Terletak di Kampung Mateseh, terdapat peninggalan sejarah yang menjadi saksi keberadaan Mataram sekaligus asal mula peringatan hari jadi Kota Magelang, yaitu Prasasti Mantyasih.
Prasasti ini ada saat masa pemerintahan Raja Dyah Balitung, ketika masa jayanya pada tahun 899-911 M. Oleh karena itu, prasasti ini juga disebut sebagai Prasasti Balitung. Penasaran dengan isi Prasasti Mantyasih yang menjadi bukti keberadaan Kerajaan Mataram? Simak artikel ini!
Daftar ISI
Sejarah Singkat
Prasasti Mantyasih adalah peninggalan Mataram Kuno berangka tahun 907 M. Peninggalan ini menjadi bukti paling penting dalam rekonstruksi histori pada Kerajaan Mataram Kuno sejak kekuasaan Sanjaya hingga Balitung.
Menurut cerita, Raja Balitung merupakan raja ternama dan termasyur se-Mataram kala itu. Hal tersebut terbukti dari kebijakannya yang memakmurkan rakyatnya. Selain itu, wilayah kekuasaannya juga luas dan sangat subur. Wilayahnya membentang ke berbagai daerah yang meliputi lembah dan sungai di area gunung berapi yang berada di tengah hingga timur Pulau Jawa.
Namun, meski terkenal sebagai raja yang bijak, tidak membuat posisinya sebagai penerus tahta Kerajaan Mataram yang sah. Jika ditelusuri dari silsilah Kerajaan Mataram, Raja Balitung adalah rakai dari Watukura yang bergelar haji — raja bawahan. Lalu, ia akhirnya menikah dengan putri raja dari Rakai Watuhumalang.
Dari pernikahannya, Raja Balitung sebenarnya bisa mendapat tahta sah. Namun untuk memperkuat kedudukannya, akhirnya raja memutuskan untuk dibuatkan Prasasti Mantyasih.
Isi Prasasti Mantyasih dan Terjemahannya
Fisiknya pertama kali ditemukan di Kedu, Jawa Tengah, terdiri dari 2 lempengan tembaga yang ditulis menggunakan aksara Jawa. Isi dari prasasti ini mengandung banyak aspek yang menjelaskan kegiatan politik dan keamanan lingkungan yang terjadi pada masa Raja Balitung.
Inilah isi Prasasti Mantyasih:
- // o // swasti śakawarṣātīta 829 caitra māsa. tithi ekādaśi kṛṣṇapakṣa. tu. u. śa. wāra. purwwabhadrawāda nakṣatra. ajamāda dewatā. indra yoga. tatkāla ājña śrī mahārāja rakai watukura dyaḥ balituŋ śrī dha
- [r]mmodaya mahāsambhu. umiŋsor i rakarayān mapatiḥ i hino. halu. sirikan. wka. halaran. tiruan. palarhyaŋ. maŋhuri. wadihati. makudur. kumonnakan nikanaŋ wanua i mantyāsiḥ winiḥ ni sawaḥnya satu. muaŋ a
- lasnya i muṇḍuan. i kayu pañjaŋ. muaŋ pomahan iŋ kuniŋ wanua kagunturan pasawahanya ri wunut kwaiḥ ni winiḥnya satu hamat 18 hop sawaḥ kanayakān. muaŋ alasnya i susuṇḍara. i wukir sumwiŋ. kapua wa
- tak patapān. sinusuk sīmā kapatihana. paknānya pagantyagantyana nikanaŋ patiḥ mantyāsiḥ sānak lawasnya tluŋ tahun sowaŋ. kwaiḥ nikanaŋ patiḥ sapuṇḍuḥ pu sna rama ni ananta. Pu kolā rama ni diṇī. pu puñjěŋ
- rama ni udal. pu karā rama ni labdha. pu sudraka rama ni kayut piṇḍa prāṇa 5 maṅkana kwaiḥ nikanaŋ patiḥ inanugrahān muaŋ kinon ta ya matuta sānak // samwandhanyan inanugrahān saŋkā yan makwaiḥ buatthaji
- iniwönnya i śrī mahārāja. kāla ni waraṅan haji. lain saṅke kapujān bhaṭāra i malaŋkuśeśwara. iŋ puteśwara. i kutusan. i śilābhedeśwara. i tuleśwara. iŋ pratiwarṣa. muaŋ saŋka yaŋ antarālika kataku
- tan ikanaŋ wanua iŋ kuniŋ. sinarabhārānta ikanaŋ patiḥ rumakṣā ikanaŋ hawān. nahan mataunyan inanugrahān nikanaŋ wanua kālih irikanaŋ patiḥ …
Terjemahan Isi Prasasti Mantyasih
Berikut terjemahannya:
- // o // Selamat tahun saka yang telah berlalu 829 tahun hari Sabtu Legi, paringkelan Tunglai, tanggal 11 paro gelap bulan Caitra, Naksatranya Purwwabhadrawada, dewatanya Ajapada, Yoganya Indra, ketika perintah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dha-
- rmmodaya Mahasambhu, turun kepada Rakryan Mahapatih i Hino, Halu, Sirikan, Wka, Halaran, Tiruan. Palarhyang, Manghuri, Wadihati, Makudur, yang memerintahkan agar desa di Mantyasih yang benih sawahnya sebanyak tu, dan
- hutannya di Munduan, di Kayu Pañjaŋ, dan di perumahannya di Kuniŋ Desa Kagunturan, persawahannya di Wunut yang benihnya sebanyak satu tu, 18 hamat termasuk sawah milik Nayaka, serta hutannya di Gunung Sindoro, di Gunung Sumbing semuanya masuk wilayah
- Patapān, dibatasi menjadi simābagi para Patih, dimaksudkan untuk digunakan bergantian oleh Patih di Mantyāsih dan keluarganya masing-masing tiga tahun lamanya. Banyaknya Patih yang berkaitan yaitu Pu Sna rama/bapak (kepala desa) dari Ananta, Pu Kolā bapak dari Dini, Pu Puñjěŋ
- rama dari Udal, Pu Karā rama dari Labdha, Pu Sudraka rama dari Kayut jumlahnya 5 orang, demikianlah banyaknya Patih yang dianugerahi dan disuruhlah ia menyertakan keluarganya. Alasannya dianugerahi karena mereka banyak melakukan buatthaji
- sebagai kecintaan kepada Śrī Mahārāja ketika pesta pernikahan raja, selain itu juga melakukan pemujaan kepada Bhatāra di Malaŋkuśeśwara, di Puteśwara, di Kutusan, di Śilābhedeśwara, di Tuleśwara, setiap tahun dan karena ada perubahan menjadi rasa ketakutan penduduk desa
- di Desa Kuniŋ, Patih itu dipercayai menjaga jalan, itulah sebabnya kedua desa tersebut dianugerahkan kepada Patih.
Penafsiran Isi Prasasti Mantyasih
Menurut sejarah, isi dari Prasasti Mantyasih yakni memuat daftar nama-nama raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram. Prasasti ini dibuat dengan maksud melegalkan Raja Balitung sebagai pewaris tahta yang sah. Hal ini tertuang dalam isi prasasti yang hanya menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh.
Daftar sembilan nama raja dalam Prasasti Mantyasih, mulai dari masa Sanjaya hingga Dyah Balitung adalah sebagai berikut:
- Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
- Sri Maharaja Rakai Panangkaran
- Sri Maharaja Rakai Panunggalan
- Sri Maharaja Rakai Warak
- Sri Maharaja Rakai Garung
- Sri Maharaja Rakai Pikatan
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
- Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
- Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung
Selain itu, dalam Prasasti Mantyasih juga tercantum pernyataan yang menetapkan bahwa desa Mantyasih sebagai desa sima — wilayah bebas pajak. Hingga saat ini, di kampung Mateseh terdapat sebuah lumpang batu yang menjadi tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan.
Tak hanya menjadi bukti keberadaan Kerajaan Mataram, pada Prasasti Mantyasih tertera pula eksistensi Gunung Susundara dan Wukir Sumbing yang sekarang adalah Gunung Sindoro dan Sumbing.
Isi Prasasti tentang Pesta Pernikahan sebagai Legitimasi
Pada penjelasan sebelumnya, Raja Balitung bisa menjadi pewaris tahta sebab Ia menikahi putri dari raja sebelumnya. Hal ini tertulis dalam prasasti, ada lima patih yang mendapat penghargaan karena membantu proses pernikahan raja.
Tertulis dalam baris 5 dan 6 prasasti mantyasih yang berbunyi:
“samwandhanyan inanugrahān saŋkā yan makwaiḥ buatthaji iniwönnya i śrī mahārāja. kāla ni waraṅan haji”
Artinya:
“Alasan mereka dianugerahi karena mereka banyak melakukan titah raja (buatthaji) untuk raja sebagai kecintaan kepada Sri Maharaja ketika diadakan pesta pernikahaan raja (waraṅan haji)”.
Pesta ini penting sebab merupakan pernikahan antara Raja Balitung dengan putri dari Raja Watuhumalang. Sehingga para patih yang andil mendapat anugerah dari Sri Maharaja.
Tentunya berlangsungnya pernikahan tersebut sebagai upaya Raja Balitung untuk mendapat pengakuan tidak hanya dari pihak kerajaan, namun juga seluruh rakyat. Dengan begitu, Raja Balitung bisa dipandang sah atas tahta Kerajaan Mataram karena sudah menjadi bagian dari keluarga Raja Watuhumalang.
Baca Juga: Prasasti Adalah: Pengertian, Sejarah, Fungsi, dan Contohnya
Sudah Tahu Isi dan Tafsiran Prasasti Mantyasih?
Ternyata munculnya Prasasti Mantyasih menguak banyak fakta menarik mengenai keberadaan Kerajaan Mataram. Selain itu, isi dari prasasti ini juga menjelaskan kegiatan politik dan keamanan lingkungan yang terjadi pada masa Raja Balitung. Setelah membaca artikel di atas, masih ingat aspek apa lagi yang dijelaskan dalam prasasti tersebut?