Biografi Pangeran Diponegoro dan Perjuangannya sebagai Pahlawan

Salah satu pahlawan yang cukup terkenal dari Jawa adalah Pangeran Diponegoro. Cerita bagaimana perjuangan yang ia lakukan merupakan salah satu hal yang menarik dalam biografi Pangeran Diponegoro.

Perjuangan paling penting yang beliau lakukan adalah Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Ini merupakan salah satu perang dengan jumlah korban yang cukup banyak dan nilai kerugian jutaan Gulden.

Biografi Pangeran Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Sang ayah bernama Gusti Raden Mas Suraja, sementara sang ibu bernama R.A. Mangkarawati.

Di kemudian hari, sang ayah naik tahta dan bergelar Hamengkubuwana III. Pada saat dilahirkan, Pangeran Diponegoro sendiri bernama Bendara Raden Mas Mustahar. Nama tersebut kemudian diganti dengan Bendara Raden Mas Antawirya.

Nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara ia dapatkan ketika sang ayah naik tahta menjadi Hamengkubuwana III. Sang ayah sebenarnya berniat menjadikan Pangeran Diponegoro sebagai raja, namun Pangeran Diponegoro menolak hal tersebut. 

Beliau beralasan jika posisi ibunya yang bukan istri permaisuri membuat posisinya merasa tidak layak untuk mendapatkan posisi raja.

1. Awal Perjalanan Pangeran Diponegoro

Secara pribadi, beliau merupakan orang yang dikenal sangat cerdas. Beliau sangat suka membaca dan sangat ahli dalam hukum Islam-Jawa. 

Dari segi kehidupan pribadi, beliau lebih tertarik pada masalah keagamaan daripada masalah keraton dan pemerintahan. Hal ini juga yang membuat Pangeran Diponegoro lebih memilih tinggal di Tegalrejo. 

Lokasi tempat tinggalnya ini berdekatan dengan tempat tinggal Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo yang merupakan permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I sekaligus eyang buyut dari Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1822, biografi Pangeran Diponegoro menceritakan bahwa beliau mulai masuk ke kehidupan keraton. Saat itu, beliau menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V.

Pada saat itu, Sultan Hamengkubuwana V masih berusia 3 tahun. Pemerintahan keraton sendiri dipegang oleh Patih Danureja V dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak setuju dengan sistem perwalian seperti itu dan melakukan protes.

2. Kehidupan Pribadi

Pangeran Diponegoro sendiri merupakan orang yang suka berkebun. Di Selarejo dan Selarong, yang merupakan tempat persemediannya, terdapat kebun yang ditanami berbagai bunga, sayur, dan juga buah.

Menurut catatan biografi Pangeran Diponegoro, beliau juga beberapa kali menikah dalam hidupnya. Beliau pertama kali menikah dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, ketika usianya masih 17 tahun. Dari pernikahan tersebut beliau memiliki anak laki-laki yang bernama Putra Diponegoro II.

Pada usia 22 tahun, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan Raden Ajeng Supadmi. Istri keduanya ini merupakan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, yaitu Bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta.

Pernikahan ini merupakan permintaan dari Sultan Hamengkubuwana III. Dari pernikahan ini Pangeran Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Pangeran Diponingrat. Pernikahan ini sendiri bertahan selama 3 tahun.

Pada tahun 1808, Pangeran Diponegoro menikah untuk kali ketiga dengan R.A Retnadewati, seorang putri dari Kiai di wilayah Yogyakarta Selatan. Istri pertama dan ketiganya wafat ketika Pangeran Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo.

Pada 1810, Pangeran Diponegoro melangsungkan pernikahannya yang keempat dengan Raden Ayu Citrawati yang merupakan puteri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika. Istri keempatnya ini meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun.

Pangeran Diponegoro kembali menikah kelima kalinya pada 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, seorang putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III. Raden Ayu Maduretno sendiri diangkat menjadi permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 1828.

Pada Januari 1828, Pangeran Diponegoro menikah untuk kali keenam dengan Raden Ayu Retnonignrum yang merupakan Putri dari Pangeran Dipawiyana II. 

