Apa itu Politik Devide et Impera? Pengertian, Dampak, dan Contohnya

Di dalam sejarah bangsa Indonesia, ada salah satu politik yang cukup terkenal yaitu politik devide et impera. Politik ini dulunya dijalankan oleh para penjajah khususnya VOC untuk mengadu domba bangsa Indonesia. Untuk lebih jelasnya, pada artikel berikut akan dibahas pengertian, dampak, hingga contoh-contohnya. 

Pengertian Devide et Impera

Istilah devide et impera pertama kali diperkenalkan oleh Belanda saat menjajah Indonesia. Adapun secara etimologis, politik ini memiliki makna “pecah dan berkuasa”. 

Dengan kata lain, jenis politik ini adalah sebuah strategi untuk melakukan adu domba kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud bersifat internal sehingga bisa menyebabkan sebuah komunitas terpecah belah dan pelaku pun bisa mendapatkan keuntungan. 

Dahulu, politik ini diterapkan oleh VOC Belanda selama berada di Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari berbagai kerajaan di Nusantara. Ada banyak sekali dampak dari penerapan politik ini untuk bangsa Indonesia saat itu dan sebagian besar adalah berdampak negatif. 

Penerapan Politik Devide et Impera

Ada beberapa cara yang dilakukan dalam penerapan politik ini, antara lain:

1. Make Friends and Create Common Enemy 

Dalam penerapan politik ini, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan sistem make friend and create common enemy. Caranya yaitu dengan berusaha menjadi bangsa targetnya teman, kemudian menciptakan musuh secara bersamaan. 

Hal ini memungkinkan karena saat sudah berteman, maka semua proses negosiasi dan diplomasi akan berjalan dengan mudah dan lancar. Karena kemudahannya inilah yang membuat sebuah negara lebih mudah untuk dihancurkan. 

2. Manajemen Isu Win-win Solution

Strategi atau upaya yang dilakukan selanjutnya yaitu dengan manajemen isu yang baik. Biasanya pelaku akan menebar kabar desas-desus atau isu tentang targetnya yang bertujuan untuk propaganda sehingga politik devide et impera berhasil.  

3. Merekrut Pemimpin Lokal 

Upaya ini umumnya dilakukan dengan merekrut seorang pemimpin lokal menjadi bagian dari rantai manajemen politik ini. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengakuan yang mengatasnamakan pelaku terhadap entitas politik di suatu daerah. 

4. Bermain Dua Sisi

Cara yang dilakukan selanjutnya dalam penerapan politik ini adalah dengan bermain pada dua sisi. Artinya, para pelaku akan berpihak pada dua kubu yang saling bertentangan, seorang berada pada posisi netral namun sebenarnya sedang melakukan adu domba. 

5. Mengatur Terjadinya Perang Saudara 

Dalam menerapkan politik ini, langkah yang dilakukan adalah dengan mengatur perang saudara. Pelaku akan melakukan berbagai cara untuk bisa mengatur terjadi perang saudara dan perpecahan diantara targetnya sehingga bisa menguasainya dan mencapai tujuannya. 

Dampak Penerapan Politik Devide et Impera

Dalam penerapannya, politik ini memiliki beberapa dampak negatif antara lain:

1. Memecahkan Kelompok 

Politik devide et impera adalah sistem politik yang bertujuan untuk memecah belah suatu kelompok sehingga bisa menguasai kelompok tersebut. Jika kelompok tersebut tidak memiliki sistem pertahanan yang baik, maka tentunya akan lebih mudah untuk dipecahkan. 

2. Kelompok Mudah Dikuasai

Adanya perpecahan akibat dari penerapan politik ini tentu saja akan membuat sistem pertahanan pemerintahan akan semakin melemah. Apalagi jika diterapkan di masyarakat yang mudah untuk diadu domba, maka tentu saja pemerintahan tersebut akan mudah untuk dikuasai. 

Seperti kasus yang dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia, yang mana Belanda melakukan strategi politik ini untuk memecah belah bangsa Indonesia hingga tidak berdaya. Kondisi ini pun dimanfaatkan oleh Belanda hingga berhasil menguasai Indonesia pada masa itu. 

3. Menghancurkan Persatuan Bangsa

Adanya penerapan politik devide et impera ini pada dasarnya memang untuk menghancurkan persatuan bangsa. Kekuatan yang dimiliki oleh politik ini sangat kuat sehingga bangsa suatu negara dengan persatuan yang tinggi pun bisa ditaklukannya. 

Belanda yang pada masanya menerapkan sistem ini, berhasil menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Bahkan berhasil menghancurkan keutuhan negara yang dibuktikan dengan keberhasilannya dalam menguasai hampir seluruh daerah di Indonesia. 

4. Menimbulkan Perang Saudara

Beberapa kasus perang saudara terjadi pada masa pemerintahan Belanda yang bahkan membuat kerajaan terpecah akibat dari perang saudara. Untuk itulah kekuatan dari politik ini memang tidak bisa diragukan lagi. 

Akibat dari penerapan politik ini, Belanda pada masanya berhasil menaklukkan  kerajaan-kerajaan besar yang berada di wilayah Nusantara dengan memanfaatkan perang antar saudara tersebut. 

Bahkan karena politik ini, tidak jarang ada yang meregang nyawa akibat dari saudara yang membunuh saudara lainnya karena perebutan kekuasaan.

Contoh Politik Devide et Impera di Indonesia 

Dalam kasusnya di Indonesia, ada beberapa contoh penerapan politik devide et impera yang dilakukan oleh Belanda. Beberapa kasus tersebut antara lain:

1. Gerakan Daerah Istimewa Sumatera Selatan (GDISS)

Contoh kasus yang pertama yaitu Gerakan Daerah Istimewa Sumatera Selatan (GDISS) yang dibentuk oleh Belanda untuk mendirikan Negara Sumatera Selatan dengan menggunakan semboyan “Sumatera Selatan untuk Sumatera Selatan”. 

Pada kasus ini, pemerintah Belanda saat itu, yaitu Van Mook, menyebarkan isu separatis dan menghasut bahwa warga Palembang tidak suka dipimpin orang Jawa, Sumatera Utara, atau Sumatera Tengah. 

Dia bahkan mengatakan jika penduduk asli tidak akan pernah menempati posisi kepemimpinan jika orang luar Palembang masih ada di sana. 

Dikarenakan hasutan tersebut, sebagian warga Palembang pun terpancing dan menimbulkan perpecahan antara beberapa golongan masyarakat di Palembang. Keberhasilannya ini tidak luput dari iming-iming yang dijanjikan oleh Van Mook yaitu berupa kekuasaan untuk masyarakat Palembang.

2. Kesultanan Banten

Pada masa Kesultanan Banten, tepatnya saat pemerintahan dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa sekitar tahun 1651 sampai 1680, Banten benar-benar maju pesat di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, hingga kebudayaan. 

Melihat hal itu, VOC tentu saja tidak tinggal diam, dan ingin mengambil alih Kesultanan Banten. Saat terjadi sengketa saudara antara dua putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda mencoba untuk memanfaatkan itu.

Belanda pun bersekutu dengan Sultan Haji, dan kemudian menerapkan taktik adu domba. Belanda saat itu mencoba untuk mengadu domba Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa sehingga berhasil membuat kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa lumpuh. 

Sultan Ageng Tirtayasa pun ditangkap Belanda. Beliau dipenjarakan hingga wafat pada 1692. Sejak saat itulah, kemunduran mulai terjadi di Kesultanan Banten karena adanya pengaruh dari Belanda.

3. Perang Padri

Politik devide et impera yang diterapkan oleh Belanda juga berdampak pada kaum Padri di Sumatera Barat. Seperti yang diketahui bahwa Sumatera Barat memiliki dua kubu yaitu kaum Adat (dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah) dan kaum Padri. 

Pada masanya, kedua kubu ini berselisih paham, yaitu kaum Padri berusaha memurnikan ajaran Islam dengan mengurangi segala bentuk adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Hal ini pun menimbulkan peperangan di antara keduanya, hingga dimenangkan oleh kaum Padri. 

Kaum Adat tidak tinggal diam, mereka berusaha meminta bantuan pada Belanda. Belanda tentu saja memanfaatkan hal tersebut dengan menerapkan siasat adu domba agar kaum Adat terus melawan kaum Padri.

Hingga akhirnya kedua kaum tersebut sadar dan mereka memutuskan untuk melawan Belanda pada 1833. Namun ironisnya peperangan berhasil dimenangkan Belanda dan menyebabkan banyak pemimpin kaum Padri maupun kaum Adat yang gugur.

4. Perang Makassar 

Saat perang Makassar, pemerintah Belanda juga menerapkan politik devide et impera atau sistem adu domba ini. Pada saat itu, pemerintah Makasar dipimpin oleh Sultan Hasanuddin yang terkenal sangat gagah, berani, dan pandai. Bahkan Kerajaan Makassar pernah mencapai kejayaannya pada masa pemerintahannya. 

Namun, semasa kepemimpinannya, pemerintah menolak kehadiran VOC untuk melakukan monopoli perdagangan di sana. VOC pun menganggap bahwa Kerajaan Makassar sebagai ancaman dan persaingan dalam pelayaran dan perdagangan di wilayah timur. 

Hal ini pun membuat pihak Belanda akhirnya melakukan siasat adu domba dengan cara berpura-pura melakukan hubungan yang saling menguntungkan dengan Kerajaan Makassar. 

Namun akhirnya, politik yang diterapkan ini menciptakan pertempuran antara Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka yang saat itu bersekutu dengan VOC. Hal itu jugalah yang kemudian membuat Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya yang memaksanya tunduk pada VOC.

5. Perang Banjar

Perang Banjar terjadi akibat politik adu domba yang dilakukan Belanda. Pada masa pemerintahan Antasari, politik devide et impera dilakukan oleh Belanda sehingga menyebabkan lingkungan kerajaan menjadi terpecah belah dan rakyat Banjar saling bermusuhan.

Menanggapi hal tersebut, Pangeran Antasari pun memutuskan untuk menyerang tambang batu bara di Pengaron yang dikenal dengan Perang Banjar. Hasil dari penyerangan tersebut yaitu Belanda kalah dari Pangeran Antasari di Gunung Jabuk.

Serangan Pangeran Antasari pun semakin kuat, hingga akhirnya membuat Belanda menyerah dan mengusulkan membuat perjanjian damai. Namun niat tersebut tidak diindahkan oleh Pangeran Antasari mengingat apa yang Belanda telah lakukan dan keteguhan Pangeran Antasari yang tidak ingin berkompromi dengan penjajah manapun, termasuk Belanda.

6. Perang Jagaraga

Perang Jagaraga merupakan perang yang terjadi di Buleleng Bali dan menjadi salah satu perang terbesar di sana. Terjadinya perang ini akibat dari politik devide et impera atau adu domba yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. 

Pada masanya, pemerintah Belanda ingin menaklukan Bali, tapi dia dibuat kerepotan saat menghadapi Kerajaan Buleleng yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik. Menanggapi masalah ini, Belanda akhirnya menemukan satu cara untuk menaklukkan Bali yaitu dengan menerapkan taktik politik ini. 

Saat itu, Belanda menyebarkan kabar bohong di kalangan masyarakat Bali. Hal ini pun membuat masyarakat Bali menjadi terpecah belah sehingga membuat Kerajaan Buleleng lengah. 

Memanfaatkan situasi tersebut, tepat pada 15 April 1849, saat pagi-pagi buta, Jagaraga diserang dari dua sisi yaitu depan dan belakang. Saat itu pemerintah masih fokus dengan perpecahan masyarakat sehingga belum siap untuk menghadapi situasi tersebut. 

Hal ini pun membuat Kerajaan Bali kalah dan menyebabkan ribuan warga tewas dan ditawan oleh Belanda. Pemimpin kerajaan saat itu terpaksa memundurkan diri dan melarikan diri ke Gunung Batur. 

Namun di perjalanan, beliau dikejar oleh pasukan Belanda hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Kematian pemimpin kerajaan ini semakin memperburuk kondisi Kerajaan Buleleng, hingga akhirnya Buleleng sepenuhnya jatuh ke tangan Belanda. 

7. Konflik Kerajaan Mataram

Ada cukup banyak sekali cerita Kerajaan Mataram yang pecah akibat dari politik devide et impera atau adu domba oleh pemerintah Belanda. Salah satunya cerita tersebut adalah saat konflik internal antara Kesultanan Mataram Islam. 

Konflik antara kesultanan Islam ini melibatkan tiga tokoh penting kerajaan, yaitu Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Saat itu, konflik terjadi karena adanya pengangkatan Pangeran Probosuyoso, anak kedua dari Amangkurat IV. Beliau yang bergelar Pakubuwana II diangkat menjadi raja baru.

Akan tetapi, Raden Said, anak Pangeran Arya Mangkunegara atau putra sulung Amangkurat IV, meminta haknya sebagai penerus tahta Kesultanan Mataram Islam. Hal inilah yang menjadi awal mula konflik di Kesultanan Mataram Islam. 

Ini juga semakin diperparah dengan terjadinya konflik yang dipicu oleh adanya keputusan Pakubuwana II yang ingin memindahkan ibukota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745. Permasalah ini pun semakin pelik terutama saat Raden Mas Said bekerja sama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut kerajaan. 

Adanya perebutan dan konflik tersebut berdampak kepada kesehatan Pakubuwana II yang kian melemah hingga akhirnya wafat. Pangeran Mangkubumi saat itu langsung mengambil alih kerajaan dengan langsung mengangkat diri sendiri sebagai raja baru.

Keadaan pun semakin tidak terkendali setelah Belanda memutuskan mengangkat Raden Mas Soerjadi, yaitu putra dari Pakubuwana II, menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. 

Namun, Pangeran Mangkubumi menolak dengan keputusan tersebut. Mereka  memutuskan kembali melakukan serangan terhadap Belanda dan Pakubuwana III.

VOC tentunya tidak tinggal diam, dia melakukan taktik adu domba, mereka menghasut Pakubuwana III atau Raden Mas Said agar berhati-hati dengan Pangeran Mangkubumi. 

Raden Mas Said termakan dengan perkataan VOC sehingga taktik adu domba yang dilakukan VOC berhasil dan membuat terjadi perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi pada 1752.

Tentu saja VOC memanfaatkan situasi tersebut dengan berunding bersama Pangeran Mangkubumi dan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III akan diberikan padanya.  

Hasilnya, disepakatilah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang merupakan kesepakatan antara Pakubuwana III, VOC, dan Pangeran Mangkubumi terkait sistem pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam.

Adapun salah satu isi pokok dari perjanjian ini yaitu pembagian wilayah Kesultanan Mataram Islam menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Surakarta. Hal ini pun yang menjadi cikal bakal perpecahan Kesultanan Mataram Islam saat itu.

8. Negara Boneka Papua

Salah satu bukti nyata hasil dari politik devide et impera yang dilakukan oleh Belanda ini adalah keinginan Papua untuk merdeka sampai saat ini. Keinginan ini adalah salah satu akibat dari praktik adu domba yang dilakukan Belanda beberapa waktu lalu sehingga menyebabkan perpecahan di antara masyarakat Papua.

Pada tahun 1947 hingga 1948, Belanda sengaja membagi-bagi Indonesia ke dalam beberapa kelompok kecil dengan total jumlahnya ada 6 bagian. Kelompok tersebut terdiri dari Negara Indonesia Timur yang sekarang Papua dan Negara Pasundan. Serta ada juga Negara Sumatra Selatan, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, dan Negara Jawa Timur.

Pembagian ini sebagai salah satu taktik Belanda untuk memecahkan persatuan bangsa Indonesia. Bahkan pada tanggal 19 Oktober 1961, Belanca secara diam-diam mendirikan negara boneka Papua sebagai akibat sampai sekarang ini Papua masih berusaha untuk menarik diri dari Indonesia.

Contoh Politik Devide et Impera di Luar Negeri

Tidak hanya di Indonesia, politik ini juga terjadi di beberapa negara lainnya seperti di Swedia hingga Rusia. Berikut uraiannya.

1. Swedia

Salah satu peristiwa berkaitan dengan politik ini adalah kasus pembakaran Al-Quran di Swedia. Kasus ini merupakan bukti nyata jika kelompok Paludan yang anti-Islam berusaha untuk memprovokasi umat Islam. 

Di Swedia, kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi. Paludan pun memanfaatkan hal ini untuk memprovokasi umat muslim di sana. Mereka membakar Al-Qur’an hingga membuat masyarakat muslim marah dan melakukan unjuk rasa hingga berakhir ricuh. 

Aksi ini pun menimbulkan perdebatan antara beberapa kaum yang pro dan kontra akan masalah ini hingga menyebabkan perpecahan antara masyarakat di sana. Bahkan, hal ini menyebabkan munculnya masyarakat anti-Islam dan anti-imigran lainnya. 

2. Rusia

Negara yang merasakan akibat dari politik devide et impera selanjutnya adalah Rusia. Akibat dari politik ini, Rusia mengalami perpecahan yang tidak biasanya yang di mana presiden dan rakyatnya saling terpecah belah. 

Presiden Boris Yeltsin diadu domba dengan rakyatnya sendiri melalui pengeboman parlemen Rusia oleh kelompok tertentu. Akibat dari pengeboman ini yaitu kematian ribuan orang sehingga menyebabkan rakyat marah dan tidak percaya lagi dengan presiden. 

Bahkan tentara pemerintah juga dihasut untuk menembaki demonstran dan menyebabkan 18 orang terbunuh. Namun media saat ini malah menyalahkan presiden, dan menyatakan bahwa presiden telah “membunuh rakyatnya sendiri”. 

3. Mesir

Negara Mesir juga tidak luput dari kasus politik devide et impera. Beberapa kelompok di sana melakukan berbagai hal untuk memecahkan masyarakat. Bahkan salah satu kalimat yang di-publish untuk politik ini yaitu “Saudara kita mati untuk Mesir yang lebih baik”. 

Hal ini tentu saja menyebabkan banyak pro kontra di kalangan masyarakat Mesir sehingga menyebabkan perpecahan di kalangan masyarakat. Akibatnya, pemerintahan menjadi tidak stabil dan melemahnya persatuan di kalangan masyarakat. 

Sudah Tahu Politik Devide et Impera dan Contohnya?

Politik adu domba ini termasuk sangat bahaya karena bisa merusak persatuan bangsa, bahkan bisa meruntuhkan suatu negara. Untuk itulah, sangat penting untuk bersama-sama saling menjaga persatuan agar tidak mudah terpecah belah. Semoga bermanfaat!

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page