Kumpulan Puisi Senja Singkat Romantis, Bisa Dijadikan Curahan Isi Hati

Puisi adalah karya sastra yang menggunakan diksi-diksi cantik dengan makna khusus. Siapapun bisa membuat puisi, asal paham terkait ketentuan dalam menulisnya. Agar lebih memahami, mari simak beberapa contoh puisi senja di bawah ini!

Contoh Kumpulan Puisi Senja

Senja sering dikaitkan dengan hal romantis, karena suasananya yang mendukung. Jika Anda menyukai puisi dan senja, keduanya dapat digabung menjadi kesatuan yang saling melengkapi. Berikut ini kumpulan puisi senja yang bisa Anda jadikan referensi:

1. Romantisme Senja

Aku berjalan,

Di tengah jalan yang padang,

Kesepian, sendiri…

Angin meliuk-liuk,

Meniupkan ilalang, 

Bai itu pasir maupun bebatuan,

Bermain dengan tanpa batas.

Pada langit yang indah,

Sekumpulan burung pulang,

Mereka kembali ke sarang,

Tempat menanti sang pasangan,

Aku mengaduh.

Duhai,

Aku di sini,

Berkawan dengan sepi,

Ku langkahkan kaki,

Semakin lelah bernyanyi.

Aku masih di sini,

Dengan sendiri, 

Menanti datangnya senja romantis,

Mengisi hati yang kosong ini.

2. Ingatan Tentang Kamu

Aku menatap senja dengan lekat,

Sembari menahan perih di dada,

Bolehkah aku menyesal,

Sebab telah mengenalnya?

Bolehkah rasa cinta di hati ini tak seharusnya ada?

Atau bolehkah aku memberontak kepada Tuhan,

Sebab telah menciptakan fatamorgana ini?

Jeritan perih sedang menusuk hati,

Entah sudah berapa lama aku menatap langit,

Yang berwarna oranye ini,

Apapun yang kulakukan, 

Aku hanya ingin melupakan.

Namun sakit,

Yang sungguhan menyayat hati,

Masih saja,

Tidak bosan bersemayam di sana.

Langit berwarna kemerah-merahan ini,

Mungkin sudah bosan melihat guratan piluku,

Andai engkau tahu bahwa melupakanmu,

Tidak secepat langit menjadi gelap.

3. Menunggu Bersama Sang Senja

Senja telah datang menyapa,

Dan aku masih tetap duduk di tempat dan posisi yang sama.

Bersama dengan angin yang tidak pernah bosan menerpa,

Menunggu sosok raga yang sekarang entah di mana.

Tiada penantian yang terasa menyenangkan.

Sesuatu yang membosankan tanpa adanya kepastian,

Namun, diriku masih saja menjadi penikmat rindumu.

Pada penantian kelabu yang hanya berujung semu,

Bukan aku tidak mampu untuk mencari yang baru sebagai penggantimu,

Namun, hanya saja hati ini masih terisi oleh namamu.

Sulit bagiku untuk menghapusmu dari ingatanku,

Sebab aku terlalu pandai dalam menyimpan rasa.

Hanya bertahan pada satu nama dan masih berharap semua akan tetap sama,

Meski terkadang menyesakkan dada dan tidak lupa menyisakan luka.

Aku masih berharap, penantianku ini akan berbalas temu,

Hingga dua hati kembali bersatu dan tidak ada lagi kata sembilu yang merindu.

4. Di Balik Senja

Tatkala aku memandang senja,

Terlukis wajahmu dalam masa laluku.

Terlihat dengan bias-bias,

Tintanya menggunakan darahku.

Kuasnya memakai jiwaku,

Kanvasnya dengan langit.

Angin kencang meniup raga,

Saksi bergoyang dengan lembut.

Teriakan burung terdengar menyeringai,

Lihatlah cakrawala itu.

Tanyakan pada matahari,

Apa hakikat bahasa alam?

Yang perlu kita maknai dan pahami,

Teruslah pandang senja,

Hingga rautmu terlihat di sana.

Adalah cerminanmu,

Yang selalu teringat,

Seakan terhapus dalam benak dan otak.

Sayangnya,

Rasa ini telah meneror jiwa.

Sudah lama terpendam,

Kini muncul kembali ke permukaan.

Dan menyeretku ke dalam gua yang hitam,

Hatiku mulai meluap,

Takut akan masuk ke dalam jiwa.

Semakin dalam,

Rasa ini semakin resah dan gelisah.

Hingga pusara sukma yang tergali,

Ah, sudah kulepaskan.

Biarkan saja terbang bersama angin alam,

Aku hidup sekarang.

Aku akan terlahir kembali,

Dengan jiwa dan nyawa yang baru.

5. Senjaku

Contoh puisi senja yang selanjutnya berkaitan dengan penantian dan menunggu seseorang. Berikut baitnya:

Ketika proses ini mulai menjadi angka,

Dan senja pergi untuk meninggalkan mentari,

Tidak ada satupun yang terlihat terang,

Begitu pula dari kejauhan,

Keheningan yang terbias dalam menunggumu,

Tetapi, senja tidak pernah mengingkarinya,

Tentang kesepakatan pergi yang akan selalu kembali pada esok hari,

Tidak akan pernah lari,

Selalu tiba dengan waktu yang sempurna,

Menunggu mentari dan pergi bersamanya,

Tidakkah engkau menyadari betapa indahnya hari itu?

Betapa indahnya ombak yang berderu,

Yang menyerbu bibir pantai,

Seakan membawa rindu yang hanyut bersamamu.

6. Asa yang Tersisa

Ketika langit jingga cerah telah berganti warna,

Perlahan warna akan semakin menipis berganti menjadi gelap.

Kicauan burung terdengar semakin lirih hingga menjadi sunyi,

Sepenggal asa yang sudah usang.

Gejolak rasa yang diantar oleh luka dan kecewa,

Inilah aku yang hidup tanpa belahan jiwa.

Menyimpan segala khayalanku yang terlalu tinggi itu,

Aku berharap senja akan mengerti perasaanku,

Sehingga khayalanku dapat segera terwujud.

7. Senja dan Januari

Apa yang paling disukai setelah bergantinya tahun?

Adalah senja yang berwarna jingga cerah.

Warna yang menggambarkan ketenangan dan kenyamanan,

Pergantian sore dan malam hari,

Diiringi dengan hal-hal yang menakjubkan.

Begitu besar kuasa Tuhan,

Atas semua kemampuannya dalam membuat bahagia manusia.

Yakni dengan cara yang sederhana,

Langit yang luas dengan hamparan warna jingga,

Berhasil membuatku merasa terkesan.

Ternyata sebagian jiwaku adalah sebuah warna yang lebih berarti,

Senja dan Januari, keindahan yang memesona.

8. Kita dan Senja

Aku melihat goresan penaku yang masih sama,

Masih menceritakan tentang hal-hal itu.

Mengukir tiap kata tentang senja,

Ketika awal pertemuan kita dimulai.

Aku, kamu, kita, dan senja,

Tak sama sekali ada yang menyadari,

Bahwa skenario takdir terjadi pada pertemuan ini.

Memulai dengan lembaran kisah kita,

Sungguh, awalnya bahkan aku tak percaya.

Tetapi, senja yang mengatakannya,

Bahwa aku dan kamu,

Akan saling terhubung dalam balutan senja yang sama.

9. Senja dalam Lantunan Gitar

Mentari menepi sambil menghadirkan jingga,

Meleburkan segala lelah dalam jiwa.

Sedikit gelap, sepercik cahaya,

Menimpa raga, membangkitkan gelora dalam asa.

Dan aku di sini, berada di sampingmu,

Menikmati senja dengan bayangan semu.

Ditemani dengan sebuah gitar dan beberapa bait lagu,

Kita nyanyikan lagu bersama, hingga jerih mulai berlalu.

Lantunan demi lantunan berbunyi pasti,

Kupetikkan nada dari gitar tua ini,

Menyanyikan lagu-lagu yang kamu sukai,

Sementara mentari, kini semakin menepi.

Kulihat senyum keluar dari bibir indahmu,

Oh betapa cantiknya, tidak ingin rasanya ini berlalu,

Semoga tetaplah engkau yang bersamaku,

Hingga tidak lagi dimakan oleh waktu.

10. Jingga Bersamamu

Puisi senja ini berisi makna tentang percintaan remaja, simak puisinya sebagai berikut:

Ada kata yang sulit untuk kuucap,

Ada bibir yang enggan untuk bicara,

Ada rasa yang enggan untuk diam,

Ada rindu yang terus menguat,

Semua itu karena kamu.

Sebab kamu yang selalu kurindukan,

Sebab kamu yang selalu kucintai,

Sebab kamu yang membuat rasa itu ada.

Tahukah kamu?

Bahwa senja itu seperti kamu,

Tidak akan pernah bisa aku gapai dengan jemariku,

Tidak bisa aku raih meski oleh jutaan rindu.

Terkadang,

Aku ingin menjadi seperti angin,

Yang dapat membawa puing-puing kenangan,

Yang dapat membawa sejuta asa,

Aku ingin menjadi sejuta cahaya,

Yang bisa membiaskan seluruh keindahanmu,

Yang bisa berwarna jingga di langit sore.

Yang bersinar layaknya senja.

Namun, tentu saja aku tidak bisa,

Aku hanyalah aku,

Yang hanya miliki kenangan sederhana biasa,

Yang kebetulan ada kamu di dalamnya.

11. Aku Adalah Senja

Aku adalah senja,

Bagaikan pemberi bahagia,

Yang selalu akan memberi cinta,

Dan seolah memupuk semua asa.

Pun senja adalah aku,

Hadir diantara banyaknya perbedaan,

Seolah memberikan sebuah peringatan,

Dimana tibanya waktu untuk pergantian.

Di penghujung September kering ini,

Senja akan selalu cerah,

Senja akan memberi cinta,

Tapi tidak bisa memupuk asa.

Semburatnya akan berwarna jingga,

Berkelumat dengan warna hitam,

Membaur menjadi gelap,

Yang lenyap bersama kapas.

Hadirnya dengan tangisan langit,

Bersua dengan keributan,

Bertanya pada senja,

Engkau itu kenapa?

Jingga yang menua,

Pada titik temu dalam pergantian,

Memberi satu suara,

Kini, aku sudah lengah dan lelah.

12. Garis Rindu

Pada cahaya,

Pada seratan purnama atau renjana sekalipun,

Nantinya, kita akan tetap hilang jua.

Meremang pada riak-riak yang petang,

Menjelma menjadi rasa yang kian gamang.

Pada takdir semesta, seringkali aku mengeluh,

Tentang kita yang tidak pernah menjadi utuh.

Tentang segala yang pernah kita upayakan,

Namun, pada akhirnya menjadi kisah-kisah yang kusam.

Bayanganmu masih berpijar bagaikan bianglala,

Memekakkan segala ingatan yang ada di kepala.

Lalu kamu kembali hadir,

Dalam bentuk yang paling dingin.

Serupa angin,

Membuat aksara rindu yang bisa dikumpulkan.

Menjadi berantakan

Lantas, mengapa hilang?

Mengapa tidak bisa bertahan?

Bahkan masa lalumu masih menjadi tanda tanya,

Yang tidak pernah ingin aku ketahui jawabannya.

Diammu seolah menjadi pengingat,

Bahwa kita tidak lagi hangat.

Garis senjamu kini berubah ,menjadi dingin

Sedingin malam pada bulan Desember.

13. Senja yang Kelabu

Sore kembali pulang,

Akan tetapi, keindahan senja terlihat menghilang.

Hanya kelabulah yang kini datang,

Seakan merubah semuanya menjadi warna hitam.

Dan menjadikannya seperti sang malam,

Entah kenapa ia berubah menghilang?

Saat mata ini menunggu untuk datang,

Datang untuk menghiasi soreku dengan keindahannya.

Kecewa, mungkin itulah yang kini sedang kurasakan.

Ketika ia pergi tanpa mengungkapkan sebuah alasan,

Yang meninggalkan kenangan dan harapan.

Hatiku kini hanya bisa terdiam,

Hanya pikiranku yang saat ini terus berjalan.

