Tari Bedhaya Ketawang: Sejarah, Riasan, Makna, dan Pola Lantai

Tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu warisan budaya yang berbentuk seni pertunjukan yang berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta. Konon, tarian ini memiliki banyak cerita dengan makna simbolik yang luar biasa di dalamnya. Artikel ini akan menyajikan semua informasi mengenai tarian ini. Yuk, simak!

Cari Tahu tentang Sejarah Tari Bedhaya Ketawang

Nama tarian ini berasal dari kaya “Bedhaya” yang memiliki arti penari wanita di istana. Sedangkan “Ketawang” atau “Tawang” memiliki arti langit, atau sesuatu hal yang tinggi dan mulia. Masyarakat menganggap tarian ini sebagai yang tertua dan menjadikannya sebagai pusat dari berbagai Tari Bedhaya lain yang lebih muda.

Tarian ini juga menceritakan tentang Panembahan Senopati yang merupakan raja pertama yang memimpin Dinasti Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sembilan penari yang terpilih yang akan membawakan tarian ini. Konon, Nyi Roro Kidul akan ikut serta dalam menari sehingga jumlah penari menjadi sepuluh orang.

Ada beberapa cerita yang menjelaskan mengenai awal munculnya tarian ini. Cerita tersebut bermula ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau yang saat itu sedang memerintah Kesultanan Mataram yang berlangsung pada tahun 1613 sampai tahun 1945, sedang melakukan ritual semadi.

Konon, di tengah melakukan ritual tersebut, sang Raja mendengar suara tetembangan atau senandung dari arah Tawang atau langit. Sultan Agung merasa terkesima dengan senandung yang terdengar tersebut.

Sehingga, begitu selesai melakukan pertapaan tersebut, Sultan Agung memanggil empat orang penjaganya. Mereka adalah Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. 

Sultan agung menjelaskan kesaksiannya kepada mereka mengenai apa yang sudah ia dengar. Sultan Agung sendiri akhirnya menciptakan sebuah gerakan tari yang akhirnya memberinya nama Bedhaya Ketawang, karena merupakan sebuah pengalaman ghaib yang Sultan Agung alami.

Versi yang berbeda menceritakan bahwa Panembahan Senopati bertemu dengan Ratu Kencanasari lalu mereka berdua bercinta. Kejadian tersebut akhirnya menjadi cikal bakal tarian ini.

Setelan Perjanjian Giyanti yang selesai pada tahun 1755, Pakubuwana III bersama Hamengkubuwono melakukan pembagian harta warisan Kerajaan Mataram. Sebagian warisan tersebut menjadi milik Kasunanan Surakarta dan sebagian lagi milik Kesultanan Yogyakarta.

Akhirnya, tari Bedhaya Ketawang jatuh ke Keraton Kasunanan Surakarta dan merupakan sebuah warisan budaya. Hingga saat ini, tari Bedhaya Ketawang masih tetap dipertunjukan di acara penting kerajaan, seperti penobatan tahta Sunan Surakarta.

Makna di Balik Tari Bedhaya Ketawang

Secara umum, tari Bedhaya Ketawang memiliki makna sebagai sebuah hubungan pernikahan antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul. Semua kisah yang melatarbelakangi tarian ini terwujud dalam setiap gerakannya. 

Pada pertunjukan tarian Bedhaya Ketawang, musik yang mengiringi merupakan iringan musik gending ketawang gede dengan nada pelog. Instrumen yang ada dalam mengiringi tarian ini adalah kenong, gong, kendhang, kemanak, dan kethuk.

Selain musik gending, tarian ini juga diiringi oleh tembang dengan kata-kata yang terkandung di dalamnya juga merupakan gambaran dari curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senapati. 

Pada bagian paling awal, tembang Durma mengiringi tarian ini, dan setelahnya adalah Ratnamulya. Pada saat para penari sudah memasuki panggung, ada penambahan instrumen musik dengan gambang, rebab, gender, dan suling untuk menambahkan kesinambungan suasana yang tercipta.

1. Syarat Penari 

Sebagai sebuah tarian yang cukup sakral, penari yang terlibat tidak boleh sembarang orang. Ada berbagai macam syarat yang wajib bagi semua penari. Syarat-syarat tersebut antara lain:

  • Penari harus dalam keadaan suci dan tidak sedang berada di periode menstruasinya.
  • Para penari harus merupakan seorang yang perawan.
  • Penari harus berusia antara 17 sampai 25 tahun. Hal tersebut karena penari akan memiliki kekuatan dan energi yang lebih untuk menari selama 1,5 jam dan tentunya masih memiliki kulit yang kencang dan wajah yang berseri.
  • Penari harus memiliki postur tubuh yang proporsional dengan daya tahan tubuh yang baik.
  • Yang terakhir adalah semua penari harus menjalankan puasa mutih. Puasa mutih adalah puasa yang hanya memakan makanan yang berwarna putih selama beberapa hari.

Menurut kepercayaan sekitar, setiap ada tari Bedhaya Ketawang, Kanjeng Ratu Kidul akan ikut menarikan tarian ini. Konon katanya, Kanjeng Ratu Kidul akan datang ke penari yang gerakannya salah. Maka dari itu kesucian para penari sangat penting untuk tarian ini.

