Begitu indahnya Islam sudah mengatur segala hal dalam kehidupan termasuk berpuasa. Ada beberapa golongan tertentu yang tidak diperbolehkannya puasa sebab terdapat kesulitan. Lalu, bagaimana hukum puasa bagi ibu hamil?
Apakah ibu hamil termasuk dalam golongan tertentu tersebut?
Sederhananya, hukum puasa bagi ibu hamil yaitu diperbolehkannya tidak puasa. Akan tetapi, di lain waktu harus mengganti ataupun membayar fidyah.
Daftar ISI
Bagaimana Hukum Puasa bagi Ibu Hamil?
Melanjutkan dari pertanyaan sebelumnya yaitu hukum puasa bagi ibu hamil.
Kitab-kitab fiqih menyebutkan bahwa ibu hamil disebut dengan “Khouful Hamil wal Murdi al-Darar min al-Shiyam” yang artinya kekhawatiran ibu hamil dan menyusui ketika puasa.
Dengan begitu, ada beberapa pendapat yang berbeda dari para ulama untuk menjelaskan masalah hukum puasa bagi ibu hamil yaitu:
1. Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’I menjelaskan bahwa hukum puasa bagi ibu hamil atau menyusui yang khawatir terhadap dirinya, anaknya dan keduanya boleh tidak berpuasa. Dan sebagai gantinya ibu hamil tersebut harus mengganti dengan puasa di hari lain.
Penggantian puasa atau qadha tanpa fidyah. Namun, khusus untuk ibu hamil yang khawatir terhadap anaknya saja. Maka, perlu mengganti puasanya dan membayar fidyah.
2. Madzhab Maliki
Selanjutnya madzhab Maliki menyebutkan bahwa hukum puasa bagi ibu hamil yang khawatir sakit atau terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya, khawatir pada kandungannya, dan keduanya, maka boleh tidak berpuasa.
Dan untuk gantinya ibu hamil tersebut harus mengqadha puasa tanpa fidyah. Berbeda haknya ibu menyusui, maka harus membayar fidyah juga. Sebab ada kekhawatiran pada anaknya.
Baca juga: Rahasia! Ini 4 Doa Meluluhkan Hati Suami yang Ampuh
3. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali juga menjelaskan bahwa hukum puasa bagi ibu hamil dan menyusui yang khawatir terhadap dirinya, anaknya, dan keduanya, maka ibu hamil tersebut harus mengqadha puasa di hari lain tanpa membayar fidyah.
Namun, berbeda cerita jika ibu hamil atau menyusui tersebut khawatir terhadap anaknya saja. Maka, ibu hamil atau menyusui harus mengganti dengan puasa di hari lain sekaligus membayar fidyah.
4. Mazhab Hanafi
Madzhab Hanafi menerangkan bahwa hukum puasa bagi ibu hamil atau menyusui yaitu boleh tidak berpuasa. Tentunya hal itu dalam kondisi ibu hamil atau menyusui yang khawatir terhadap dirinya, bayi, dan keduanya.
Maka, ibu hamil atau menyusui tersebut wajib mengqadha puasa pada hari lain tanpa harus puasa sambung menyambung. Selain itu, juga tidak perlu membayar fidyah sebagai gantinya.
Sehingga, secara keseluruhan hukum puasa bagi ibu hamil yaitu diperbolehkannya tidak berpuasa. Selama ibu hamil tersebut merasa takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya.
Hal itu juga sudah disepakati oleh para ulama yang pengambilannya dari salah satu dalil Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Innallaha azha wajalla wadhola anilmusafirisholati waanilmusafiri walkhamili walmudhiishoma wishiyatu
Artinya:
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil, dan ibu menyusui. (HR. Ahmad Syaikh syu’aib Al Arnauth).
Baca juga: Doa Nabi Zakaria Meminta Keturunan yang Sholeh dalam Al Quran
Pendapat Ulama tentang Tetap Ada Qadha Puasa Bagi Ibu Hamil
Selain dari paparan di atas, ada banyak pendapat ulama lain yang mengatakan bahwa hukum puasa bagi ibu hamil yaitu diperbolehkan tidak puasa asal tetap mengganti dengan puasa di hari lain.
Asy Syairozi yang merupakan ulama Syafi’i beliau berkata, “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha tanpa kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha namun dalam hal kafarah ada tiga pendapat.” (Al Majmu, 6:177).
Imam Nawawi juga memberikan pendapatnya yaitu, “Wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha. Tidak ada fidyah ketika itu seperti halnya orang yang sakit. Permasalahan ini tidak ada perselisihan diantara para ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat berpuasa, bukan pada kondisi dirinya, maka boleh tidak puasa, namun tetap ada qadha. Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah diwajibkan menurut Madzhab Syafi’i.”
Dalil-dalil Keringanan Puasa bagi Ibu Hamil
Seperti halnya pada kondisi lain yang termasuk rukhshah, hukum puasa bagi ibu hamil pun juga diberikan keringan untuk boleh tidak menunaikan puasa. Sebab ibu hamil mempunyai uzur sya’ro atau halangan tertentu.
