Mengenal Hukum Wadh’i, Salah Satu Hukum Syariat Islam, Yuk Ketahui Moms!

Dalam ajaran Islam terdapat sejumlah anjuran dan hukum yang berfungsi sebagai pedoman. Salah satunya yaitu hukum wadh’i.

Sayangnya, masih banyak di antara kita yang belum memahami mengerti pengertian dan pembagiannya.

Mari kita pelajari bersama supaya tidak salah kaprah dalam menerapkan amalan.

Pengertian Hukum Wadh’i

Ada dua jenis hukum dalam Islam yang perlu kita ketahui, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Hukum taklifi adalah hukum yang berisikan tuntutan, larangan, atau pembolehan.

Sedangkan, hukum wadh’i lebih berupa penjelasan mengenai situasi bagaimana tuntutan dan lainnya diberlakukan.

Mengutip dari laman Gema Risalah, hukum wadh’i merupakan hal yang menuntut untuk menjadikan sebab, syarat, atau penghalang dari hal lain.

Sebagai contoh, hukum untuk melaksanakan puasa Ramadhan adalah wajib. Nah, kewajiban ini merupakan hukum taklifi yang mana menuntut untuk menunaikan puasa.

Sementara itu, kita perlu menengok hukum wadh’i untuk mengetahui mengenai sebab, syarat dan penghalang dari kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan.

Berikut penjelasan mengenai hukum ini dalam ‘Ilmu Ushulil Fiqh oleh Syekh Abdul Wahab Khallaf:

وأما الحكم الوضعي: فهو ما اقتضى وضع شيء سببًا لشيء، أو شرطًا له، أو مانعًا منه

Artinya: “Hukum wadh’i ialah tuntunan meletakkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau pencegah bagi lainnya (terciptanya hukum),” (Lihat Khallaf, Ilmu Ushulil Fiqh, [Kairo: Al-Madani, 2001], halaman 99).

Baca juga: Bacaan Niat Puasa Rajab Sekaligus Puasa Senin Kamis

Macam-macam Hukum Wadh’i

Hukum yang satu ini dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:

1. Sebab

Sebab diartikan sebagai tanda adanya hukum oleh agama. Dapat diartikan juga sebagai kondisi pasti yang memberikan batasan tertentu. Sementara menurut syariat, kondisi tersebut dianggap sebagai pertanda berlakunya hukum.

Definisi sebab dijelaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily sebagai berikut:

السبب هو وصف ظاهر منضبط دل الدليل السمعي على كونه معرفا للحكم

Artinya, “Sebab hukum ialah sifat yang jelas dan memberikan pembatasan, di mana dalil sam’i menyebut keberadaannya sebagai pemberitahu adanya hukum taklifi,” (Lihat Az-Zuhaily, Ushulul Fiqh Al-Islamy, [Damaskus: Darul Fikr, 2005], Juz I, halaman 99).

Adapun sebab sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu:

Sebab yang bukan merupakan hasil perbuatan manusia. Misalnya, posisi matahari yang menjadi dasar penentuan waktu shalat 5 waktu.

Sebab yang merupakan hasil perbuatan manusia. Misalnya, harus meng-qadha’ puasa Ramadhan karena tidak mampu berpuasa ketika menempuh perjalanan jauh. Bepergian jauh merupakan sebab diperbolehkannya tidak berpuasa Ramadhan.

2. Syarat

Syarat merupakan pelengkap dari sebab hukum. Ada tidaknya suatu hukum tergantung pada ada tidaknya syarat.

Meski demikian, perlu diingat bahwa adanya syarat belum tentu menjadi tanda adanya hukum. Inilah yang menjadi perbedaan antara syarat dengan sebab.

Supaya lebih mudah memahami, kita bisa menengok contoh hukum akad nikah yang mana mengharuskan adanya dua saksi sebagai syarat sah.

Dua orang saksi ini merupakan syarat. Jadi, supaya akad nikah sah, wajib menghadirkan dua orang saksi.

Namun, hadirnya dua saksi saja tidak menyebabkan terjadinya pernikahan yang sah. Pasalnya, hukum sah pernikahan memerlukan sebab yang berupa akad nikah.

Syarat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Syarat yang Menyempurnakan Sebab

Sebagai contoh, jatuhnya haul yang syarat kewajiban mengeluarkan zakat atas harta yang telah mencapai nisabnya.

Sebab wajib zakat yaitu nisab, yang mana merupakan indikator kekayaan. Namun, kewajiban tersebut baru berlaku setelah jatuh haulnya (tempo mengeluarkan zakat).

Jadi, jika kekayaan yang mencapai nisab masih sempurna kita miliki hingga setelah jatuh haul, maka kita wajib mengeluarkan zakat.

b. Syarat yang Menyempurnakan Musabab

Sebagai contoh yaitu syarat untuk menyempurnakan shalat dengan berwudhu dan menghadap kiblat.

3. Mani’

Mani’ (penghalang) adalah hal yang menghalangi atau meniadakan suatu perkaya yang dicapai oleh sebab atau hukum.

Kita bisa mengambil contoh dari kewajiban mengeluarkan zakat setelah memiliki harta yang mencapai nisab. Namun, huku wajib zakat dapat terhalang apabila terlilit hutang yang dapat mengurangi nisabnya.

4. Sah

Dalam hal pelaksanaan ibadah, sah memiliki arti tujuan telah tercapai. Dengan kata lain, kita telah melaksanakan ibadah sesuai yang diperintahkan dan memenuhi syarat serta rukunnya.

Sah juga dapat diartikan sebagai status tanggung jawab. Contohnya, menjalankan shalat dengan sah berarti melaksanakan tanggung jawab dan akan mendapatkan pahala di akhirat kelak.

5. Batal

Batal merupakan kebalikan dari sah. Dapat diartikan bahwa batal adalah hal yang bisa melepas tanggung jawab dan menyebabkan tidak diperolehnya pahala di akhirat.

Hukum batal terjadi apabila kita mengerjakan perbuatan tertentu, tapi sebagian atau seluruh syarat tidak terpenuhi, tidak ada sebab, atau terdapat penghalang (mani’).

Contohnya, apabila menjalankan shalat sesuai waktu dan didahului wudhu, tapi dalam keadaan haid, maka shalat tersebut hukumnya batal.

Demikianlah penjelasan mengenai hukum wadh’i dan macamnya. Semoga menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment