Membebaskan Hutang dengan Niat Menjadi Zakat, Apakah Boleh?

Dalam praktek zakat, seringkali muncul pertanyaan mengenai membebaskan hutang dengan niat menjadi zakat. Lantas, apakah boleh hal tersebut kita lakukan? Terlebih, jika yang berhutang sulit untuk dihubungi atau membayar.

Tentunya, hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam terkait hutang dan zakat agar kita tidak salah.

Artikel ini akan menjelaskan perspektif agama terkait dengan membebaskan hutang dengan niat menjadikannya sebagai zakat.

Artian Hutang dan Zakat dalam Islam

Konsep hutang dan zakat memiliki peran penting dalam membentuk prinsip keadilan sosial dan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Namun, kedua konsep ini jelas memiliki perbedaan yang mendasar dari segi pengertian hingga makna-nya.

1. Hutang

Arti hutang dalam Islam memiliki makna sebagai kewajiban pembayaran yang diambil oleh seseorang dari pihak lain, baik dalam bentuk uang atau barang. Pandangan ini sebagai tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan itikad baik.

Dalam bahasa Arab, istilah untuk hutang adalah “Al-Qardh” yang secara etimologi bermakna memotong. Secara syari, hutang mengacu pada pemberian harta dengan dasar kasih sayang kepada orang yang membutuhkan.

Dengan harapan bahwa harta tersebut akan dimanfaatkan dengan benar dan akan dikembalikan kepada pemberi. Oleh karena itu, konsep ini juga dapat disebut sebagai pinjaman dalam prinsip-prinsip Islam.

Terdapat firman Allah SWT yang menjelaskan bahwa orang yang berhutang berada dalam kesukaran. Hal ini sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an di Surah Al-Baqarah ayat 280 dengan bunyi:

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Wa ing kāna żụ ‘usratin fa naẓiratun ilā maisarah, wa an taṣaddaqụ khairul lakum ing kuntum ta’lamụn.

Artinya:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

2. Zakat

Zakat adalah kewajiban membayar sebagian kekayaan yang dimiliki oleh umat Islam kepada golongan yang berhak menerimanya, seperti fakir, miskin, dan lain sebagainya.

Zakat diwajibkan untuk menciptakan keadilan sosial dan saling tolong-menolong di antara anggota masyarakat. Bagi kita yang mampu atau berkecukupan, maka wajib untuk membayar zakat:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Wa aqīmuṣ-ṣalāta wa ātuz-zakāta warka’ụ ma’ar-rāki’īn.

Artinya:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS. Al-Baqarah: 43).

Zakat berasal dari bahasa Arab yang berarti menyucikan, merujuk pada bentuk sedekah yang ditujukan kepada umat Islam. Dalam konteks Islam, zakat dianggap sebagai suatu kewajiban.

Dalam rangkaian rukun Islam, pembayaran zakat menduduki posisi ketiga, segera setelah pelaksanaan sholat. Meskipun diwajibkan bagi umat Islam, tidak semua individu mampu atau diwajibkan untuk membayar zakat.

Membebaskan Hutang dengan Niat Menjadi Zakat

Setelah mengetahui artian dari hutang dan zakat, tentunya sekarang kita tahu bahwa keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas. Hal ini juga sangat bertentangan dimana membebaskan hutang dengan niat menjadi zakat.

Menurut mayoritas para ulama, menjelaskan bahwa membebaskan hutang dengan niat sebagai membayar zakat, tentunya tidak diperbolehkan. Meskipun, seseorang yang berhutang sudah meninggal dunia atau masih hidup.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (6:210) berkata, “Jika seseorang atau individu memiliki piutang pada seseorang dan orang tersebut sulit dalam melunasi hutang.

Lantas dia ingin jadikan piutang tersebut lunas dari zakat yang harus dikeluarkan. Terdapat dua pendapat dalam hal ini, yaitu:

  • Menurut pendapat madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad, hal ini tidak sah. Karena zakat masih ada dalam genggaman dari pemberi pinjaman. Zakat tersebut barulah dianggap dikeluarkan jika ada qabdh atau mengambil dan menyerahkan kembali.
  • Sementara, pendapat dari Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha’ menyatakan bahwa ini sah.

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily mengatakan dalam bukunya yang berjudul Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii (2:115) menjelaskan hal tersebut:

“Jika seseorang memiiki piutang pada orang yang susah melunasinya, ia ingin jadikan zakatnya untuk membebaskannya, ia mengatakan, utangmu sudah bebas dengan zakatku, seperti itu tidaklah sah. Karena orang yang punya kewajiban mengeluarkan zakat masih memegang zakat tersebut. Zakat itu dianggap ditunaikan jika ada qabdh (pengambilan dan penyerahan). Akan tetapi, boleh saja pihak yang berhutang (debitur) mengatakan pada pemberi pinjaman (kreditur), “Serahkan zakatmu, biar saya bisa melunasi hutang padamu.” Jika seperti itu, penunaian zakatnya sah karena sudah ada qabdh. Dalam hal ini, orang yang berhutang (debitur) tidak bisa memaksa penyerahan zakat tadi padanya agar ia bisa melunasi utang (pada kreditur). Jika pihak kreditur akhirnya menyerahkan zakatnya, dianggap sah. Seandainya pemilik harta mengatakan kepada yang berhutang, “Lunasi hutangmu, biar aku bisa membayar zakat kepadamu.” Lantas pihak debitur melunasi hutangnya, utang itu dianggap lunas. Namun, hal ini bukan jadi paksaan.”

Dalil Menyatakan Tidak Diperbolehkan

Para mayoritas ulama bersepakat bahwa membebaskan hutang dengan niat menjadi zakat tidak sah atau tidak diperbolehkan. Hal ini tentunya sesuai dengan dalil yang Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغْمِضُوا۟ فِيهِ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ

Yā ayyuhallażīna āmanū anfiqụ min ṭayyibāti mā kasabtum wa mimmā akhrajnā lakum minal-arḍ, wa lā tayammamul-khabīṡa min-hu tunfiqụna wa lastum bi`ākhiżīhi illā an tugmiḍụ fīh, wa’lamū annallāha ganiyyun ḥamīd.

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah: 267).

Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Menganggap lunas piutang yang ada pada orang yang susah sebagai zakat berarti mengeluarkan sesuatu yang rendah dari yang dimiliki, itu sama dengan mengeluarkan sesuatu yang khabits (buruk), sehingga hukumnya tidaklah boleh.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:84).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau menasihatinya di antaranya:

فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Artinya:

“Jika mereka telah menaati dalam hal itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dari harta mereka, yakni diambil dari harta orang kaya di antara mereka dan disalurkan pada orang fakir di antara mereka.” (HR. Bukhari, No. 7372)

Rasulullah menjelaskan bahwa zakat itu diambil dan diserahkan. Disimpulkan berarti tidak boleh membebaskan utang yang dia wajib bayarkan dengan niat menjadi zakat. Karena membebaskan hutang tidak ada mengambil dan menyerahkan.

Menurut mayoritas ulama membebaskan hutang dengan niat menjadi zakat tentunya hal yang tidak diperbolehkan. Hal ini karena dalam Islam hutang dan zakat merupakan sesuatu makna dengan tujuan yang berbeda.

Share:

Reskia pernah menjabat sebagai Sekretaris Divisi Media Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Sumbagsel tahun 2020. Ia senang berbagi pengetahuan yang ia peroleh. Because sharing is caring.

Leave a Comment