Lalu, pernikahan ketujuh terjadi dengan Raden Ayu Retnaningsih, Putri dari Raden Tumenggung Sumaprawira. Pada pernikahan kedelapan, Pangeran Diponegoro menikah dengan R.A Retnakumala, Putri dari Kiai Guru Kasongan.

Dari beberapa pernikahan tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 orang putra dan 5 orang putri. Saat ini, semua keturunan Pangeran Diponegoro tersebar di berbagai belahan dunia.

Biografi Pangeran Diponegoro tentang Perang Diponegoro

Berbicara tentang biografi Pangeran Diponegoro, sangat tidak mungkin jika tidak membahas tentang Perang Diponegoro. Perang ini juga dikenal dengan nama Perang Jawa. 

Perang yang terjadi sejak 1825 sampai 1830, terjadi karena sikap Belanda yang memasang patok di atas tanah milik Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo.

1. Awal Mula Perlawanan

Selain masalah penyerobotan tanah, pemicu lainnya dari Perang Diponegoro adalah tindakan Belanda yang dianggap tidak menghargai adat istiadat. Selain itu, Pangeran Diponegoro juga menilai jika Belanda melakukan eksploitasi dengan membebankan pajak yang tinggi.

Dari sinilah awal mula ketidaksukaan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Keputusan dan sikap yang menentang Hindia Belanda ini pada akhirnya mendapatkan beberapa simpat dan penuh dukungan.

Salah satu pendukung Pangeran Diponegoro adalah GPH Mangkubumi. Atas saran sang paman itulah Pangeran Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membentuk markas di Gua Selarong.

Pada akhirnya, perlawanan ini meluas sampai ke daerah Pacitan dan juga Kedu. Nantinya, wilayah pertempuran ini juga meluas sampai ke Yogyakarta, Kedu, Surakarta, Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan juga Surabaya.

2. Sumpah Ati Rata

“Ha. Setya Bekti Ing Gusti Hangayomi Sepadaning Urip Rila Lega Ing Pati. Na. Hamikukuhi Tan Kena Hamabuang Tilas Tan Gawe Wisuna. Ca. Tan Ngowahi Naluri Tanah Jawa Dadi Raharja”

Kalimat tadi adalah isi dari sumpah ati rata. Ini merupakan salah satu sumpah yang terkenal ketika awal mula Perang Diponegoro. Sumpah ini sendiri menjadi bukti dukungan dari beberapa orang.

Sebelum perang, Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan dari Sultan Pakubuwana VI. Biografi Pangeran Diponegoro juga menjelaskan bahwa beliau menggalang dukungan dari para tokoh dan juga alim ulama.

Di wilayah Mataram misalnya, beliau mengunjungi Kiai Abdani dan Kiai Anom. Lalu, ditemani oleh Pangeran Mangkubumi, ia juga menemui Kiai Maja, yang merupakan orang kepercayaan Pakubuwana IV. 

Selanjutnya, beliau juga menemui Tumenggung Prawiradigdaya di Gagatan, ia merupakan orang kepercayaan Susuhunan Pakubuwono VI.

Pada 1824, dukungan dari Susuhunan Pakubuwana VI juga tidak hanya dalam bentuk dana perang, namun juga berupa pasukan keraton dan para senopati terpilih. Dukungan dari Pakubuwana VI inilah yang dideklarasikan dalam Sumpah Ati Rata. Sumpah ini terjadi pada Rabu Wage 17 Pasa 1239 H/ 1752J atau 5 Mei 1825. Saat ini, lokasi Sumpah Ati Rata bernama Pesanggrahan Dinrah.

3. Strategi Perang Pangeran Diponegoro

Pada saat peperangan, biografi Pangeran Diponegoro mengisahkan jika beliau membagi pasukannya menjadi beberapa batalyon dan memberikan nama yang berbeda satu sama lain. Setiap batalyon tersebut diberikan senjata api dan juga peluru.

Satu strategi perang yang paling sering digunakan oleh Pangeran Diponegoro adalah melakukan gerilya. Markasnya di daerah Selarong seringkali kosong saat pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut.

