Sunan Ampel memang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa. Ia merupakan salah satu dari sembilan tokoh Wali Songo. Wali Songo sendiri telah melakukan penyebaran agama Islam pada masyarakat Jawa.
Sebagai salah satu Wali Songo, beliau menyebarkan agama Islam khususnya di daerah Jawa Timur, lebih spesifiknya lagi di wilayah Surabaya. Melalui dakwahnya, ia bertujuan untuk memperbaiki moral masyarakat.
Lantas, seperti apa perjuangan dari beliau selama masa hidupnya? Bagaimana dengan silsilah keluarganya dan keterkaitan dengan masyarakat Jawa? Metode dakwah apa yang ia gunakan? Mari kita cari tahu selengkapnya.
Biografi Sunan Ampel
Pertama, kita harus ketahui bagaimana biografinya. Mengetahui sejarahnya lebih dalam sangat penting agar kita semakin mengenal salah satu dari tokoh Wali Songo ini.
Kelahiran
Sunan Ampel lahir di Campa, Kamboja pada tahun 1401. Beliau memiliki nama asli Sayyid Muhammad Ali Rahmatullah atau lebih terkenal sebagai Raden Rahmat. Menariknya, beliau menjadi satu-satunya tokoh Wali Songo yang tidak lahir di Indonesia.
Namun, terdapat dua pendapat tentang Campa, tempat kelahiran beliau. Ada yang berpendapat bahwa Campa merupakan sebuah negara kecil di Kamboja. Ada pula yang berkata bahwa Campa terletak di daerah bernama Jeumpa di Aceh.
Raden Rahmat merupakan anak dari Sunan Maulana Malik Ibrahim atau lebih terkenal sebagai Sunan Gresik. Sunan Gresik sendiri dipercaya memiliki garis keturunan dari Syekh Jamaludin Jumadil Kubro.
Sementara itu, ibu dari Sunan Ampel adalah Siti Fatimah. Ia merupakan seorang putri kerajaan Champa sekaligus putri dari Ali Nurul Alam Maulana Israil yang dikenal sebagai Raja Champa Dinasti Azmatkhan.
Berdasarkan kedua orangtuanya, bisa ditarik kesimpulan bahwa Raden Rahmat merupakan sosok dari keluarga bangsawan. Pasalnya, Sunan Gresik telah menikah dengan sang putri dari kerajaan Champa.
Selain itu, Raden Rahmat ternyata merupakan keponakan dari istri seorang raja Majapahit, Prabu Kertawijaya atau Brawijaya. Kertawijaya mulai berkuasa di Majapahit pada tahun 1447 hingga 1451.
Perjalanan di Jawa
Beberapa ahli memaparkan Sunan Ampel mulai menginjakkan kaki di pulau Jawa pada tahun 1443 Masehi. Saat itu, ia ditemani oleh saudaranya, yakni Ali Musada dan Raden Burere.
Sebelum itu, beliau sempat menetap di Palembang selama tiga tahun mulai dari tahun 1440 Masehi. Kemudian, beliau sempat singgah di daerah Gresik sebelum menuju Tuban, wilayah Majapahit.
Saat di Tuban, ia mengunjungi bibinya, Dyah Dwarawati. Bibinya itu merupakan istri dari Prabu Kertawijaya, sosok raja Majapahit.
Raja Majapahit itu kemudian memberikan hadiah tanah di Ampel Denta, Surabaya pada Raden Rahmat. Raden Rahmat kemudian menggunakan tanah itu untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Sejak saat itu, ia mulai berdakwah.
Jika kita memperhatikan nama Ampeldenta, tentu ini mengingatkan kita dengan julukan Raden Rahmat, yaitu Sunan Ampel. Pasalnya, beliau mendapat julukan terkenalnya berdasarkan nama lokasi tempat berdakwah pertamanya.
Baca juga: Hadits Keutamaan Sholat Berjamaah, Wajib atau Sunnah?
Mulai Berdakwah
Kita sudah ketahui bahwa Majapahit merupakan kerajaan Hindu di Indonesia, begitu pula dengan rajanya. Walau begitu, sang raja memberikan kebebasan pada Sunan Ampel untuk mengajarkan agama Islam, syaratnya tidak boleh ada paksaan.
Saat itu, mayoritas dari masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme. Animisme adalah sebuah kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus.
Beliau memulai berdakwah dengan pendekatan kultur kebudayaan orang Jawa. Salah satunya adalah mengadaptasi istilah menjadi bahasa Jawa untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Misalnya, mengadaptasi istilah shalat menjadi sembahyang.
Terdapat metode dakwah yang sudah menjadi khas dan terkenal dari Sunan Ampel, yaitu Moh Limo. Moh Limo sendiri terdiri dari lima ajaran dasar yang sudah sesuai dengan ajaran Islam.
Kemudian, pesantren yang didirikan beliau menjadi sangat berkembang dan sukses. Banyak masyarakat yang berminat untuk mempelajari dan menganut agama Islam. Pesantren tersebut kemudian menjadi pusat pendidikan yang sangat berpengaruh.
Tidak berhenti sampai di situ, Sunan Ampel melanjutkan perjuangannya di luar pesantren Ampel Denta. Beliau juga berkelana menuju daerah lain demi menyebarkan ajarannya, mulai dari Madura hingga akhirnya menuju Bima.
Tidak hanya berdakwah, ia juga terlibat dalam pembangunan Masjid Demak pada 1479 Masehi. Saat itu, ia berperan besar sebagai arsitek utama. Masjid Demak kemudian menjadi pusat para Wali untuk berdiskusi tentang cara berdakwah terhadap masyarakat.
Sunan Ampel bukan satu-satunya sosok Wali Songo yang terlibat dalam pembangunan Masjid Demak. Masih ada Sunan Bonang, Sunan Gunung Djati, dan Sunan Kalijaga. Masing-masing dari mereka ikut membangun tiang utama masjid tersebut.
Masjid Demak kemudian menjadi salah satu pusat dari kesultanan Demak yang didirikan pada 1478. Raden Patah, salah satu murid beliau sekaligus putra Prabu Brawijaya dari Majapahit, menjadi sultan pertama kesultanan tersebut.
Menikah Dua Kali
Selama masa hidupnya, Raden Rahmat telah menikah dua kali. Kedua istrinya adalah Dewi Candrawati dan Dewi Karimah.
Pernikahan beliau dengan Dewi Candrawati menghasilkan lima orang anak. Kelimanya adalah Maulana Mahdum Ibrahim, Syarifuddin, Siti Syarifah, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah.
Maulana Makdum Ibrahim lalu dikenal juga sebagai Sunan Bonang. Syarifuddin kemudian menjadi tenar dengan nama Sunan Drajat. Sementara Siti Syarifah menjadi istri Sunan Kudus.
Dari pernikahannya dengan Dewi Karimah, beliau dikaruniai enam orang anak. Keenamnya adalah Dewi Murtasiyah (istri Sunan Giri), Dewi Murtasimah, Raden Husamuddin, Raden Zainal Abidin, Pangeran Tumapel, dan Raden Faqih.
Waktu Wafat
Sunan Ampel meninggal dunia pada tahun 1481 di Demak, Jawa Tengah. Beliau dimakamkan di dekat Masjid Agung Sunan Ampel di Ampel Denta. Masjid tersebut kemudian menjadi masjid tertua ketiga di Indonesia.
Tidak hanya Masjid Agung Sunan Ampel, terdapat peninggalan lain yang terkait erat dengan Raden Rahmat. Ada dua masjid lain, yaitu Masjid Rahmat Kembang Kuning dan Masjid Jami Peneleh.
Masjid Rahmat Kembang Kuning sekaligus menjadi bukti saat Raden Rahmat melakukan dakwah dan menyebarkan agama Islam. Lebih istimewanya, masjid tersebut terletak di tengah-tengah hutan.
Di sisi lain, Masjid Jami Peneleh dipercaya menjadi masjid yang berdiri pertama kali di Surabaya. Namun, masjid tersebut tidak terlalu populer jika dibandingkan dengan Masjid Rahmat dan Masjid Sunan Ampel.
Bukti peninggalan Sunan Ampel lain berupa Kampung Arab yang terletak di sekitar Masjid Sunan Ampel. Kampung ini kental dengan suasana Timur Tengah dan sentuhan bahasa Arab di setiap sudutnya.
Itulah mengapa wilayah tersebut terdapat mayoritas penduduk berketurunan Arab. Kampung tersebut menjadi bukti jejak dakwah dan penyebaran agama Islam dari Sunan Ampel.
Silsilah Sunan Ampel
Setelah memahami biografi dari lahir hingga wafat, banyak dari kita sangat penasaran dengan silsilah Sunan Ampel. Mengingat beliau berasal dari keluarga bangsawan, hal ini tergolong wajar dan cukup penting.
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama-sama, Sunan Ampel atau Raden Rahmat merupakan anak dari pasangan Sunan Gresik dan Siti Fatimah. Dari sini, kita tahu keduanya sangat terkenal dan bukan orang sembarangan.
Sunan Gresik atau Sunan Maulana Malik Ibrahim berasal dari keturunan Syekh Jamaludin Jumadil Kubrah, sosok Ahlussunnah bermazhab Syafi’i. Syekh Jamaluddin sendiri berasal dari Samarqand, Uzbekistan.
Ibu dari Sunan Ampel, Siti Fathimah, merupakan putri dari raja dari Campa. Ia juga terkenal sebagai sepupu Raden Patah dan keponakan dari raja Majapahit.
Sunan Ampel atau Raden Rahmat telah menikah dua kali. Beliau memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi dan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Beliau memiliki saudara bernama Ali Musada dan saudara sepupu bernama Raden Burereh. Mereka berdua ikut Sunan Ampel saat mengunjungi bibinya di kerajaan Majapahit, yakni Dewi Sasmita Putri.
Sekali lagi, beliau memiliki lima anak dari pernikahannya dengan Dewi Candrawati. Sementara dari pernikahannya dengan Dewi Karimah, beliau dikaruniai enam orang anak. Totalnya, beliau memiliki sebelas anak.
Kedua putra dari pernikahannya dengan Dewi Candrawati, Maulana Makdum Ibrahim dan Syarifuddin, mewarisi ajaran dari Sunan Ampel. Masing-masing dari mereka mendapat julukan Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Adapun ketiga putrinya dari pernikahan dengan Dewi Candrawati di antaranya Siti Syarifah, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah. Siti Syarifah kemudian menikahi Ja’far Ash-Shadiq atau Sunan Kudus.
Beralih ke Dewi Karimah, beliau dikaruniai enam orang anak. Keenamnya adalah Dewi Murtasiyah, Dewi Murtasimah, Raden Husamuddin, Raden Zainal Abidin, Pangeran Tumapel, dan Raden Faqih.
Metode Dakwah Sunan Ampel
Sunan Ampel sangat terkenal sebagai pendakwah yang menerapkan strategi dan metode agar memudahkan masyarakat Jawa. Ia menerapkan metode yang singkat, cepat, dan mudah bagi pengikutnya.
Metode penyebaran agama Islam yang diterapkan beliau relatif berbeda dari metode dakwah Sunan lainnya. Jika kebanyakan metode Sunan menerapkan pendekatan seni budaya, metode beliau mengandalkan pendekatan intelektual dan pembauran.
Berikut adalah lima metode dakwah dari Sunan Ampel:
1. Mo Limo sebagai Ajaran Dasar
Kita sudah mengetahui salah satu metode dakwah beliau adalah Mo Limo. Pendekatan ini menjadi dasar ajaran bagi masyarakat Jawa yang ingin mempelajari Islam.
Secara arti, Mo Limo terbagi menjadi dua kata dalam bahasa Jawa. Mo berarti “tidak ingin”, sementara limo berarti “lima”. Artinya, Mo Limo bisa berarti lima larangan dasar. Kelima larangan tersebut sebagai berikut:
- Moh main: tidak berjudi.
- Moh ngombe: tidak mabuk-mabukan.
- Moh maling: tidak mencuri
- Moh madat: tidak candu obat-obatan terlarang.
- Moh madon: tidak melakukan zina.
Kelima larangan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, keadaan masyarakat masih tergolong asing dan kolot. Mereka saat itu menganut kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan terhadap makhluk gaib.
Selain itu, terdapat beberapa tradisi kental di Jawa yang sangat bertentangan dari ajaran Islam. Salah satu di antaranya adalah berjudi, sabung ayam, dan bersemadi.
Kelima larangan tersebut sekaligus menjadi ajaran mendasar bagi masyarakat Jawa yang beragama Islam. Beliau berharap mereka dapat menjauh setiap larangan bagi agama Islam demi menghindari konsekuensi buruk dari perbuatan tersebut.
2. Mengadaptasi Istilah dengan Bahasa Masyarakat Jawa
Sunan Ampel juga terkenal sebagai pribadi yang peka terhadap lingkungan setempat. Oleh karena itu, beliau cepat beradaptasi agar masyarakat Jawa mau mengikuti pengajaran beliau.
