Tak hanya sarat akan makna, tradisi dan upacara adat Jawa Tengah juga kental dengan nuansa budaya. Meski zaman telah modern, ritual sakral dari Jawa Tengah tersebut masih berdiri dengan kokoh serta menjadi penanda identitas dan kekayaan peninggalan budaya.
Sebagai bentuk kesenian, ritual adat ini adalah warisan turun temurun yang dilakukan berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat. Tujuan dari setiap upacara pun berbeda-beda, tergantung dari konteks peristiwa. Ada yang diadakan untuk pernikahan dan kelahiran, ada pula yang berperan dalam mengenang kematian seseorang.
Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai tradisi dan ritual adat Jawa Tengah yang keberadaannya masih eksis hingga kini. Harapannya, kamu dapat menumbuhkan sikap apresiasi dan toleransi yang tinggi terhadap kearifan lokal yang ada. Yuk, simak artikel ini hingga akhir!
Daftar ISI
Daftar Tradisi dan Upacara Adat Jawa Tengah yang Tetap Eksis Hingga Kini
Berikut ini adalah 10 tradisi dan ritual adat Jawa Tengah yang perlu kamu ketahui:
1. Upacara Adat Jawa Tengah Tingkeban
Merupakan ritual terakhir sebelum kelahiran, Tingkeban adalah upacara adat Jawa Tengah yang berperan untuk memperingati 7 bulan kehamilan. Hakikat dari Tingkeban yaitu menolak bala serta mendoakan ibu dan calon bayi, supaya sehat dan selamat hingga hari kelahiran tiba.
Tak hanya mengandung makna solidaritas primordian yang berkaitan dengan adat istiadat yang sudah turun menurun, Tingkeban juga berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan rasa kecemasan seorang ibu pada masa kandungan.
Meski pelaksanaan Tingkeban saat kehamilan baru memasuki usia tujuh bulan, namun waktu ritual adat Jawa Tengah ini harus berdasarkan hari baik yang sesuai dengan ketentuan masyarakat Jawa.
Adapun, rangkaian pertama dari Tingkeban yaitu dengan siraman atau mandi, yang merupakan simbol penyucian jiwa dan raga.
Pada saat memandikan, akan ada acara pengguyuran yang harus tujuh orang tua atau sesepuh dari pihak keluarga lakukan. Langkah selanjutnya, yakni pembacaan doa yang bisa memberikan keberkahan pada sang jabang bayi.
2. Upacara Adat Jawa Tengah Wetonan
Memiliki nama lain Wedalan, upacara adat Jawa Tengah ini merupakan bentuk perayaan untuk memperingati hari kelahiran seseorang yang sesuai dengan pasaran dalam kalender Jawa.
Sementara makna dari upacara Wetonan, yaitu untuk mendoakan bayi supaya terhindar dari marabahaya serta memperoleh umur panjang dan keberkahan.
Pelaksanaan upacara Wetonan ini, yaitu tepatnya ketika bayi telah menginjak usia 35 hari. Nantinya, pada hari Weton, keluarga bayi akan menyiapkan berbagai macam suguhan sebagai ungkapan rasa syukur dengan mengadakan upacara Nyelapani.
Istilah Nyelapani sendiri berasal dari kata dasar selapan yang artinya sama dengan satu bulan dalam perhitungan Jawa (selapan = 35 hari). Adapun, perhitungan tersebut berdasarkan kombinasi penanggalan Masehi dengan perhitungan hari di penanggalan Jawa.
Adanya gabungan perhitungan Jawa nantinya akan menghasilkan penyebutan hari yang khas, seperti Senin Pon, Selasa Wage, Rabu Kliwon, Kamis Legi, dan lain sebagainya. Selanjutnya, upacara Wetonan dalam masyarakat Jawa ini berlaku setiap 35 hari sekali.
3. Upacara Tedak Siten
Dalam tradisi Jawa, orang tua melakukan ritual Tedak Siten saat bayi telah mencapai usia tujuh atau delapan bulan. Upacara adat Jawa Tengah ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi, tempat anak mulai belajar menginjakkan kaki di tanah.
Selain menggambarkan doa dan harapan orang tua kepada buah hati tercinta, Tedak Siten juga bermakna sebagai wujud rasa syukur atas karunia Tuhan yang telah memberikan keturunan istimewa. Tak hanya itu, Tedak Siten juga mengilustrasikan kesiapan dari sang anak dalam menghadapi masa depan yang sukses.
Lebih lanjut, penyelenggaran ritual sakral tersebut umumnya pada pagi hari, berdasarkan tanggal dan hari kelahiran anak.
Pada prosesnya, Tedak Siten menggunakan persembahan yang melambangkan doa kepada Tuhan. Harapannya, untuk menjadikan putra atau putri mereka sebagai anak yang kelak berguna bagi siapapun.
4. Upacara Ruwatan
Identik dengan ritual penyucian, Ruwatan adalah upacara adat Jawa Tengah yang tetap dilakukan oleh sebagian masyarakat suku Jawa dan Bali. Dalam bahasa Jawa, istilah ruwat mempunyai arti yang sama dengan kata luwar atau melepaskan.
Karena berasal dari cerita pewayangan, masyarakat percaya bahwa penyelenggaraan upacara Ruwatan berfungsi untuk mengusir hawa jahat dari buto ijo. Kemudian, selain meminta keselamatan, makna dari Ruwatan yaitu sebagai sarana pembebasan seseorang dari jeratan hukuman atau kutukan yang membawa sial.
5. Upacara Adat Jawa Tengah Nyadran
Tahukah kamu? Ada begitu banyak upacara adat Jawa Tengah pada bulan suci Ramadhan. Nyadran atau Sadranan merupakan salah satu upacara adat yang tercipta dari proses akulturasi antara budaya Jawa dengan agama Islam.
Tak hanya menghormati leluhur, pelaksanaan Nyadran berguna sebagai upaya pelestarian tradisi yang turun menurun. Maka tak heran, beberapa perantau sengaja melakukan mudik untuk tetap bisa mengikuti upacara ini.
Sebagai informasi, masing-masing wilayah di Jawa mempunyai ciri khas tersendiri dalam penyelenggaraan upacara Sadranan. Umumnya, masyarakat melakukan upacara adat Jawa Tengah ini pada bulan Syaāban atau Ruwah, dengan mengunjungi makam leluhur dan keluarga secara kolektif.
Tujuannya tidak lain untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggalkan dunia terlebih dahulu, sekaligus mengingatkan manusia tentang kematian yang begitu nyata. Menariknya, terdapat kegiatan kenduri, yang mana masyarakat membawa berbagai makanan tradisional, seperti apem, kolak, dan ketan.
6. Tradisi Syawalan
Bagi masyarakat Jawa Tengah, Syawalan merupakan tradisi yang umum dilakukan selama tujuh hari usai perayaan hari raya Idul Fitri. Masyarakat setempat menjuluki upacara adat Jawa Tengah ini dengan nama tradisi Lebaran Ketupat. Hal tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya mayoritas hidangan yang tersaji saat lebaran adalah ketupat.
Selain itu, tradisi Syawalan mempunyai makna sebagai pertemuan dalam menjalin silaturahmi antar umat manusia yang berisi ikrar saling memaafkan antara beberapa pihak.
Pada prosesnya, masyarakat akan melakukan kegiatan halal bi halal dengan mendatangi rumah orang yang mereka kenal untuk meminta maaf dan saling memaafkan.
Di Jawa Tengah sendiri, ada dua acara Syawalan Keraton yang cukup populer, yaitu Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo.
Meski sama-sama sebagai perwujudan rasa syukur, namun terdapat perbedaan diantara keduanya. Karena Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta memiliki tujuh gunungan. Sementara itu, Grebeg Syawal Keraton Solo hanya mempunyai dua jenis gunungan sajaĀ
Baca Juga : 5 Macam Rumah Adat Jawa Tengah Paling Unik dan Ciri Khasnya
7. Tradisi Merti Desa
Kerap disebut bersih desa, Merti Desa atau Merti Dusun merupakan upacara adat Jawa Tengah yang bermakna rasa syukur yang mendalam terhadap karunia Tuhan. Karunia tersebut berupa rejeki melimpah yang meliputi panen, keselamatan, ketentraman, dan keselarasan hidup yang masyarakat peroleh sepanjang tahun.
Usut punya usut, banyak desa di wilayah Jawa yang masih menerapkan tradisi Merti Dusun sesudah panen raya dengan baik. Meski begitu, waktu pelaksanaan dari Merti Desa juga bisa berdasarkan penanggalan bulan Sapar, Dzulkaidah, dan hari pasaran Jawa yang lainnya.
Untuk mewujudkannya, warga secara gotong royong melakukan bersih-bersih lingkungan desa serta membuat kenduri sembari berdoa mengucap syukur kepada sang Pencipta. Kendati demikan, Merti Desa tidak mempunyai tanggal dan bulan yang pasti, karena adanya perbedaan regulasi di setiap tahun.
8. Tradisi Larung Sesaji
Menjadi tradisi yang masih membudaya hingga sekarang, Larung Sesaji merupakan upacara adat Jawa Tengah yang sarat akan mitos dan magic. Masyarakat memaknai Larung Sesaji untuk mengucap syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas keselamatan dan segala nikmat rezeki yang melimpah ruah.
Tradisi Larung Sesaji juga bermakna sebagai tindakan religi dengan paham animisme dan dinamisme yang kuat. Di beberapa daerah, tradisi ini diadakan setiap tahun oleh masyarakat pesisir pantai.
Biasanya, masyarakat akan menghanyutkan beberapa bahan makanan yang berupa hasil panen dan hewan sembelihan ke lautan dengan menggunakan perahu.
Meski terdapat beberapa perbedaan pada penggelaran ritual sakral ini, akan tetapi setiap daerah sama-sama memiliki tujuan yang serupa, yaitu untuk melestarikan nilai-nilai leluhur budaya bangsa.
9. Upacara Brobosan
Berbeda dengan upacara adat Jawa Tengah yang lainnya, Brobosan adalah salah satu rangkaian ritual kematian. Dalam arti yang lebih luas, Brobosan merupakan tradisi penghormatan terakhir kepada jenazah sebelum melepaskannya ke keabadian. Tidak hanya sebatas jenazah, tetapi juga kepada leluhur yang telah meninggal lebih dulu.
Pada praktiknya, keluarga terdekat harus menerobos melewati bawah peti jenazah yang tengah diangkat tinggi-tinggi. Mulai dari sebelah kanan, kiri, depan, hingga kembali ke sebelah kanan. Kemudian, para kerabat yang lain akan membantu menyiapkan ubo rampe atau sesajen.
Setelah ubo rampe sudah siap, akan ada sesi pidato dari pihak keluarga yang berisi permohonan maaf mewakili seseorang yang meninggal. Lalu, pidato diakhiri dengan doa dan Brobosan. Adapun, tujuan dari Brobosan yaitu supaya anggota keluarga yang ditinggalkan dapat melupakan kesedihan yang mendalam.
10. Tradisi Mendak Kematian
Secara harfiah, Mendak Kematian merupakan acara memperingati kematian setelah satu tahun. Upacara adat Jawa Tengah ini bermula dari rangkaian mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus dina (seratus hari), dan mendak pertama (satu tahun).
Salah satu elemen penting dari Mendak Kematian yaitu proses penyiraman atau pembersihan makam yang melibatkan air, bunga, dan berbagai simbol keagamaan.Ā Tujuannya, untuk menunjukkan penghormatan, kesedihan, dan harapan untuk roh almarhum atau almarhumah.Ā
Baca Juga : 7 Upacara Adat Jawa Barat, Fungsi dan Pelaksanaannya
Sudah Tahu Tentang Tradisi dan Upacara Adat Jawa Tengah?
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, tradisi dan upacara adat Jawa Tengah, mulai dari Tingkeban sampai Mendak Kematian memang penting untuk dilakukan.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya ritual adat Jawa Tengah berperan sebagai penggerak dalam kehidupan sosial suatu masyarakat dan berguna bagi kemaslahatan masyarakat itu sendiri.
Kehadiran ritual adat dan tradisi tak hanya sebagai momentum perayaan peristiwa vital saja, melainkan juga dapat menjadi destinasi unggulan bagi para wisatawan yang ingin merasakan pengalaman spiritual dan budaya yang otentik secara langsung.
Maka dari itu, generasi penerus harus senantiasa melakukan pelestarian ritual adat nenek moyang yang berkelanjutan, supaya kearifan lokal tersebut tetap terjaga dan tidak mudah tergerus oleh arus modernisasi.