Berjalan dengan bertemakan banyak pertanyaan,

Pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.

Harapan.

Kini harapanku yang terangkai telah hilang.

Sebab senja pun tidak ada dalam pandangan.

Kini yang tersisa hanyalah cahaya kerinduan,

Yang aku titipkan pada senja kelabu untuk mengganti keindahan.

14. Lenteraku

Piringan matahari hampir lenyap di tepi langit,

Berganti menjadi malam dingin yang menusuk kulit.

Engkau bagaikan senja,

Yang datang sekejap dengan membawa luka.

Katanya engkau hadir bagaikan lentera,

Menjadi penyambung hidupku yang dirundung oleh duka.

Yang melambungkanku di atas mega,

Lalu jatuh bersama rintik air mata.

Tidak sempat aku goreskan tinta,

Tuk menuliskan kisah hidupku yang gelita.

Engkau yang datang lalu hilang entah kemana,

Jauh di dasar sukma yang aku cinta.

Cinta itu yang menenggelamkanku,

Yang menghancurkanku.

Ketika detik-detik aku merasa berbahagia,

Engkau malah meninggalkanku.

Bodohnya aku ini yang dibutakan oleh rasa cinta,

Merelakanmu pergi bersama dia.

Kini aku sendiri,

Di penghujung September ini.

Namun, aku rela melepaskanmu,

Ikhlas akan kepergianmu,

Daripada cintaku nantinya dimadu.

Sendu, merindu.

Pagi ini aku enggan rasanya untuk bangun.

Aku membuka jendela, rintik hujan kian banyak menetes di tepi teras ku.

Aku hanya berharap matahari datang lebih awal,

Untuk menyinari genangan hujan yang masih tersisah.

Merindu,

Sungguh aku rindu.

Hatiku terasa begitu sendu, 

Dengan pemilu yang membelenggu.

Semakin memicu aroma tubuhmu yang ada di pikiranku,

Namun, aku tau itu telah berlalu.

Berlalu dengan menyisakan kisah yang luka.

Membuat cerita di goresan lukanya dengan imajinasi di kisah,

Sungguh, aku rela.

15. Sudut Kenangan

Sesuai dengan judulnya, puisi senja ini membahas tentang momen-momen penuh kenangan. Berikut ini puisinya:

Aku kembali memandang senja,

Setelah sekian lama aku mengurung diri.

Kembali terdiam sambil melamun di depan senja,

Selamat datang kembali senja yang cantik nan indah.

Semoga malam ini diriku akan menjadi lebih baik lagi setelah melihatmu,

Tolong bantu aku untuk menghilangkan kenangan,

Dengan cara menampakkan keindahanmu.

Aku hanya tidak ingin air mata mengalir dengan sia-sia,

Kenangan hanya akan tetap menjadi kenangan.

Namun, janganlah menyudutkan aku dalam sebuah kenangan.

Hingga aku merasa tertimpah lara.

16. Pelabuhan Senja

Deru ombak yang dapat menghantam bebatuan,

Suara angin berbisik memecahkan suasana yang begitu pilu,

Terlebih lagi adanya cahaya indah yang ada di hadapanku.

Ya, itulah yang dinamakan dengan senja.

Senja terlihat begitu hebat,

Sebab mampu menghilangkan rasa gundah di hati.

Aku tak lagi merasa sepi,

Dan merasa terpuruk dalam kesedihan.

Senja sore ini berhasil membuatku tersenyum lagi,

Menghangatkan suasana,

Layaknya seperti berada di dalam dekapan kekasih.

17. Luka

Ini tentang senja yang ke seribu duhai sayang,

Terlihat begitu usang kutanggung dalam penantian.

Diam di sela angin yang membungkam,

Alam mematung sambil menadah hujan.

Luka ini tidak akan bisa sembuh sayang,

Terlalu dalam kau menggoreskan luka di hatiku yang kelam.

Membisu sambil menatap hari yang semakin temaram,

Jingga telah bergeser memeluk malam.

Aku hanya bisa menuliskan aksara yang berisi tentang senja,

Menggumpal dalam kalimat untuk menyapa.

Tentang rindu, cinta, dan air mata,

Di seberang malam agar kau dapat merasakannya.

Entahlah, hingga kapan aku akan bertahan,

Sebab bayanganmu tidak pernah hilang.

Menyapaku dalam heningnya malam,

Lembut, hangat menyatu dalam satu perasaan.

Aku menutup senja yang ada di depan jendela,

Harapanku pudar dalam penantian yang sia-sia.

Bersama malam yang tiba dalam kerudung warna hitam,

Inilah, akhir dari penantian yang ku ucapkan selamat malam.

18. Angin Lalu

Semburat jingga yang terbias dalam langit barat,

Matahari seolah melambai riang sebelum tenggelam.

Malam tiba tanpa perlu membuat sepucuk surat,

Tanpa harus berteriak keras kepada seluruh alam.

Angin bertiup kencang menerpa rambutku,

Berbagai dedaunan lunglai dan dibawa angin,

Menerbangkan puing-puing penuh asa.

Berharap ada kenangan yang ikut terbang jua,

Namun, itu hanya sia-sia saja.

Tiada insan yang kuat menerbangkan rasa ini,

Tiada insan yang mampu menghilangkan kenangan ini.

Mata coklatmu yang terbias oleh mentari,

Bibir tipismu melengkung cemberut tanpa henti.

Harum tubuhmu yang berbaur dengan lembabnya bumi,

Kehangatan yang hanya bisa kukenang hingga kini.

Oh sayang,

Senja tidak lagi indah tanpa adanya hadirmu,

Sore tidak lagi hangat tanpa pelukanmu.

Yang ada hanyalah rasa untuk menyendu,

Kini, hanya sepi yang bisa kunikmati.

Waktu senja untuk menyendiri,

Dan segala kenangan tentang hadirmu,

Kuanggap hanya angin dan senja lalu dari Sukabumi.

19. Senja yang dirindukan

Layung senja telah memunculkan keindahannya,

Kini, langit berubah menjadi warna jingga.

Aku tidak bisa dengan lama memandangnya,

Senja tenggelam dalam banyak kenangan.

Aku berjalan dengan pelan,

Mencoba untuk menyusuri jalanan.

Melewati setiap jejak langkah yang telah dihapus oleh masa,

Kenangan yang sudah usang,

Kini, telah menjadi saksi.

Bahwa semuanya sudah melangkah untuk pergi,

Senyumnya tidak pernah luntur.

Wajahnya pun masih terbayang di benak,

Rangkulan tangannya seolah belum terlepaskan.

Mataku masih tidak mampu untuk membayangkannya,

Bahkan, duniaku masih tidak bisa meyakinkannya.

Padahal itu semua telah hilang,

Dirimu dimana, ini kataku.

Rindu ini telah menjadi jeda,

Ketika kita sudah tidak saling berjumpa.

Kepada angin yang rindu,

Ijinkan aku menitipkannya.

Melalui serangkai doa-doa,

Mampukah ia mendengarnya?

20. Jingganya Senja

Selanjutnya, puisi senja yang berkaitan tentang jati diri dengan sentuhan senja yang memukau. Berikut baitnya:

Ingatkah kau dengan ucapanmu?

Kala itu, saat senja bersama jingganya.

Bersama bait-bait yang begitu indah,

Hingga menjadikannya sebagai sajak yang elok.

Burung-burung pun tidak malu untuk berdiam.

Diam untuk menikmatinya,

Mereka berceloteh bersama kicauan sahabat-sahabat.

Sahabat, di pesanggrahan yang setia,

Kini, angin mulai membelai kulit lembut ini.

Tidak ada satupun yang terdengar,

Tetapi dapat dirasakan.

Bisikan ke dalam perasaan dan jiwa,

Itu adalah saksi jiwa yang sesungguhnya.

Yang bisu enggan untuk berbicara,

Tidak akan bisa dilupakan.

Itu adalah bagian dari kehidupan,

Isi dan irisan dari kisah nyata.

Membuat kokoh dan kuat hidup,

Untuk mengarungi janji-janji yang sudah terlewati.

Namun itu pun telah dilewati,

Kini, aku telah terlahir kembali.

Tidak akan ku bawa sampai mati.

21. Aksara Tentang Senja

Terlihat bias jingga dari ujung cakrawala,

Terukir dengan indah dalam remang.

Lembayungnya yang menata warna,

Pada garis lurus sang surya senja.

Hembusan bayu,

Untuk membelai pucuk riak.

Sambil berkejaran menuju ke pantai.

Menghempaskannya di tepian karang,

Pecah berderai dan menciprak pasir.

Tolong, camar kepakkan sayapmu,

Terbang tinggi dari tiang sampan.

Berteriak memekik di antara embusan angin,

Lalu pergi meninggalkan jejak.

Membuat redupnya lentera bahtera sang nelayan,

Datang menghampiri dengan gelap.

Upaya meninggalkan pesisir pantai,

Berharap agar anugerah akan segera datang.

Sampai menjingga bersamamu,

Berbagai kata yang sulit terucap.

Bibir yang enggan untuk berbicara,

Dan ada rasa yang tidak ingin diam.

Membuat rindu terus menguat, 

Semua itu disebabkan oleh kamu,

Sebab kamu yang kurindu,

Sebab hanya kamu yang kucintai,

Sebab kamu yang membuat rasa itu ada.

Kamu tahu,

Kamu itu serupa senja,

Tidak akan bisa kugapai dengan jemariku,

Tidak bisa diraih oleh jutaan rindu yang ada.

Terkadang,

Aku hanya ingin menjadi angin,

Yang dapat membawa kenangan,

Yang dapat membawa sejuta asa.

Aku ingin jua menjadi sejuta cahaya,

Yang bisa membiaskan segala keindahanmu,

Yang bisa menjingga bersama langit sore,

Yang bisa bersinar layaknya senja.

Semua itu sia-sia,

Sebab aku manusia biasa,

Yang memiliki kenangan sederhana,

Dan kamu sebagai pemeran utamanya.

22. Tolong Aku Senja

Senja, bolehkah aku berbicara denganmu?

Tentang segala kalut yang memenuhi hati dan perasaanku?

Ini bukan lagi tentang berat dalam menjalani hidup,

Namun, ada ruang yang engkau sematkan untukku.

Senja, bahkan aku tidak pernah mendengar kisah lalumu.

Menyeringai dengan pedih tanpa menyisakan kesedihan.

Hadirmu selalu disukai oleh mereka,

Yang menyukai redupnya langit sore dan malam.

Hadirmu akan selalu dinanti oleh mereka,

Hingga mereka rela mendaki bukit,

Agar mendapatkan salam dari keindahanmu.

Senja, aku hanya ingin disapa olehmu.

Tanpa harus kesulitan dalam mengejarmu.

Atau mungkin hanya pejuang senja,

Yang akan mendapatkan sapaanmu.

Mengapa aku tidak berjuang untuk mengejar keindahanmu?

Aku tahu semua tentangmu, 

Membawa berbagai keindahan,

Namun, kau terus meninggalkanku dalam malam yang gelap.

Senja, tolonglah beritahu aku.

Apa saja yang ada di dunia ini,

Yang tidak akan pernah berpisah,

Dan takkan pernah meninggalkan luka?

Senja, kau telah mengajariku tentang keindahan tak selamanya terus bersama.

23. Keindahan Senja

Jejak-jejak kaki berjalan dengan elok,

Menampakkan betapa dalamnya hati,

Yang selalu membayangkan angan,

Pada setiap lamunan dalam halusinasi.

Saat itu senja tiba,

Menorehkan pena di atas secarik kertas,

Menuangkan berbagai kata imajinasi,

Dari cinta hingga rindu, bercampur menjadi satu jiwa,

Cakrawala senja sungguhlah mempesona.

Terlihat begitu indah dengan sinar jingganya,

Membuat silau akan gairah hasrat,

Untuk melihat betapa indahnya sinar senja.

Mana Puisi Senja yang Menjadi Paling Menarik?

Dalam mencurahkan perasaan, ada banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan membuat puisi. Karya sastra puisi menawarkan campuran diksi yang dapat mencerminkan diri. Dari contoh puisi senja di atas, manakah puisi favorit Anda?

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page