“Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Dia mengharamkan pula atas mereka hasil penjualannya.” (Riwayat Ahmad 1/247 dan Abu Dawud hadits No. 3490)

2. Disewa untuk Tujuan yang Halal

Ketentuan berikutnya dalam akad sewa menyewa adalah kehalalan tujuan menyewa.

Sebagai muslim, kita perlu senantiasa mengingatkan diri bahwa segala sesuatu yang kita miliki merupakan karunia Allah SWT. Sehingga kita harus menggunakannya dengan cara yang benar dan sesuai aturan.

Berdasarkan prinsip tersebut, para ulama ahli fiqih menegaskan keharaman menyewakan barang maupun jasa Anda untuk hal-hal yang melanggar syariat.

Larangan akad sewa menyewa dan jual beli untuk tujuan haram juga berlandaskan dari hadits berikut:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشْرَةً عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُلَهُ

Artinya: 

“Berkaitan dengan khamar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknati sepuluh kelompok orang: pemerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distributornya), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yang menyajikan), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya.” (Riwayat at-Tirmidzi hadits No. 1295 dan Ibnu Majah: 3381).

Akad Ju’alah

Dari segi bahasa, ju’alah memiliki arti sesuatu yang dijadikan pada manusia untuk mengerjakan hal tertentu.

Sementara itu, pengertian ju’alah berdasarkan Fatwa DSN MUI adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari satu pekerjaan.

Jadi, ju’alah lebih mengacu pada imbalan atau hadiah atas pekerjaan. Ju’alah diperbolehkan karena kita membutuhkannya.

Selain itu, pembolehan ju’alah juga berlandaskan pada firman Allah.

قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ (يوسف: 72)

Artinya: 

“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja; dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”” (QS. Yusuf: 72).

Dari kisah dalam ayat di atas, dapat kita lihat ada dua pihak dalam akad ju’alah, yaitu:

  • Ja’il: pihak yang berjanji memberikan imbalan
  • Maj’ul lah: pihak yang melaksanaan Ju’alah

Mengutip Fatwa MUI, akad ju’alah dapat dilaksanakan dengan beberapa ketentuan berikut:

  • Pihak ja’il memiliki kecakapan hukum dan kewenangan untuk melakukan akad.
  • Objek ju’alah harus berupa pekerjaan yang tidak dilarang oleh syariah dan tidak menimbulkan akibat yang dilarang.
  • Hasil pekerjaan sebagaimana dimaksudkan harus jelas dan diketahui oleh para pihak ketika penawaran.
  • Imbalan ju’alah harus ditentukan besarannya oleh ja’il dan diketahui oleh para pihak ketika penawaran.
  • Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka.

Perbedaan Ijarah dan Ju’alah

Akad ijarah dan ju’alah sekilas hampir sama. Pasalnya, keduanya sama-sama merupakan persetujuan terkait pemberian upah.

Namun, sebenarnya keduanya mengacu pada hal yang berbeda. Singkatnya, ijarah merupakan upah atas jasa, sedangkan ju’alah adalah imbalan atas pencapaian dalam pekerjaan.

Nah, supaya makin jelas, mari simak contoh yang dilansir dari Rumaysho:

  • Akad ju’alah mempersyaratkan hasil untuk mendapatkan upah. Misalnya ketika melakukan ruqyah, maka hanya boleh mendapatkan upah jika berhasil sembuh. Jadi, jika tidak sembuh, maka tidak boleh memperoleh upah.
  • Akad ijarah terkait pada jasa dalam bentuk, waktu, dan upah yang jelas. Misalnya, melakukan ruqyah selama 30 menit dengan bayaran sekian. Nah, pada akad ini orang yang meruqyah tetap mendapatkan bayaran meskipun tidak sembuh.

Dapat kita tarik kesimpulan bahwa akad ijarah digunakan ketika pemberian upah dikaitkan dengan tindakan (effort) dalam suatu pekerjaan. Sedangkan, apabila dikaitkan dengan hasil akhir pekerjaan, maka menggunakan akad ju’alah.

Demikianlah penjelasan mengenai akad sewa menyewa dan perbedaannya dengan akad ju’alah. Semoga menjadi wawasan yang bermanfaat bagi kita.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment