Mengenal Hak Khiyar, Lanjut atau Batal dalam Akad Jual Beli 

Hak khiyar adalah sebuah prinsip yang sangat penting dalam melakukan aktivitas transaksi atau jual beli. Pada dasarnya, khiyar menunjukkan sikap saling meridhai dalam berbisnis.

Hal ini bertujuan agar menghindari penyesalan setelah transaksi jual beli apabila terjadi hal yang tidak diinginkan. Baik itu kurangnya transparansi terhadap kualitas barang atau unsur kesengajaan seperti sabotase.

Oleh karena itu, kedua belah pihak, penjual dan pembeli memiliki hak untuk memilih dua kemungkinan. Apakah ingin melanjutkan transaksi sesuai kesepakatan atau justru membatalkannya?

Mungkin beberapa dari kita baru mengenal khiyar dalam hukum akad jual beli.

Pengertian Hak Khiyar

Secara bahasa, khiyar diambil dari kata al-khiyar yang berarti memilih, menyisihkan, dan mengayak. Sementara secara etimologi, khiyar menjadi bentuk masdar dari kata Al-Ikhtiyar yang bermakna memilih dan menyaring.

Jika kita pandang secara semantik kebahasaan, kata khiyar sebenarnya diambil dari kata khair. Khair sendiri memiliki makna baik.

Ahli fikih memberi pendapat lain tentang khiyar. Mereka menganggap khiyar memiliki arti hak untuk melangsungkan akad demi menentukan sesuatu yang menentukan sesuatu yang terbaik: apakah ingin meneruskan atau membatalkan akad perjanjian.

Berdasarkan semua pengertian itu, bisa kita simpulkan bahwa khiyar berarti pilihan apakah ingin meneruskan atau membatalkan transaksi demi hasil terbaik. Dengan demikian, kita akan memiliki hak untuk menyelesaikan atau membatalkan transaksi.

Baca juga: Puasa Daud: Niat, Waktu Pelaksanaan, Tata Cara dan Keutamaannya

Jenis Hak Khiyar

Khiyar dalam transaksi atau akad jual beli terbagi menjadi beberapa jenis. Akan tetapi, jumlah jenisnya masih dalam perdebatan para ulama.  Menurut kita Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, terdapat banyak ragam khiyar yang dapat diterapkan.

Ulama hanafiyah membagi khiyar menjadi 17 jenis, sedangkan ulama Hanabilah membaginya menjadi delapan jenis. Sementara itu, ulama Syafi’iyah justru membaginya menjadi hanya dua jenis.

Dalam versi ulama Hanabilah, terdapat 8 jenis khiyar. Jenis-jenisnya adalah (1) khiyar majelis, (2) khiyar syarat, (3) khiyar ghabn, (4) khiyar tadlis, (5) khiyar aib, (6) khiyar takbir bitsaman, (7) khiyar bisababi takhaluf, dan (8) khiyar ru’yah.

Sementara menurut versi ulama Syafi’iyah, hanya terdapat dua jenis khiyar, yaitu khiyar at-tasyahhi dan khiyar naqhisah.

Khiyar at-tasyahhi merupakan khiyar di mana pembeli memperpanjang transaksi sesuai selera. Sementara khiyar naqhisah merupakan khiyar yang dipicu perbedaan atau kesalahan dalam pembuatan atau pergantian.

Demi memudahkan, kita sebaiknya mengetahui hanya empat jenis khiyar. Pasalnya, keempat jenis itu sudah umum dan banyak dijumpai dalam praktik jual-beli masyarakat

1. Khiyar Majelis

Jenis pertama yang paling umum adalah khiyar majelis. Khiyar majelis adalah hak memilih untuk setiap pihak dalam transaksi atau jual beli. Kita bisa memilih melanjutkan atau membatalkan selama masih berada di tempat transaksi.

Berdasarkan pengertian tersebut, kita sering sekali melakukan jenis khiyar ini. Kita akan menggunakan hak itu selama berada di tempat jual beli seperti toko atau pasar. Apabila pembeli atau penjual sudah pergi, hak itu akan hilang dan transaksi dinyatakan selesai.

Definisi khiyar majelis ini sudah tercantum pada hadits sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيْعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا الآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعَ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعَ. – رواه البخاري ومسلم

Artinya:

“Dari Ibnu Umar RA dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Tetapi jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (HR. Al.Bukhari dan Muslim).

نْ عَمْرُو ابْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ – رواه الترميذى والنسائي

Artinya:

“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).

Tujuan dari khiyar majelis adalah menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya kerugian bagi pihak mana pun. Khiyar ini berlaku baik dalam jual beli atau sewa menyewa selama terkait dengan penukaran barang.

Setiap transaksi akan dinilai selesai semenjak kesepakatan kedua belah pihak dalam akad jual beli dan berpisah. Pernyataan “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” di toko bisa menjadi contoh pertanda selesainya khiyar majelis.

Akan tetapi, disebutkan pula bahwa berpisah dari majelis dengan sengaja karena takut membatalkan transaksi menjadi haram. Berikut adalah dalil hadits yang mendasarinya.

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ.

Artinya:

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah dari majelis kecuali bila telah disepakati untuk memperpanjang hak khiyar hingga setelah berpisah. Tidak halal baginya untuk meninggalkan sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya.” (HR. Abu Daud).

Baca juga: Tata Cara Sholat Gerhana Bulan dan Matahari Sesuai Sunnah

2. Khiyar Syarat

Jenis khiyar yang paling sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari adalah khiyar syarat. Khiyar syarat adalah sebuah hak dalam transaksi jual beli berdasarkan persyaratan. 

Persyaratan di sini maksudnya berupa masa tenggang atau batas waktu yang jelas.

Hal ini berarti kedua belah pihak berhak memilih melanjutkan atau membatalkan transaksi sesuai batas waktu yang sudah ditentukan. Setelah batas waktu tersebut sudah tiba, kedua belah pihak wajib memastikan apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Terdapat dalil hadits yang bisa menjadi dasar hukum khiyar syarat sebagai berikut.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَنْتَ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. ثُمَّ أَنْتَ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْهَا عَلَى صَاحِبِهَا. – رواه ابن ماجه

Artinya:

“Rasulullah SAW bersabda: Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan jangan menipu. Jika kamu membeli sesuatu maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jika kamu rela maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.”   (HR. Ibnu Majah).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ بَيْعِهِمَا. قَالَ أَبُو دَاوُدَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا أَوْ يَخْتَارَ. – رواه أبو داود

“Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah,jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya (transparan), niscaya diberkahi dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua menyembunyikan atau berdusta, niscaya akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka berdua berpisah atau melakukan jual beli dengan akad khiyar.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari kutipan hadits tersebut, terdapat alasan dan pertimbangan untuk menggunakan hak khiyar syarat. Mungkin saja kedua belah pihak ingin menetapkan syarat agar bisa nyaman saat bertransaksi kelak sekaligus terlindungi haknya.

Berbicara tentang penerapannya, para ulama masih berbeda pendapat tentang batas waktu kebolehan khiyar syarat. Dalam hal ini, terdapat tiga pendapat yang sangat berbeda.

Pertama, menurut Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Zhahiri, maksimal batas waktu dalam penerapan khiyar syarat adalah tiga hari untuk jenis barang apa pun. Jika melebihi batas waktu tiga hari, akad transaksi akan dianggap tidak sah.

Kedua, menurut Mazhab Hambali, Al-Auza’i dan sebagian ulama Hanafi, menerapkan batas waktu lebih tiga hari menjadi boleh dalam penerapan khiyar syarat. Tetapi, kedua belah pihak, yaitu pembeli dan penjual, harus ridha atau merelakannya.

Ketiga dan terakhir, menurut Madzhab Maliki, batas waktu bisa berbeda-beda berdasarkan jenis barang yang akan terjual. Karena ini, perlu ada khiyar untuk mencari informasi tentang produk tersebut berdasarkan keperluan.

Dari ketiga pendapat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pendapat kedua dan ketiga menjadi sangat realistis. Sebagai pembeli, kita boleh menggunakan hak khiyar sesuai keperluan dan pertimbangan produk (barang) serta keridhaan dari penjual.

Apabila masa tenggang yang sudah ditentukan habis tanpa penolakan atau melanjutkan akad, khiyar tersebut akan dianggap gugur. Sebab, sesuatu yang memiliki batas waktu tertentu akan dianggap habis jika masa itu telah tiba.

3. Khiyar Aib

Khiyar aib menjadi hak untuk memilih untuk membatalkan atau meneruskan transaksi jika terdapat kecacatan pada barang atau produk yang diperjualbelikan. Dengan kata lain, aib di sini maksudnya adalah kecacatan pada barang dalam transaksi.

Dalam kasus ini, pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan saat akad berlangsung. Ia menemukan kecacatan setelah transaksi selesai. Jika hal ini terjadi, pembeli memiliki hak penggantian barang dengan yang lebih baik atau mendapat uangnya kembali.