2. Nama-nama Penari

Sembilan penari yang ikut serta dalam menarikan tarian ini juga memiliki nama-nama yang berbeda. Berikut adalah nama-nama sembilan penari tersebut.

  • Penari pertama bernama Batak, yang merupakan simbol dari pikiran dan jiwa.
  • Yang kedua bernama Endhel Ajeg, yang merupakan simbol nafsu dan keinginan hati.
  • Ketiga bernama Endhel Weton yang merupakan simbol dari tungkai kanan.
  • Keempat bernama Apit Ngarep yang merupakan simbol dari lengan kanan.
  • Kelima bernama Apit Mburi yang merupakan simbol dari lengan kiri.
  • Keenam bernama Apit Meneg yang merupakan simbol dari tungkai kiri.
  • Ketujuh bernama Gulu yang merupakan simbol dari badan.
  • Dan yang terakhir bernama Buncit yang merupakan simbol dari organ seksual. Penari kesembilan ini merepresentasikan konstelasi bintang yang merupakan simbol tawang atau langit.

Tata Rias dan Tata Busana yang Digunakan

Sebagai sebuah warisan kerajaan, tarian ini bersifat sangat sakral dan memiliki banyak keunikan tersendiri. Para penari harus memenuhi syarat yang ada untuk membawakan tarian ini. Selain itu, tarian ini hanya bisa dilakukan pada hari Anggarakasih (Selasa Kliwon).

Tata busana dan tata rias para penari bukan hanya sebagai pelengkap pertunjukan, hal tersebut juga memiliki makna simbolis. Berikut merupakan tata rias dan tata busana tarian ini beserta maknanya.

1. Tata Busana 

Para penari menggunakan dodot banguntulan dan cindhe kembang sebagai lapisan bawah. Kain dodot merupakan kain yang memiliki panjang 3,75 sampai 4 meter. Pada zaman dahulu, kain ini hanya merupakan kain yang spesial, sehingga hanya raja dan keluarganya beserta kaum ningrat yang bisa mengenakan kain ini. 

Dalam tarian Bedhaya Ketawang, ada dua penari utama yang menggunakan kain ini dan dapat dibedakan melalui warna kain yang mereka pakai. Dua penari tersebut memiliki nama batak dan endhel ajeg.

Batak dan endhel ajeg memakai dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang memiliki sebutan dodot gadung mlathi. Sedangkan, tujuh penari sisanya menggunakan dodot alas-alasan yang berwarna biru gelap yang memiliki sebutan dodot bangun tulak.

Ada pula makna yang menyertai dalam penggunaan dodot ini. Dodot angeng bangun tulak merupakan simbol perwujudan kesadaran manusia atas perlindungan dari Tuhan YME. 

Selain itu, warna biru menyimbolkan keluhuran budi, arif bijaksana, keimanan, keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Sedangkan warna hijau melambangkan simbol kekuatan yang selalu tumbuh akan terus berlanjut.

2. Tata Rias

Riasan wajah dari tarian ini menyerupai pengantin putri Keraton Surakarta yang menggunakan sanggul bokor mengkurep lengkap dengan perhiasannya.

Tata rias yang  menghiasi wajah para penari ini memiliki makna yang mendalam. Paes ageng dhandhang gendhis merupakan sebuah simbol rasa yang suci. Bentuk rajut melati kawungan juga merupakan sebuah simbol kepatuhan kepada Tuhan YME.

Makna simbolik dari raja keputren juga merupakan sebuah simbol kekayaan, kejayaan, kemakmuran, dan kehidupan. Pada tata rias ini juga ditemukan bukti peninggalan budaya nenek moyang yang melukiskan sebuah simbol kesuburan, yaitu berbentuk lingga dan yoni.

Lingga dan yoni sendiri merupakan sebuah pengingat kepada semua umat manusia mengenai makna sangkan paraning dumadi. Ia merupakan sebuah sarana dalam mencapai kehidupan yang sejahtera, aman, dan sentosa.

Pola Lantai Tari Bedhaya Ketawang

Sama seperti tarian lainnya, tari Bedhaya Ketawang juga memiliki berbagai keunikan dari pola lantainya sendiri. Tarian ini menggunakan berbagai pola lantai. Pola tersebut adalah pola gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang tiga-tiga, gawang monitor manus, dan gawang perang.

Pola lantai dalam tarian ini juga biasa disebut dengan nama rakit lajur yang memberikan gambaran mengenai lima unsur dari dalam manusia, yaitu cahaya, sukma, nafsu, rasa, dan perilaku.

Sudah Paham Tarian Sakral Tari Bedhaya Ketawang?

Itulah penjelasan tentang salah satu tarian sakral yang hanya ada pada saat acara penting, seperti kenaikan tahta raja. Tarian ini juga memiliki makna yang sangat mendalam sehingga penari yang terlibat juga harus memenuhi syarat yang ada. Hal tersebut juga berlaku dengan tata rias dan busana yang menghiasi pertunjukannya.

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page