Salah satu perkara yang sering menjadi perbincangan di kalangan para muslimah adalah pertanyaan mengenai bolehkah wanita menjadi imam? Adakah kondisi yang memungkinkan para wanita bisa menjadi imam?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu kita harus merujuk pada dalil-dalil yang membahasnya. Selain itu, sebuah fatwa dari MUI juga bisa menjadi landasan untuk mengetahui hukum dari perkara di atas.
Maka dari itu, artikel ini akan coba membahas perihal boleh tidaknya seorang wanita untuk menjadi imam dan memimpin jamaah.
Bolehkah Wanita Menjadi Imam Sholat untuk Pria?
Munculnya pertanyaan ini agaknya dipicu oleh video viral beberapa waktu lalu. Dalam video tersebut terdapat aksi seorang wanita yang menjadi imam sholat para pria. Hal ini dinilai janggal dan mendapat respon negatif dari berbagai masyarakat Indonesia.
Sementara kita tahu bahwa imam dalam sholat selalu dipimpin oleh laki-laki, dan tidak pernah ada riwayat yang menyatakan wanita menjadi imam laki-laki. Lalu, bagaimana fatwa MUI menilai tentang bolehkah wanita menjadi imam?
Dikutip dari situs nu.or.id, Rais Syuriah PBNU, KH. Ma’ruf Amin menyatakan bahwasanya ada larangan mutlak bagi perempuan untuk menjadi imam bagi laki-laki. Oleh karena itu, siapa saja yang mengutak-atik larangan ini sudah pasti tidak benar.
Selain itu, ada juga kejadian di tahun 2005. Kala itu, Amina Wadud, seorang penganut Islam Liberal, menghebohkan dunia setelah menjadi imam sholat Jum’at di Amerika Serikat, tepatnya di Gereja Katedral, AS.
Baca juga: Ramalan Jodoh Menurut Islam apa Diperbolehkan Percaya?
Terlebih, imam yang berada di belakangnya terdiri dari perempuan dan laki-laki yang saling bercampur. Hal ini tentu mengundang kecaman dari umat Islam di dunia, tak terkecuali umat Islam yang ada di Indonesia.
Sehubungan dengan hal di atas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan sebuah fatwa. Tepatnya pada tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H atau 26-29 Juli 2005, MUI mengadakan MUNAS (Musyawarah Nasional) MUI VII.
Dalam MUNAS tersebut, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005. Fatwa tersebut sekaligus menjawab pertanyaan, bolehkah wanita menjadi imam sholat?
Di dalam Fatwa tersebut, MUI menyatakan dua hal, yaitu:
- Haram dan tidak sah bagi perempuan untuk memimpin (imam) shalat berjamaah di mana ada laki-laki sebagai anggota jamaahnya.
- Diperbolehkan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin (imam) shalat berjamaah di mana perempuan adalah anggotanya jamaahnya
Fatwa tersebut didasarkan pada Kitabullah, sunnah Rasulullah, ijtima’ ulama, dan juga kaidah-kaidah fiqih:
Di dalam QS. An-Nissa Ayat 34, Allah SWT berfirman:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Ar-rijālu qawwāmụna ‘alan-nisā`i bimā faḍḍalallāhu ba’ḍahum ‘alā ba’ḍiw wa bimā anfaqụ min amwālihim, faṣ-ṣāliḥātu qānitātun ḥāfiẓātul lil-gaibi bimā ḥafiẓallāh, wallātī takhāfụna nusyụzahunna fa’iẓụhunna wahjurụhunna fil-maḍāji’i waḍribụhunn, fa in aṭa’nakum fa lā
Artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Selain itu, ada juga hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim:
“Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya.” – (HR. Abu Dawud & Al Hakim).
Dari hadist riwayat Ibnu Majah, Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah).
Sementara berdasarkan ijma’ para sahabat, di antara mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam bagi laki-laki. Selain itu, para sahabat juga beijma’ bahwasanya perempuan boleh menjadi imam hanya jika makmumnya perempuan.
Hal itu seperti yang pernah dilakukan oleh Aisyah dan Ummu salamah. Hal itu disampaikan oleh MUI mengutip dari Kitab tuhfah Al-Ahwadzi karya Al-Mubarakfuri.
Di samping itu, kaidah fiqih juga menjelaskan bahwa “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
Artinya, tidak ada ibadah yang asalnya tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau secara langsung tidak mendapat petunjuk dari nabi.
Inilah yang harus selalu menjadi pedoman, terutama untuk perkara aqidah yang sifatnya tidak ada tawar menawar.
Dengan begitu, pertanyaan bolehkah wanita menjadi imam sudah bisa kita jawab dengan jelas, yaitu tidak boleh. Sementara hukum wanita menjadi imam adalah mubah jika jamaahnya adalah sesama wanita.