Pusat pertahanan Pangeran Diponegoro juga sering berpindah, salah satunya dari Selarang ke Daksa. Di sini, Pangeran Diponegoro mendapatkan penobatan sebagai kepala negara dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.

Pada momen ini pusat negara sudah berpindah ke daerah Plered, dengan alasan sistem pertahanan yang lebih kuat. Sistem pertahanan Plered sendiri diserahkan dan dipercayakan pada Kerta Pengalasan.

Bukti dari seberapa kuat pertahanan di Plered adalah gagalnya serangan besar-besaran yang dilakukan Hindia Belanda pada Juni 1826. Setelah serangan tersebut, pasukan Hindia Belanda menyerang markas Pangeran Diponegoro yang berada di Daksa. Serangan tersebut juga gagal karena markas sudah dikosongkan.

Saat pasukan Hindia Belanda kembali menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyerang dan membinasakan seluruh pasukan Hindia Belanda lalu kemudian pergi menghilang kembali dari Daksa.

Pada Oktober 1826, pasukan Pangeran Diponegoro juga kembali meraih kemenangan dari pasukan Hindia Belanda dalam sebuah serangan di Gawok. Pada serangan ini, Pangeran Diponegoro sempat terluka dan mendapat perawatan di lereng Gunung Merapi.

Pada November 1826, Diponegoro pergi ke Pengasih untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di tempat ini, Pangeran Diponegoro juga mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru.

Pasukan HIndia Belanda sendiri sempat melakukan serangan ke Sambirata, namun Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri. Pada Oktober 1827, sempat terjadi gencatan senjata. Namun perundingan pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.

Pasukan Pangeran Diponegoro berhasil melakukan serangan gerilya dengan baik. Bukan hanya karena pasukan yang cepat dan lincah, tapi juga karena dukungan dan juga simpatik dari rakyat. Hal ini membuat Pangeran Diponegoro bisa memindahkan markasnya dengan cepat dan juga mendapatkan pasokan logistik dengan baik.

Di sisi lain, pasukan Pangeran Diponegoro ini juga menggunakan alam sebagai benteng dan senjata tambahan. Salah satu contohnya adalah mereka akan melakukan serangan besar pada saat bulan-bulan penghujan.

Di biografi Pangeran Diponegoro juga menjelaskan bahwa beliau dan pasukannya seringkali melakukan serangan ketika hujan. Hal ini karena hujan di daerah tropis cukup deras dan pasukan Hindia Belanda tidak terbiasa akan hal itu.

Selain itu, ada juga ancaman dari berbagai penyakit seperti malaria, disentri, dan lainnya yang juga membuat pasukan Hindia Belanda semakin terpojok.

Para pemimpin Hindia Belanda terpaksa memikirkan banyak cara untuk mengatasi hal ini. Termasuk salah satunya dengan menawarkan gencatan senjata. Momen gencatan senjata inilah yang digunakan pihak musuh untuk melakukan konsolidasi pasukan, menyebar mata-mata dan juga provokator.

Mereka mencoba menghasut, memecah belah, dan juga menekan anggota keluarga dari para pejuang yang berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Cara ini pun tidak berhasil untuk dilakukan.

4. Puncak Peperangan

Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro ini merupakan salah satu perang paling berat yang mereka hadapi. HIndia Belanda bahkan mengirimkan banyak jenderal hanya untuk mengurusi masalah ini, mulai dari Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, Jenderal Bisschop, dan lainnya.

Selain itu, Hindia Belanda juga menerjunkan semua jenis pasukan yang mereka punya, mulai dari infanteri, kavaleri, dan juga artileri. Pertempuran bahkan terjadi di seluruh wilayah Jawa, baik desa maupun kota.

Pasukan Hindia Belanda membangun jalur logistik untuk menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Puluhan kilang mesiu dibangun, produksi mesiu dan peluru berlangsung terus menerus.

Mata-mata yang disebar pihak Hindia Belanda pun bekerja keras untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi guna menyusun strategi perang. Semua informasi yang bisa mereka dapatkan langsung mereka kirimkan.

Puncak peperangan terjadi sekitar tahun 1827. Saat itu, Hindia Belanda bahkan menurunkan 23 ribu pasukan. Jumlah pasukan yang sangat banyak mengingat luas wilayah peperangan yang sebenarnya tidak begitu besar. Selain itu, pengerahan pasukan sebanyak ini belum pernah Belanda lakukan sebelumnya.

Perang Jawa ini termasuk perang modern yang melibatkan semua metode perang yang bahkan belum populer dilakukan saat itu, baik perang terbuka maupun gerilya. Tidak hanya pertempuran langsung, perang ini juga melibatkan saling tekan secara psikologis dan juga saling memata-matai musuh.

5. Strategi Hindia Belanda

Pada 1827, Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda. Dirinya langsung menyiapkan strategi untuk bisa mengalahkan Pangeran Diponegoro dan pasukan.

Salah satu strategi yang digunakan adalah Benteng Stelsel. Tujuan strategi ini adalah membatasi ruang gerak dari strategi gerilya Pangeran Diponegoro. Nantinya, tiap kali pasukan Hindia Belanda merebut daerah musuh, mereka akan langsung membangun benteng lengkap dengan kawat berduri.

Selain membatasi ruang gerak, hal ini juga untuk memastikan pasukan Pangeran Diponegoro tidak kembali ke tempat tersebut. Jarak antar benteng juga dibuat berdekatan dan saling terhubung dengan pasukan gerak cepat.

Strategi ini bisa dibilang cukup berhasil. Perlawanan Pangeran Diponegoro mulai melemah sejak akhir tahun 1828. Pada saat itu, Kiai Madja yang merupakan pemimpin spiritual selama pemberontakan, tertangkap pada 12 Oktober 1928. Menyusul Sentot Prawirodirdjo dan pasukanya yang tertangkap pada 16 Oktober 1928.

14 Oktober 1829, R.A Ratnaningsih, yang merupakan istri ketujuh Pangeran Diponegoro, dan juga putranya tertangkap. Masalah perlawananan ini juga semakin pelik dengan munculnya masalah kesulitan biaya.

6. Negosiasi

Pada Februari 1830, biografi Pangeran Diponegoro menerangkan bahwa beliau setuju untuk melakukan pertemuan dengan utusan Hindia Belanda. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun.

Intensitas pertemuan mulai sering dilakukan pada periode Februari sampai Maret 1830. Momen tersebut juga bertepatan dengan Bulan Ramadhan. Pada momen tersebut juga Pangeran Diponegoro menyatakan jika tidak akan ada diskusi serius selama bulan Ramadhan.

7. Penghianatan dan Penangkapan

Jenderal De Kock memiliki pandangan lain atas sikap Pangeran Diponegoro yang mulai mau berdiskusi. Menurutnya, jika Pangeran Diponegoro datang dengan sukarela, maka hal tersebut menandakan secara de facto Pangeran Diponegoro sudah kalah.

Jenderal De Kock akhirnya memberikan perintah rahasia pada Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V. Michels. Perintahnya adalah untuk mempersiapkan perlengkapan militer, guna mengamankan penangkapan Pangeran Diponegoro.

Peristiwa penting terjadi pada 28 Maret 1830. Bertepatan dengan Hari Idulfitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Pada pertemuan tersebut, Jenderal De Kock meminta agar Pangeran tidak perlu kembali ke Meteseih.

Pangeran Diponegoro bingung akan hal ini, karena ia hanya datang untuk bersilaturahmi. Pada momen inilah Jenderal De Kock mulai membicarakan akan menahan Pangeran Diponegoro dan membuat suasana menjadi tegang.

Ketegangan terus berlanjut, sebagian orang meminta urusan politik ini diselesaikan di lain hari. Namun Jenderal De Kock ingin masalah ini selesai pada hari itu juga. 

Pangeran Diponegoro akhirnya bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskatnya dilepaskan. Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang.

Pada April 1830, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Batavia dan ditahan di Stadhuis atau Gedung Museum Fatahillah saat ini. Selanjutnya, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama istri dan para pengikutnya.