Dengan kata lain, ibu hamil boleh meninggalkan puasanya sebab khawatir terhadap kesehatan diri dan bayinya. Dan itu termasuk dalam keringanan yang Allah SWT beri kepada ibu hamil atau menyusui.
Adapun beberapa dalil yang menjelaskan keringan puasa bagi ibu hamil, tentunya dalil ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah azza wa jlla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, perempuan hamil, dan perempuan menyusui.” (HR. Ahmad)
Selain itu, dalam Al-Qu’ran pun juga disebutkan yaitu:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Syahru ramadanal lazi unzila fihil qur-anu lin-nasi wa bayyinatim minal huda wal-furqan, faman syahida minkumusy syahra falyasumh wa man kana maridan au ‘ala safari fa ‘iddatum min ayyamin ukha, yuridullahu bikumul ‘usr, wa litukmilul ‘iddata wa litukabbarullaha ala ma hadakum wa la’allakum tasykurun.
Artinya:
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantikannya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah ayat 185).
Dalam surat Al-Baqarah tersebut menunjukkan bahwa kasih sayang yang diberikan kepada Allah SWT sangatlah luas dan berlimpah. Walaupun puasa pada bulan Ramadhan bersifat wajib, akan tetapi Allah SWT tetap memberikan keringanan.
Keringanan-keringanan tersebut terlampir dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat sebelumnya yaitu 184:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Ayyamam ma’dudat, faman kana minkum maridan au ‘ala safari fa’iddatum min ayyamin ukhar, wa ‘alal-lazina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin, faman tatawwa’a khairan fahuwa khairul lah, wa an tasumu khairul lakum in kuntum ta’lamun.
Artinya:
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) member makan orang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ketetapan untuk Ketentuan Pengganti Puasa bagi Ibu Hamil
Setelah kita sudah mengetahui bagaimana hukum puasa bagi ibu hamil secara jelas, ada beberapa ketentuan ketentuan yang bisa kita ambil pelajaran. Adapun ketentuan mengqadha dan membayar fidyahnya yaitu:
1. Ketentuan Ketentuan Qadha atau Mengganti Puasa
Seperti yang sudah dijelaskan oleh Abdurrahman al-Juzairi dalam buku kitabnya yaitu al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Terdapat ketentuan qadha puasa bagi ibu hamil atau menyusui menjadi tiga kelompok:
- Ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa dikarenakan khawatir akan kesehatan dirinya, maka ia perlu mengqadha sejumlah hari puasa yang ia tinggalkan pada hari lainnya.
- Ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa dikarenakan khawatir akan kesehatan bayinya, maka ia perlu mengqadha sejumlah puasa pada hari lain di luar bulan Ramadhan.
- Ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa disebabkan khawatir kesehatan diri dan bayinya, maka ia perlu mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan sejumlah puasa terutang sekaligus wajib membayar fidyah.
Selain dari ketentuan puasanya, hukum puasa bagi ibu hamil yang diperbolehkan tidak puasa dengan mengganti puasanya itu boleh menunda qadhanya. Artinya ibu hamil tersebut tidak mesti mengganti puasa setelah bulan Ramadhan yaitu Syawal.
Akan tetapi, boleh juga ibu hamil menggantinya pada bulan lain yaitu Dzulhijjah hingga Sya’ban asal sebelum masuk bulan Ramadhan berikutnya. Adapun dalil pendukungnya yaitu:
Aisyah pernah menunda qadha puasa hingga bulan Sya’ban, dari Abu Salamah mendengar Aisyah mengatakan yang artinya, “Aku masih memiliki hutang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban.”
Walaupun begitu, lebih baiknya jika mengqadha puasa dilakukan dengan segera tanpa menunda-nunda. Seperti halnya firman Allah SWT yang memerintahkan untuk kita segera melakukan kebaikan:
اُولٰۤىِٕكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَهُمْ لَهَا سٰبِقُوْنَ
Ula’ika yusari’una fil-khairati wa hum laha sabiqun
Artinya:
“Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun ayat 61).
2. Ketentuan Pembayaran Fidyah
Secara umum informasi yang beredar di masyarakat menyebutkan bahwa besaran fidyah yang harus dibayarkan ibu hamil atau menyusui senilai dengan bahan pangan. Nilai bahan pangan yang dimaksud yaitu 0,6 kg atau setara ¾ liter beras.
Jika tidak ada bahan pangan, kita juga bisa menggantinya dengan uang senilai bahan pangan tersebut. Selain itu, pembayaran fidyah juga bisa dalam bentuk makanan pokok dengan adanya tambahan lauk pauk selayaknya.
Sementara itu, tata cara pembayarannya pun bisa dilakukan sekaligus dengan memberikan sejumlah total fidyah dari puasa yang ditinggalkan. Dan kita boleh memberikan fidyah ini kepada satu orang miskin saja.
Ketika ibu hamil tersebut menginginkan membayar fidyah berupa makanan siap santap. Maka, ketentuan pembayaran fidyahnya bisa dilakukan setiap hari sejumlah dengan puasa yang ditinggalkan.
Itulah informasi hukum puasa bagi ibu hamil, diperbolehkan tidak puasa dengan mengganti puasa atau mengganti dengan fidyah. Segeralah untuk mengqadha puasa tanpa menunda-nundanya hingga bertemu bulan Ramadhan berikutnya.