Umumnya, kecacatan pada sebuah barang bisa mengurangi manfaatnya. Bisa jadi cacatnya barang bisa memicu konsekuensi yang tidak diinginkan bagi pembeli. Hal itu tercantum pada sabda Rasulullah dari hadits berikut ini:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ (رواه أحمد وابن ماجة وغيره)

“Bahwasanya Nabi SAW bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraqutni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani).

Dalam kasus ini, pembeli memiliki dua hak khiyar berdasarkan keikhlasan menerima kualitas dari barang yang dibelinya. Pertama, jika rela menerima kecacatan pada barang tersebut, khiyar tidak berlaku dan ia harus menerima dengan kualitas tersebut.

Kedua, jika ia menolak barang dengan kecacatan tersebut, ia bisa mengembalikan barang yang sudah dibelinya itu. Syaratnya, kecacatan barang itu harus murni dari pihak penjual dan bukan karena kelalaian pembeli seperti akibat terjatuh atau lainnya.

Apabila sudah memutuskan untuk mengembalikan barang, sebaiknya ia tidak menunda-nunda. 

Hal ini menjadi bentuk kelalaian tanggung jawab, alhasil ia dapat dianggap rela menerima barang yang cacat, kecuali karena ada halangan yang sudah dimaklumi.

4. Khiyar Ru’yah

Khiyar ru’yah merupakan hak bagi pembeli apabila barang belum terlihat saat transaksi berlangsung. Sang pembeli memiliki dua pilihan, apakah ingin meneruskan akad jual beli atau membatalkannya.

Contohnya, sang penjual belum memperlihatkan produk secara langsung saat terjadinya akad. Oleh karena itu, pembeli memiliki hak khiyar saat sudah melihat produk secara langsung saat menerimanya.

Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang khiyar ru’yah untuk pembeli yang belum melihat barang saat jual beli berlangsung. Pertama, mayoritas ulama Hanafi dan Maliki menggunakan dalil berikut untuk memperkuat pendapatnya.

أنَّ عثمانَ ابتاع منْ طلحةَ بنِ عُبيدِ اللهِ أرضًا بالمدينةِ ، ناقَلَهُ بأرضٍ له بالكوفةِ ، فلما تبايعا ندِم عثمانُ ثم قال : بايعتُك ما لم أرَهُ ، فقال طلحةُ : إنما النظرُ لي ، إنما ابتعتُ مُغَيَّبًا ، وأما أنتَ فقد رأيتَ ما ابتعتَ ، فجعلا بينَهما حَكَمًا ، فحكَّما جبيرَ بنَ مُطْعِمٍ فقضى على عثمانَ أنَّ البيعَ جائزٌ ، وأنَّ النظرَ لطلحةَ أنه ابتاع مُغَيَّبًا

Artinya:

“Sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu membeli tanah dari sahabat Thalhah yang berlokasi di Madinah dengan cara menukarnya atau barter dengan tanahnya yang berada di Kufah. Maka, sahabat Utsman berkata, “Bagiku hak untuk melihat (barang jualan) karena aku membelinya darimu sedang aku belum melihatnya.” Maka, sahabat Thalhah menjawab, “Seharusnya akulah yang memiliki hak khiyar melihat karena aku membeli sesuatu yang tak terlihat sedang engkau telah melihat barang yang engkau beli.” Maka, keduanya meminta keadilan kepada sahabat Jubair bin Muth’im. Maka, Jubair bin Muth’im memutuskan untuk Utsman bahwa pembeliannya menjadi akad jaiz. Adapun untuk hak khiyar penglihatan (rukyah), maka diputuskan untuk Thalhah karena dia membeli.

Dalam hal ini, penetapan khiyar ru’yah dan diperbolehkannya transaksi ini akan mewujudkan kemaslahatan bagi pembeli dan penjual. Khiyar ru’yah bisa digunakan pembeli jika penjual belum bisa memperlihatkan barangnya saat menerima pembayaran.

Sementara itu, Mazhab Syafi’iyyah mengambil pendapat akan tidak adanya khiyar ru’yah dengan alasan tidak boleh melakukan transaksi pada barang yang tidak nampak. Mereka menggunakan dua dalil berikut sebagai dasar pendapat ini.

ا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Artinya:

“Jangan engkau jual sesuatu yang engkau tidak punya.” (HR. Abu Dawud No. 3503).

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim No. 1513, Abu Dawud No. 3376, dan Tirmidzi No. 1230)

Secara konteks, makna “tidak punya” pada kutipan dalil pertama terkait dengan larangan penjualan barang yang beli ada saat akad berlangsung. Terlebih, barang yang belum bisa terlihat pada pembeli mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan sifat.

Unsur gharar dalam transaksi bisa memicu percekcokan di antara kedua belah pihak. Hal ini bisa jadi karena barang dagangan belum ada untuk dipertunjukkan pada pembeli.