Sebagai cara untuk beradaptasi dengan situasi sosial budaya di daerah sekitar, ia mengadaptasi berbagai istilah Islam dengan bahasa sehari-hari masyarakat Jawa.
Cara ini sangat berhasil untuk mengundang masyarakat Jawa agar mau menganut Islam. Beliau mengubah berbagai istilah yang sering terpakai oleh mereka demi memudahkan.
Contohnya, shalat tergantikan dengan kata sembahyang. Sembahyang sendiri merupakan istilah saat masyarakat Jawa akan beribadah.
Tidak hanya itu, terdapat dua contoh istilah lain yang diadaptasi. Kata Mushola menjadi kata langgar yang mirip dengan sanggar. Sementara sanggar sendiri menjadi tempat pemujaan atau penyimpanan sesajen dalam budaya Jawa.
3. Pendekatan Terhadap Tokoh Masyarakat
Strategi lain yang saat Sunan Ampel melakukan dakwahnya adalah mendekati tokoh masyarakat terkenal. Benar, beliau melakukan pendekatan terhadap beberapa orang yang sangat berpengaruh di wilayah pulau Jawa.
Oleh karena itu, beliau mampu membangun jaringan kekerabatan lebih luas lagi. Ternyata, ini juga memicu beliau mendapat julukan wali pendakwah dalam politik.
Istri pertamanya, Dewi Candrawati adalah Nyai Ageng Manila, putri dari Bupati Tuban. Sementara istri keduanya, Dewi Karimah, merupakan putri dari Ki Wiroseroyo, salah satu dari tokoh yang berpengaruh di wilayah Jawa.
Dari pernikahannya itu, kita bisa tahu ini menjadi salah satu cara agar Sunan Ampel mengajak orang-orang besar di wilayah Jawa. Tidak hanya itu, beliau menikahkan anak-anaknya dengan deretan tokoh penting lainnya.
4. Memahami Kebutuhan Masyarakat
Sunan Ampel mengandalkan pengetahuannya tentang kebutuhan pokok masyarakat setempat sebagai cara berdakwah. Ia akan memahami apa yang menjadi kebutuhan pokok dari masyarakat tersebut sebelum memulai berdakwah.
Beliau akan mewujudkan keinginan masyarakat akan kebutuhan pokok. Pada saat yang sama, beliau tetap melakukan dakwah. Utamanya, ia menyimpulkan Islam mengajarkan agar penganutnya bisa saling berbagi.
Pada awal masa berdakwahnya, Sunan Ampel rajin membuat kerajinan tangan. Salah satunya adalah kipas yang terbuat dari akar tumbuhan dan anyaman rotan. Kipas tersebut dipercaya bisa menyembuhkan batuk dan demam.
Beliau membagikan hasil karya tersebut secara cuma-cuma untuk masyarakat setempat. Satu-satunya syarat untuk mendapatkannya hanyalah mengucapkan kalimat syahadat.
5. Mengganti Nama Sungai
Terakhir, terdapat sebuah strategi yang tidak biasa dari Sunan Ampel. Lebih tepatnya, beliau mengubah nama sungai Brantas menjadi Kali Emas. Sungai tersebut menjadi salah satu sungai terpanjang sekaligus terbesar di Jawa Timur.
Tidak lengkap sampai di situ. Beliau ternyata juga mengubah nama pelabuhan Jelangga Manik. Pelabuhan tersebut saat itu bernama Tanjung Perak.
Perhatikan kata “Emas” dan “Perak”. Apa yang terlintas ketika mendengar kedua kata itu pada nama tempat? Apakah kita akan berbondong-bondong ingin ke sana untuk mendapat emas dan perak? Hal itu juga dilakukan oleh banyak masyarakat setempat.
Memang tidak salah, mereka percaya di Jawa Timur, terutama Surabaya, terdapat harta melimpah karena penggunaan kedua kata itu. Ini menjadi strategi jitu dari Sunan Ampel agar menarik perhatian orang agar tertarik ke kedua tempat tersebut.
Banyaknya pendatang ke Jawa Timur membuat beliau memiliki kesempatan untuk menyebarkan agama Islam dan berdakwah. Terlebih, agama Islam sebenarnya tidak mengajarkan untuk bermegah-megahan dalam gelimangan harta.
Begitulah pembahasan biografi Sunan Ampel, mulai dari riwayat hidup, silsilah, hingga metode dakwahnya. Dengan memahami semua hal itu, kita jadi memahami bagaimana bagian dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia.