Asas Pacta Sunt Servanda: Pengertian, Prinsip, dan Kelebihannya

Asas Pacta Sunt Servanda, sebuah asas dasar dan paling universal apabila Anda mengaitkannya dengan konteks perjanjian internasional dan merupakan asas yang lebih dulu ada ketimbang berbagai jenis asas perjanjian lainnya. Cari tahu segala aspek yang ada pada asas perjanjian ini melalui penjelasan rinci berikut ini. 

Pengertian Asas Pacta Sunt Servanda

Asas yang penting dalam perjanjian
Asas yang penting dalam perjanjian | Freepik.com

Nama pacta sunt servanda berasal dari Bahasa Latin, yang mengandung arti bahwa sebuah janji wajib untuk ditepati (dalam bahasa Inggris: agreements must be kept). 

Singkatnya, apabila dalam hukum, rumusan norma yang ada pada asas ini berarti tiap perjanjian yang kedua pihak sepakati secara sah berlaku sebagai undang-undang, dan mereka wajib menunaikannya.

Asas ini juga telah tertulis dalam pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). 

Pasal ini mengatur bahwa:

(1) Seluruh persetujuan yang kedua pihak buat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka; 

(2) Persetujuan tidak dapat batal, selain karena kesepakatan kedua belah pihak atau alasan hukum.

Pandangan Terhadap Asas Pacta Sunt Servanda

Perjanjian yang sah di mata hukum
Perjanjian yang sah di mata hukum | Freepik.com

Asas perjanjian tersebut juga memiliki beberapa pandangan, baik dari ahli maupun dari sumber religi, seperti Al-Quran dan Perjanjian Baru Alkitab. Simak keterangan tentang pandangan mengenai asas ini melalui uraian berikut ini.

1. Aziz T. Saliba

Menurut Aziz T. Saliba, asas pacta sunt servanda adalah sebuah sakralisasi atas perjanjian tertentu, atau dengan kata lain sanctity of contracts. Hukum perjanjian sendiri berfokus pada kebebasan berkontrak, atau umumnya, masyarakat kenal sebagai prinsip otonomi.

Prinsip otonomi berarti setiap individu mampu mengadakan perjanjian apapun sesuai dengan kehendak kedua belah pihak, selama mereka memperhatikan batas hukum yang tepat. Dengan demikian, apabila kedua belah pihak telah setuju untuk membuat perjanjian, mereka akan terikat dengan ketentuan perjanjian tersebut.

2. Al-Quran Surat Al Maidah dan Al-Isra

Asas pacta sunt servanda juga telah tertulis secara jelas di Al-Quran Surat Al Maidah dan Al-Isra. Dalam surat Al Maidah, Anda bisa menemukan salah satu terjemahan ayat dengan cuplikan:

“Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah segala janji…”.

Sementara, pada salah satu ayat dalam surat Al-Isra, terjemahannya berbunyi, “dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu…”.

Berdasarkan kedua cuplikan terjemahan surat tersebut, Anda pun dapat menyimpulkan bahwa menurut pandangan hukum Islam, setiap orang yang telah membuat janji wajib menunaikan apa yang telah mereka janjikan. 

3.  Perjanjian Baru Alkitab Matius 

Perintah untuk menaati janji juga hadir dalam Alkitab, yang tertulis pada kitab Matius 5 ayat 37. Ayat tersebut berbunyi, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu…” 

Dari bunyi ayat Alkitab tersebut, Anda juga dapat menarik kesimpulan bahwa perjanjian wajib kedua pihak tunaikan. Sebab, apabila salah satu dari kedua pihak melanggar janji, berarti ia melakukan pengingkaran janji atau wanprestasi.

Berdasarkan pandangan di atas, Anda dapat melihat bahwa penerapan ajaran hukum dengan landasan pacta sunt servanda merupakan sebuah bagian dari ajaran keagamaan. Ajaran agama itu pun manusia praktikkan sebagai sebuah norma dasar dalam hukum.