Hak khiyar ru’yah hanya berlaku bagi pembeli jika belum benar-benar melihat barang yang akan dibelinya. Tetapi, bisa jadi ia sudah mendapat deskripsi secara spesifik dari penjual untuk memastikan.

Faktor yang Menghalangi Batalnya Akad Jual Beli

Kita telah membahas keempat jenis khiyar yang sering sekali kita temui pada kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, terdapat ketentuan dalam pembatalan akad dan pengembalian barang cacat. 

Terdapat faktor yang menghalangi batalnya akad transaksi sebagai berikut.

1. Keikhlasan atau Keridhaan Pembeli

Pertama, pembeli bisa saja ridha atau ikhlas begitu mengetahui kecacatan barang setelah mendapatkannya. Ia bisa mengucapkannya secara langsung pada penjual.

Pembeli bisa saja mengetahui kecacatan secara langsung dari sang penjual. Di sini, pembeli memiliki dua pilihan, apakah ingin tetap lanjut atau menerima barang tersebut atau mengikhlaskannya. Penjual bisa saja menerapkan penyesuaian harga.

Apabila, pembeli sudah merelakan kecacatan tersebut, akad jual beli sudah dianggap selesai. Berarti, hak khiyar sudah menjadi gugur, membuat pembeli tidak bisa melakukan pembatalan transaksi atau pengembalian barang.

2. Pembeli Menggugurkan Khiyar

Dalam menggugurkan khiyar, pembeli bisa mengatakannya secara langsung atau tidak. Seperti yang tercantum pada faktor pertama, keridhaan pembeli dapat menggugurkan khiyar sehingga tidak dapat terjadi pembatalan dan pengembalian barang.

Hak khiyar juga bisa gugur secara tidak langsung kalau pembeli tidak mengembalikan barang yang cacat dalam jangka waktu tertentu atau sudah telanjur mengkonsumsinya.

3. Kecacatan Barang Akibat Perbuatan Pembeli

Kelalaian pembeli yang memicu kecacatan barang ikut menggugurkan khiyar. Umumnya, pembeli bisa saja mengajukan keluhan pada penjual sehingga memicu perselisihan.

Apabila tidak terdapat bukti yang menguatkan akibat perselisihan ini, para ulama berpendapat bahwa penjual menjadi pihak unggul. Hal ini terbukti pada dalil sebagai berikut.

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:إِذَا اخْتَلَفَ الْبَيِّعَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَائِعِ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ. – رواه الترميذي و أحمد

“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata; Rasulullah SAW bersabda: Apabila penjual dan pembeli berselisih maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki hak pilih “. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِى خُطْبَتِهِ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ. – رواه الترميذي

“Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya; bahwasanya Nabi SAW bersabda dalam khutbahnya: mendatangkan bukti (al-Bayyinah) bagi pengklaim/penuduh dan harus bersumpah bagi yang tertuduh”. (HR. at-Tirmidzi).

Hikmah Hak Khiyar

Khiyar memiliki beberapa hikmah secara menyeluruh dan sangat bermanfaat dalam jangka panjang. Pada dasarnya, Islam mengutamakan kejujuran saat melakukan transaksi demi melindungi kerugian bagi semua pihak.

Dalam hal bisnis dan keuangan secara Islam, khiyar memiliki peran demi mengutamakan transparansi, kemaslahatan dan keikhlasan bagi kedua pihak. Oleh karena itu, berikut adalah hikmah sekaligus manfaat di balik hak khiyar.

1. Mempertegas adanya keikhlasan dan kerelaan dari kedua belah pihak saat akad jual beli. Lebih spesifiknya, terdapat suka sama suka antara pembeli dan penjual.

2. Penjual dan pembeli sama-sama nyaman dan puas ketika akad jual beli.

3. Melatih kewaspadaan bagi pembeli agar mendapat barang berkualitas baik.

4. Menghindarkan unsur penipuan dari kedua belah pihak.

5. Mengutamakan kejujuran penjual agar tidak semena-mena menjual barang dagangannya pada pembeli.

6. Memelihara hubungan baik antara penjual dan pembeli agar tidak terjadi perselisihan.

Secara keseluruhan khiyar menjadi sangat penting dalam sistem perekonomian bagi umat Muslim, terutama saat melakukan transaksi jual beli. Umat Muslim memerlukan transparansi agar mendapat kepuasan saat menerima barang kualitas baik dari penjual.

Begitulah pembahasan hak khiyar dalam akad jual beli. Dengan khiyar, Insya Allah kita akan belajar untuk lebih ikhlas dalam melaksanakan transaksi sesuai syariah.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment