Jual beli dalam Islam adalah suatu aspek kehidupan ekonomi yang diatur oleh prinsip-prinsip etika dan hukum Islam. Dalam beberapa situasi, seseorang mungkin melakukan jual beli terpaksa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, Islam memiliki pedoman yang jelas mengenai hal tersebut.
Mari kita eksplorasi konsep jual dan beli terpaksa yang masih boleh dan yang dianggap haram, disertai dengan dalil yang jelas mengenai prinsip jual beli dalam Islam.
Daftar ISI
Jual Beli dalam Islam
Jual beli dalam Islam dikenal dengan istilah “muamalah” atau “perdagangan,” yang merupakan suatu aktivitas ekonomi dan diatur oleh prinsip-prinsip etika serta hukum Islam. Dalam Islam prinsip atau transaksi jual beli sudah diatur secara jelas.
Islam memberikan pedoman yang jelas mengenai cara menjalankan jual beli agar sesuai dengan nilai-nilai moral dan keadilan. Beberapa prinsip utama jual beli melibatkan transparansi, kejujuran, keadilan dan larangan riba serta merugikan.
Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275 dengan bunyi menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Allażīna ya`kulụnar-ribā lā yaqụmụna illā kamā yaqụmullażī yatakhabbaṭuhusy-syaiṭānu minal-mass, żālika bi`annahum qālū innamal-bai’u miṡlur-ribā, wa aḥallallāhul-bai’a wa ḥarramar-ribā, fa man jā`ahụ mau’iẓatum mir rabbihī fantahā fa lahụ mā salaf, wa amruhū ilallāh, wa man ‘āda fa ulā`ika aṣ-ḥābun-nār, hum fīhā khālidụn.
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Dalam ayat lain juga disebutkan mengenai hukum jual beli dalam firman allah SWT yang berbunyi:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198).
Bahkan Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjelaskan hal-hal yang diharamkan dalam jual beli padahal beliau ditanya tentang kaidah-kaidah halal dan haram dalam jual beli.
Hal ini dapat dipahami bahwa pada dasarnya setiap jual beli, hukumnya boleh kecuali terdapat larangan dalam akad tersebut. Demikian menurut Ustadz Erwandi Tarmizi dalam buku dengan judul “Harta Haram Muamalat Kontemporer.”
Baca juga: Doa Bercermin Arab, Latin, dan Adab Saat Bercermin
Hukum Jual Beli Terpaksa dalam Prinsip Islam
Jual beli terpaksa dalam konteks prinsip Islam menjadi suatu perbincangan penting. Hal ini ketika individu menemui kondisi darurat atau keadaan sulit yang memaksa kita untuk melakukan transaksi tersebut.
Islam sebagai agama yang sempurna memberikan pedoman dalam segala aspek kehidupan, termasuk landasan hukum mengenai jual dan beli terpaksa. Tentunya aturan ini agar kita tidak salah dalam melakukan transaksi jual beli.
Sebelum kita membahas lebih dalam mengenai landasan hukum tersebut, tentunya kita harus tahu dulu dasar dari hukum jual beli. Pada dasarnya, akad jual beli tidak merugikan salah satu pihak atau ada unsur pemaksaan.
Hal ini karena jual beli seharusnya dilakukan antara kedua belah pihak dengan ridha. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Yā ayyuhallażīna āmanụ lā ta`kulū amwālakum bainakum bil-bāṭili illā an takụna tijāratan ‘an tarāḍim mingkum, wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum raḥīmā.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29).
Jual Beli Terpaksa yang Masih Diperbolehkan dan Diharamkan
Dalam suatu kondisi pada saat akad jual beli mungkin kita akan menghadapi situasi yang beragam, baik itu dari segi pembeli maupun penjual. Pada saat proses ini tentunya kita perlu bijak agar akad jual beli tidak jatuh sebagai akad haram.
1. Pembeli Membeli dengan Harga Murah kepada Penjual
Pembeli yang membeli dengan harga murah kepada penjual dari harga yang telah ditetapkan jatuh sebagai hukum akad jual beli yang diperbolehkan. Apabila antara penjual dan pembeli masih kerabat atau penjual tersebut tidak terpaksa.
Landasan hukum ini akan jatuh sebagai harga bersedekah kepada kerabat dan dalam Islam ini diperbolehkan.
Sebagaimana jual beli yang terjadi antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jabir:
“Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat unta Jabir yang berjalan dengan lambat lalu menawarnya, maka Jabir berkata, “aku hadiahkan untukmu, wahai Rasulullah”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarnya berulang kali, sehingga Jabir menjualnya dengan harga 1 uqiyah (+/- 119 gr emas 24 karat). Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayarnya 1 uqiyah + 1 qirath (+/- 0,18 gr emas 24 karat).” (HR. Muslim).
Namun, hukum akad ini akan haram apabila pembeli merayu di depan semua orang dan akhirnya penjual terpaksa memberikan dengan harga murah kepada pembeli. Hal ini termasuk sebagai kategori pemaksaan dan haram.
2. Jual Beli Karena Penjual Terdesak Butuh Uang
Beberapa ulama besar sepakat bahwa hukum jual beli terpaksa dalam keadaan penjual terdesak butuh uang, maka hukum dari akad ini diperbolehkan. Hal ini karena menurut jumhur ulama membantu dalam meringankan beban penjual.
“Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengusir Yahudi Bani Nadhir dari Madinah, beliau menganjurkan untuk mereka agar menjual barang-barang, agar tidak merepotkan dalam perjalanan. Mereka akhirnya menjual dengan harga lebih murah. Ini dalam keadaan terdesak.”
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa boleh hukumnya menjual dan membeli barang dengan harga miring disebabkan penjual terdesak diperbolehkan. Jika tidak dibolehkan, maka Rasulullah SAW tidak menyarankan untuk melakukannya. (Walid Al-Mu’iidy, AlMuhabah fil uqudil maliya, jilid 1 halaman 183)
3. Jual Beli Terpaksa yang Diperbolehkan
Pada hakikatnya hukum jual beli terpaksa tidak diperbolehkan dan tidak sah, tetapi dalam kondisi tertentu diperbolehkan syariat.
Menurut DR. Fahd Al Umary Naz’ul Milkiyyah Al Khasshah dalam halaman 215 menjelaskan seperti berikut:
Qadhi (hakim) yang menjual terpaksa sisa harta orang yang jatuh pailit untuk menutupi hutangnya atau ia menjual barang agunan untuk menutupi utang pemilik barang yang jatuh tempo.
Hal ini menjadi hukum jual beli terpaksa yang diperbolehkan. Termasuk juga dalam akad jual beli yang memaksa pemilik rumah untuk menjual karena ada proyek atau bangunan untuk fasilitas umum.
Hal ini diperbolehkan apabila pemerintah melakukan ganti rugi sesuai kesepakatan dan adil bagi pemilik rumah
Jual beli yang terjadi ini hukumnya sah sekalipun mereka dipaksa untuk menjual rumah dan tanahnya, dengan syarat pihak pemerintah memberikan ganti rugi yang adil (layak sesuai dengan harga pasar). (DR. Fahd Al Umary Naz’ul Milkiyyah Al Khasshah dalam hal. 317)
4. Jual Beli Idz’an
Kita mungkin seringkali menemukan praktik monopoli dalam akad jual beli. Hal ini bisa berupa pemasangan air bersih, listrik, internet dan lain sebagainya. Dalam Islam, akad untuk sistem ini disebut dengan idz’an atau ketundukan.
Idz’an bisa juga disebut dengan contract of adhesion atau pihak yang kuat secara ekonomi memaksakan harga kepada pihak yang lemah. Dimana pada posisi ini kita sebagai pelanggan tidak bisa mengubah harga kesepakatan.
Namun, akad ini dalam prinsip Islam diperbolehkan dan sah. Hal ini karena tidak ada unsur paksaan untuk pembeli dalam membeli produk tersebut. Tapi, jika ingin membeli kita harus setuju dan tunduk pada persyaratan sehingga hukumnya sah.
Pada dasarnya, hukum jual beli terpaksa tidak diperbolehkan dan tidak sah dalam Islam. Tetapi, hal ini akan berbeda apabila terdapat suatu kondisi yang sesuai syariat tanpa melanggar unsur pemaksaan hingga merugikan orang lain.