Apa saja Prinsip Asas Pacta Sunt Servanda?

Asas ini memiliki tiga prinsip atau ketentuan yang setiap pihak terkait wajib taati.

1. Pihak yang terlibat dalam pembuatan janji tersebut wajib melaksanakan apa yang tertulis dalam ketentuan perjanjian. Mereka wajib berpegang pada isi, maksud, jiwa, serta tujuan dari perjanjian itu sendiri

2. Menghormati dan menghargai hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, maupun pihak ketiga (apabila ada)

3. Tidak melakukan tidakan apapun yang mampu menghambat usaha menggapai maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri. Prinsip ini wajib kedua pihak tunaikan, baik sebelum dan setelah janji tersebut mulai berlaku

Walaupun pihak manapun tidak boleh mengingkari perjanjian yang menerapkan asas tersebut, tetapi tetap saja ada kemungkinan pelanggaran. Maka, sebuah peraturan pertanggungjawaban atas pelanggaran janji yang berasas pacta sunt servanda hadir untuk menangani kondisi tersebut.  

Tanggung Jawab atas Pengingkaran Asas Pacta Sunt Servanda

Pertanggungjawaban ini telah tertulis dengan jelas pada Draft Articles on The Responsibility of States for Internationally Wrongful Act Pasal 1. Terjemahan pasal tersebut dalam bahasa Indonesia berbunyi:

“Setiap perbuatan atau kegiatan internasional yang tidak benar oleh suatu negara, maka negara tersebut wajib bertanggung jawab.”

Malcolm N. Shawdalam menyatakan bahwa ada karakteristik yang timbul karena pertanggungjawaban asas ini, terutama untuk perjanjian internasional yang seharusnya sebuah negara tepati. Karakteristik dari pertanggungjawaban asas pacta sunt servanda dapat Anda cermati melalui penjelasan berikut.

  • Terdapat sebuah kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu.
  • Adanya sebuah kelalaian yang membuat negara melanggar kewajiban hukum tersebut, sehingga negara wajib bertanggung jawab secara utuh.
  • Munculnya kerugian atau kerusakan sebagai konsekuensi adanya tindakan yang melanggar hukum, atau dapat Anda katakan sebagai kelalaian.

Sesuai dengan karakteristik tersebut, bila suatu negara melakukan tindakan pelanggaran terhadap perjanjian, baik oleh pemerintah, suatu badan tertentu, maupun perorangan dalam suatu negara, maka negara pelaku wajib menanggungnya. Bentuk tanggung jawab tersebut umumnya dikenal dengan istilah contractual liability (pertanggungjawaban kontraktual).

Akan tetapi, ada lima pengecualian dari pertanggungjawaban negara saat terjadi pelanggaran janji internasional. Pengecualian tersebut dapat Anda ketahui apabila suatu negara mengalami salah satu keadaan khusus, seperti yang tertulis pada penjelasan berikut ini.

5 Keadaan Khusus yang Mengakibatkan Pengingkaran

Ketika negara tidak dapat memenuhi janjinya sesuai dengan asas pacta sunt servanda, negara akan wajib melaksanakan tindakan pertanggungjawaban. Akan tetapi, tindakan pertanggungjawaban tersebut tidak perlu negara lakukan apabila negara mengalami kondisi sebagai berikut.

1. Force Majeure

Sesuai dengan yang telah tertulis di KUHPerdata Pasal 23, pertanggung jawaban tidak dapat diminta apabila terjadi keadaan memaksa seperti force majeure (keadaan darurat). Force majeure sendiri adalah peristiwa yang tidak dapat negara prediksi seperti gempa bumi, banjir, atau bahkan pandemi.

Pelanggaran terhadap perjanjian dapat menjadi pengecualian ketika negara menghadapi force majeure yang notabene berada di luar kontrol atau kendali negara tersebut. 