Di Manado, Pangeran Diponegoro ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Di tahun 1834, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar sampai akhir usianya. Beliau tutup usia pada 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam.

8. Akhir Perjalanan Sang Pangeran

Saat diasingkan ke Manado, kondisi Pangeran Diponegoro sudah sangat lemah dan mulai sakit. Pada perjalanan ke Manado bahkan ia sempat mabuk laut dan terserang malaria.

Pangeran Diponegoro tiba di Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya Pangeran Diponegoro akan ditempatkan di Tondano. Namun hal itu batal, karena di saat yang bersamaan Kiai Madja dan 62 pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari Ambon.

Hal ini membuat Pangeran Diponegoro akhirnya ditahan di Benteng Manado atau Benteng Nieuw Amsterdam, sejak Juni 1830 sampai Juni 1833. Pada Juli 1833, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar.dan ditahan di Fort Rotterdam.

Selama pengasingannya ini, Pangeran Diponegoro menyusun manuskrip tentang sejarah Jawa dan juga menulis otobiografinya, Babad Dipanegara.

Seiring bertambahnya usia, kesehatan Sang Pangeran juga ikut menurun. Sampai akhirnya, pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro menghembuskan napas terakhirnya di Makassar.

Lukisan Penangkapan atau Penyerahan?

Selain kisah dalam biografi Pangeran Diponegoro, ada hal menarik yang menimpa beliau pada 28 Maret 1830. Ada dua pelukis yang melukiskan peristiwa tersebut, namun dengan dua tafsir yang sangat berbeda.

1. Lukisan Penyerahan Diponegoro

Karya pertama adalah lukisan buatan Nicolaas Pieneman, seorang pelukis asal Belanda. Ia menunjukkan ilustrasi dari sisi kanan gedung dengan bendera Belanda yang terlihat amat jelas.

Pada lukisan tersebut, Pangeran Diponegoro digambarkan dengan lesu dan pasrah meskipun tidak menunduk. Jenderal De Kock sendiri dilukiskan dengan lebih tinggi, tegas, dan berwibawa.

Sosok Pangeran Diponegoro juga digambarkan sebagai orang yang terkesan tunduk pada perintah Jenderal De Kock. Hal ini juga dipertegas dengan latar belakang tangisan para pengikutnya.

Selain itu, posisi anak tangga tempat berdiri Sang Pangeran berada di bawah Jenderal De Kock. Ini juga seolah menyiratkan adanya perbedaan derajat antara posisi tawanan dan penguasa.

2. Lukisan Penangkapan Diponegoro

Karya lainnya dibuat oleh pelukis Indonesia yang tinggal di Eropa, Raden Saleh. Ia menggambarkan peristiwa 28 Maret 1830 tersebut sebagai penangkapan Diponegoro.

Lukisan ini dibuat pada tahun 1856. Pada versi Raden Saleh, ia melukis peristiwa tersebut dengan sudut pandang dari sisi kiri gedung. Raden Saleh juga menggambarkan jika Pangeran Diponegoro menggunakan sorban hijau ketika ditangkap.

Secara detail, Raden Saleh juga menggambarkan jika Pangeran Diponegoro berdiri dengan kepala tegak mendongak, tegas, menahan amarah, menunjukkan perlawanan, dan juga tegar. Di situ juga digambarkan jika para pengikutnya terlihat sedih dan merasakan dukacita yang mendalam.

Peninggalan Bersejarah

TIdak hanya meninggalkan kisah perjuangan, biografi Pangeran Diponegoro juga menerangkan bahwa beliau meninggalkan beberapa benda bersejarah, seperti:

1. Babad Dipanagara

Babad Dipanagara merupakan kumpulan puisi setebal 1.170 halaman yang isinya menceritakan tentang sejarah nabi, sejarah Pulau Jawa dari zaman Majapahit sampai Perjanjian Giyanti.

Dituturkan langsung oleh Pangeran Diponegoro saat beliau diasingkan di Manado, tulisannya menggunakan aksara Arab pegon dan aksara Jawa. Saat ini, naskah asli Babad Jawa sudah hilang, yang tersisa hanyalah salinannya yang tersimpan di Perpustakaan Nasional dan di Rotterdam, Belanda.

Babad Dipanegara sendiri sudah diakui oleh UNESCO sebagai Memory of the World sejak tahun 2013. Ini merupakan sebuah gerakan untuk menghargai dan merawat catatan-catatan penting tentang peristiwa sejarah dan budaya.

2. Keris

Benda lainnya yang juga menjadi peninggalan Pangeran Diponegoro adalah keris. Pangeran Diponegoro sendiri memang dikenal selalu membawa kerisnya kemanapun. Beberapa contoh keris yang menjadi peninggalannya antara lain:

  • Keris Kiai Omyang, saat ini tersimpan di Museum Sasana Wiratama, Yogyakarta.
  • Keris Kiai Wisa Bintulu, saat ini tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta.
  • Keris Kiai Naga Siluman, Keris yang sempat hilang namun saat ini sudah ditemukan kembali. Keris ini juga sudah dikembalikan ke Pemerintah Republik Indonesia secara langsung oleh Raja Willem-Alexander kepada Presiden Joko Widodo pada 10 Maret 2020.

Beberapa peninggalan keris lainnya yang juga merupakan peninggalan dari era Perang Diponegoro adalah:

  • Keris Kiai Bromo Kedali yang diserahkan Pangeran Diponegoro ke Pangeran Diponegoro II.
  • Keris Kiai Habit milik Raden Mas Joned.
  • Keris Kiai Blabar milik Raden Mas Raib.
  • Keris Kiai Wreso Gemilar milik Raden Ayu Mertonegoro.
  • Keris Kiai Hatim milik Raden Ayu Joyokusumo.
  • Keris Kiai Ageng Bondoyudo. Ini merupakan keris hasil peleburan dari keris Kiai Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai Abijoyo. Keris ini ikut dikuburkan bersamaan dengan jasad Pangeran Diponegoro.

3. Tongkat

Biografi Pangeran Diponegoro juga menjelaskan bahwa sosoknya dikenal selalu membawa tongkat. Tongkat tersebut bernama Kanjeng Kiai Tjokro dan saat ini tersimpan di Galeri Nasional Indonesia.

Tongkat ini memiliki ciri yaitu simbol cakra sepanjang 153 cm pada bagian ujung tongkat. Tongkat ini didapatkan Pangeran Diponegoro dari warga selama ia berziarah ke Selatan Jawa pada tahun 1815.

4. Tombak

Salah satu senjata pusaka Pangeran Diponegoro ialah tombak Kiai Rodhan. Tombak ini sempat berada di Belanda sebelum akhirnya dikembalikan ke Indonesia pada tahun 1978.

Tombak Kiai Rodhan ini terbuat dari bahan kayu yang ditambahkan dengan lapisan benang hitam yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dan juga peringatan jika akan datang bahaya.

Ciri khas lainnya dari tombak ini adalah pada bagian mata tombak ada lapisan emas. Selain itu, pada bagian pangkal matanya ada empat relung yang berhias permata. Sayangnya, dua dari empat permata tersebut sudah hilang saat benda tersebut dikembalikan ke Indonesia.

5. Benda Lainnya

Benda lain yang juga menjadi peninggalan Pangeran Diponegoro adalah surat asli Pangeran Diponegoro kepada sang ibu dan anak sulungnya dan juga tali kuda.

Sudah Lebih Paham dengan Biografi Pangeran Diponegoro?

Pangeran Diponegoro sendiri diakui sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres No 87/TK/1973 pada tanggal 6 November 1973. Nama Pangeran Diponegoro sendiri sudah banyak digunakan untuk nama jalan, bangunan, ataupun berbagai tempat di Indonesia.

Selain dengan biografi Pangeran Diponegoro, guna mengenang jasa dan perjuangan beliau, saat ini juga sudah didirikan Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang juga dikenal dengan Sasana Wiratama.

Lokasinya terletak di Tegalrejo, Yogyakarta. Tepat di tempat yang dulunya merupakan kediaman Pangeran Diponegoro.

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page