2. Kesepakatan

Lalu, apabila merujuk pada Pasal 20 dalam landasan hukum yang sama, sebuah negara juga tak bersalah atas pelanggaran kesepakatan jika memang terjadi kesepakatan dari para pihak yang terikat perjanjian. 

Contohnya, kedua belah pihak memang sepakat untuk melakukan hal yang bertentangan dengan perjanjian.

3. Tindakan Bela Diri

Sementara itu, pada pasal 21 serta 22 tertulis bahwa suatu tindakan yang negara ambil tidak dapat dianggap salah, bila memang tak bertentangan dengan peraturan internasional dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Dengan demikian, tindakan balasan dan bela diri dalam hubungan internasional bisa negara lakukan dan merupakan salah satu kondisi khusus untuk melakukan pengingkaran kesepakatan. 

4. Distress

Pasal 24 yang berbunyi bahwa distress merupakan suatu tindakan yang mana negara wajib beraksi menyelamatkan rakyat serta kedaulatannya dalam keadaan genting. Tindakan ini mencakup keadaan sulit, sehingga negara memiliki pengecualian dalam pertanggungjawaban dalam pengingkaran janji internasional.

Alasannya adalah keselamatan warga negara tersebut merupakan kewajiban utama pemerintah.

5. Necessity

Terakhir, pengingkaran terhadap perjanjian berlandaskan asas pacta sunt servanda diperbolehkan apabila negara wajib bertindak untuk menyelamatkan kepentingannya beserta kepentingan negara lain saat keadaan mendesak.

Adakah Dampak Positif Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda?

Walaupun ada kondisi pengecualian yang memungkinan pengingkaran terhadap asas tersebut, pada dasarnya asas ini memberikan sejumlah dampak positif bagi pihak manapun yang terikat pada perjanjian tertentu. Kira-kira, apa sajakah dampak positif tersebut?

1. Perjanjian Sah

Salah satu kelebihan dari asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam perjanjian adalah keabsahannya di mata hukum. Pasalnya, asas ini menyatakan bahwa perjanjian merupakan undang-undang yang mewajibkan seluruh pihak yang terlibat untuk menaatinya.

2. Adanya Sanksi

Bagi salah satu pihak yang secara tidak sengaja maupun sengaja mengingkari janji, maka wajib untuk menjalankan sanksi yang berlaku. 

Salah satu contoh penerapan sistem sanksi asas ini ada pada peristiwa di Indonesia di masa pandemi COVID-19. Melihat kekuatan asas pacta sunt servanda, pemerintah pun mengaplikasikan asas ini untuk mengetatkan penggunaan aplikasi Peduli Lindungi untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Penggunaannya cukup efektif karena tiap orang wajib memindai QR Code yang telah tersedia untuk dapat mengunjungi tempat umum,. Apabila ada salah satu orang melanggar ketentuan tersebut, maka ia tak memiliki izin untuk dapat mengunjungi tempat tersebut.

Dengan begitu, tidak ada satupun rakyat yang berani untuk tidak menggunakan masker sebagai upaya pencegahan penyebaran virus COVID-19. Jadi, apabila seseorang terdeteksi terkena penyakit tersebut, pemerintah dan pihak berwajib pun dapat lebih mudah melakukan pelacakan.

Baca Juga : Pengertian Asas Kepastian Hukum dan Contoh Penerapannya

Bagaimana Pengaruh Asas Pacta Sunt Servanda?

Berdasarkan ulasan di atas, Anda dapat menilai bahwa asas ini memberi pengaruh besar dalam proses pelaksanaan sebuah kesepakatan atau perjanjian dalam kehidupan bernegara, baik itu secara internal maupun eksternal. Ketegasan asas pacta sunt servanda menjadi tameng dari berbagai risiko kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian atau kesepakatan jika penerapannya tepat, walaupun beberapa kondisi khusus memungkinkan adanya pengingkaran.

Share: