6 Kumpulan Cerpen tentang Ibu Menyentuh Hati, Bikin Mewek!

Ibu adalah sosok pahlawan untuk anak-anaknya karena jasa-jasanya yang begitu besar. Bahkan banyak orang yang membuat cerpen sebagai rasa terima kasih dan tanda sayang kepada ibu tercinta. Pada artikel ini akan diuraikan kumpulan cerpen tentang ibu yang menyentuh hati dan bisa bikin mewek. 

Cerpen tentang Ibu yang Menyentuh Hati

Adapun kumpulan cerpen tentang ibu yang menarik untuk dibaca karena menyentuh hati yaitu:

1. Sulitnya Mencintaimu

Cerpen tentang ibu pertama diambil dari karya Anisa Fitri dengan isi cerita sebagai berikut.

Di sebuah desa, hiduplah seorang gadis cantik bernama Putri Almera. Gadis itu tinggal di sebuah rumah yang sederhana namun nyaman karena letaknya yang jauh dari kendaraan yang berlalu lalang. 

Dia adalah gadis cantik yang sangat berbakti kepada kedua orang tua dan Allah SWT. Almera tinggal hanya berdua dengan ibunya karena ayahnya sudah meninggal dunia sejak dia dalam kandungan. Setiap hari ibunya berjualan jajanan tradisional sebagai sumber utama untuk makan sehari-hari. 

Almera saat ini berusia 15 tahun, usia dimana sedang bahagia-bahagianya bermain dan belajar bersama teman. Tidak hanya itu, dia juga anak yang berprestasi di sekolah dan sangat rajin beribadah. Sahabat Almera bernama Alya.

Di suatu pagi yang cerah, Almera terlihat masih tertidur di kamarnya. Dia sangat mengantuk karena terjaga semalaman untuk mengerjakan PR dan juga menjaga ibunya yang sedang sakit.

Ibu Almera berjalan mendekati kamar anaknya yang tidak berpintu dan hanya ditutupi sehelai kain batik milik ibunya. Terdengar suaranya yang merintih serak berusaha untuk membangunkan Almera. 

“Mer, ba-bangun sayang sudah siang sudah dijemput Alya tuh..“ Almera yang terkejut, langsung terbangun. 

”Astaghfirullah…… Maaf ibu aku sangat mengantuk. Maaf aku juga lupa shalat subuh,” ucap Almera mengantuk. Karena begadang dia sampai lupa shalat subuh.

“Tidak apa-apa sayang. Ibu mengerti tapi, jangan diulangi lagi,” ucap ibu lembut.

“Tapi Aku takut Allah marah. Takut aku, bu,” tiba-tiba Almera terisak.

”Almera putri ibu. Allah SWT melihat semua kebaikanmu, nak. Sudahlah mandi sana berangkat sekolah,“ ucap Ibu. Almera pun beranjak untuk pergi ke sekolah.

4 tahun kemudian, umur Almera menginjak 19 tahun. Di usia masih bersahabat dengan Alya. Saat lulus SMA, dia menjadi lulusan terbaik dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke Bandung. 

Namun dia ragu, mengingat kondisi ibunya yang semakin parah akibat sakit. Selain itu, Almera juga tidak mau berpisah dengan Alya. 

Walau begitu, ibunya mendukung 100% cita-cita Almera. 

“Pergilah, nak. Jangan khawatirkan ibu. Ada Allah yang menjaga ibu,” ucap ibu sambil tersenyum. Dia berusaha meyakinkan Almera.  

“Bismillah insyaAllah aku akan bahagiakanmu ibu,” jawaban Almera.

Akhirnya Almera berangkat dengan isak tangis bercampur rasa bangga ibu dan sahabatnya. Lambaian tangan Almera menjadi pertanda bahwa dia sudah meninggalkan kampung halamannya. 

Di Bandung, Almera tinggal di sebuah kos-kosan dekat dengan kampusnya. Jadwal kuliahnya yang sangat padat membuatnya kadang lupa sholat. 

Almera juga mengenal indahnya cinta hingga makin jauh dengan Allah SWT. Ia bahkan lupa ibu dan sahabatnya yang ada di kampung. 

Hingga pada suatu malam yang dingin, Almera baru pulang dari kampus pukul 07.30. Saat itu, Almera dijemput oleh kekasihnya bernama Angga. 

Adapun semenjak tinggal di Bandung, dia berubah menjadi gadis yang cantik. Namun, karena mengikuti alurnya kota dan zaman yang maju, dia lupa akan kesederhanaannya dan pada orang tuanya di kampung. 

“Gua anter pulang, ya, Mer?” tawar Angga.

“Iya deh capek banget ni. Gue kuliah sampai malem gini,” ucap Almera dengan wajah lesu. 

Angga adalah seorang pria tampan kaya raya. Mereka berpacaran baru enam bulan. 

“Gua langsung pulang ya udah malem.”

“Langsung tidur, Mer, besok gue jemput,” ucap Angga seraya tersenyum. 

“Oke,” Almera mengangguk.

Almera pun langsung masuk ke dalam kosannya. Setelah itu langsung meletakkan semua alat kuliahnya dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang sedikit tidak nyaman.

Namun karena kantuk yang dirasakannya, Almera tertidur tanpa melaksanakan sholat, baik itu maghrib ataupun isya. Dia tertidur hingga terbawa di dalam mimpi.

“Tidak tidak ibu..ibu.. jangan bu. Jangan. Almera sayang sama ibu. Jangan bu!” Almera berteriak dengan keringat yang bercucuran di wajahnya.

“Astaghfirullah. Cuma mimpi,“ ucapnya sambil mengelap keringat di keningnya.  Tiba-tiba, Almera meneteskan air matanya. Lalu teringat pada ibunya, “ibu!” bisik Almera sambil terisak tangis.

“Astaghfirullah apa yang sudah aku lakukan… ampuni aku ya Allah,“ ucap Almera. 

Dia kemudian bangkit dari tempat tidurnya, lalu melaksanakan sholat malam dua rakaat. Selama sholat, dia terus menangis terisak. Dia teringat pada dosa-dosanya kepada ibu dan kepada Allah SWT. Selesai sholat Almera berdo’a.

“Ya Allah yang maha pengampun. Ampunilah Almera ya Allah. Maafkan hamba yang khilaf ini. Maaf sudah lalai terhadap diri ini. Hamba sudah melupakanmu dan ibuku,” ucap Almera sambil menangis. Kini dia sadar sudah melupakan Allah SWT.

Di pagi hari, saat sekitar pukul 04.39, Almera sholat subuh untuk kemudian bergegas pergi ke kampus.  Di dalam hati Almera berdo’a, “Ya Allah, begitu mudah aku melupakan ibu. Melupakan Engkau juga Rabbku. Begitu mudah sekali bagiku untuk mencintai Angga. Jagalah hati dan diri ini untuk seterusnya ya Allah.“

Almera pergi ke kampus dengan hati tenang. Dia pun berniat untuk menghentikan hubungannya dengan Angga. Dia ingin lebih dekat kepada Allah SWT.

Kini Almera sadar begitu sulitnya menjaga keistiqomahan. Menjaga iman dan karna gemerlapnya dunia, sehingga kecintaan Almera kepada Allah dan ibunya tergoyahkan.

Setelah kejadian itu, dia lebih sering menghubungi ibunya di desa. Memberi kabar bahwa dia baik-baik saja. Dia juga meminta maaf kepada ibunya. Dia juga memberi kabar bawakan akan pulang libur semester ini. 

2. Ibu, Maafkan Aku…!!!

Cerpen tentang ibu selanjutnya ini berdasarkan pada karya Zakiah. Adapun isinya sebagai berikut.

Suatu malam, Ana bertengkar dengan ibunya. Dia sangat marah, bahkan meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. 

Saat setengah jalan, dia baru menyadari bahwa tidak membawa uang sama sekali. Hingga dia melewati sebuah kedai bakmi dengan aroma masakan yang menggoda. 

Dia ingin bakmi itu, tapi tidak memiliki cukup uang. Pemilik kedai yang melihat Ana hanya berdiri cukup lama, langsung saja mendekatinya. 

“Nona. Mau pesan bakmi?” tanya pemilik kedai.

“Iya. Tapi aku tidak punya uang,” ucap Ana malu. 

“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu,” ucap si pemilik kedai. 

“Silakan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu,” tambahnya lagi. 

Selang beberapa lama, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi.

Ana langsung saja makan beberapa suap. Namun tiba-tiba air matanya mulai berlinang.

“Ada Apa nona?” Tanya pemilik kedai.

“Tidak apa-apa. Aku hanya terharu.” jawab Ana. Dia mencoba mengeringkan air matanya.

“Bahkan, seorang yang baru kukenal. Memberiku semangkuk bakmi! Namun, ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, dia mengusirku. Dia mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah.” ucap Ana

“Kau, seorang yang baru kukenal. Tetapi begitu peduli denganku. Dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri kau sangat baik.” katanya kepada pemilik kedai.

Mendengar perkataan Ana tersebut, pemilik kedai langsung menarik nafas panjang. 

“Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini. Aku hanya memberimu bakmi, dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak nasi dan bakmi untukmu bahkan sejak kamu kecil sampai saat ini. Mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya.” ucap pemilik kedai.

Mendengar hal itu, Ana langsung terhenyak.

“Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk hanya satu mangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, ku begitu berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yang memasak untukku bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku. Malah mempersoalkan hal sepele dan bertengkar dengannya.”

Ana, segera menghabiskan bakminya. Lalu menguatkan dirinya agar cepat pulang ke rumahnya.

Saat berjalan ke rumah, dia menyusun kata-kata untuk ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, dia melihat ibunya dengan wajah cemas dan pucat.

Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama ibu katakan “Ana kau sudah pulang? Cepat masuklah! Aku telah menyiapkan makan malam. Makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan menjadi dingin, bila kamu tidak makan sekarang” ucap ibu. 

Saat itu juga, Ana tidak bisa menahan tangisnya. Dia menangis di hadapan ibunya.

3. Rindu Ibu

Cerpen tentang rindu ibu selanjutnya ini memiliki alur cerita sebagai berikut. 

Terlampau sering aku iri pada orang di sekitarku. Aku jarang bertemu ibu, sedangkan teman-temanku selalu mendapatkan kasih sayang penuh. 

“Sabar sayang. Ibu bukan tidak sayang. Tapi dia harus bekerja dulu,” ucap Ayah setiap harinya. 

Ibuku seorang TKW di Singapura. Alih-alih mengurus anaknya sendiri, ibu malah mengurus anak orang lain. Selama ini aku hanya menghubungi ibu dari Video Call. Kadang aku acuh dan marah padanya saat VC karena memang aku merindukannya. 

Tampak jelas, jika ibu kecewa. Tapi dia juga tahu bahwa anaknya selalu minta pulang, tapi dia tak bisa. 

“Ibu di sini karena kamu. Sabar, ya tinggal beberapa bulan lagi ibu pulang.” Kalimat  itu sudah sering aku dengar. 

Kadang rasa kesalku ini berlanjut di sekolah sehingga aku malas belajar. Beruntung, teman-temanku sering mengajak aku bermain, sehingga rasa kesalku berkurang. Hingga pada suatu hari, ada seorang siswa baru, namanya Abi. Dia datang dari kampung yang jauh dan pindah kesini karena ayahnya pindah kerja. 

Kebetulan saat itu, Ani duduk di dekatku. Aku menyapanya ramah dan mencoba berkenalan. 

Dia terlihat sebagai anak yang baik. Namun saat diajak bermain dia selalu menolak. 

“Aku mau bantu ayah bekerja.” Jawab Ani setiap kami ajak bermain.

Pada suatu pagi, aku datang ke sekolah dengan wajah muram. Alasan yang sama yaitu rindu pada ibu. 

Ani yang melihatnya pun penasaran. “Kamu kenapa Debi? Ko cemberut?” tanya Ani.

“Kesal sama ibu,” jawabku singkat.

Ani tambah penasaran. “Kenapa kesal?”

Aku pun menceritakannya pada Ani. 

Ani tersenyum mendengarnya dan terlihat ‘lega’.

“Ani, kenapa kamu malah tersenyum? Bukankah kamu akan kesal jika mengalami hal yang sama seperti aku?” tanyaku.

Ani pun menjawab singkat.

“Kamu beruntung,” jawab Ani. Aku tambah kesal. 

“Kenapa bisa disebut beruntung?” Tanyaku. 

“Kamu beruntung karena masih punya ibu,” jawab Ani. Aku sedikit kaget.

“Ibuku meninggal beberapa bulan lalu. Dia meninggal karena kecelakaan. Aku pindah kesini karena bapak ingin melupakan momen bersama ibu. Dia bekerja sebagai pedagang keliling. Bisnis bapak hancur karena terus ingat ibu,” ucap Ani.

“Aku dengan ayah sama. Perasaanku sama. Aku rindu dan hancur tanpa ibu. Berat meninggalkan kampung halaman. Kampung di mana aku besar dengan ibu di sana,” ucap Ani.

“Tetapi hidup terus berjalan. Bapak juga perlu bekerja.” tambah Ani

Aku hanya terdiam mendengar ceritanya.

“Debi, maaf kalau aku lancang. Atau mungkin seperti sok tahu. Tapi ingatlah! ibumu masih ada walau jarak jauh. Kasih sayangnya membuat ibumu harus pergi. Tak apa, ibumu pasti pulang. Rindu yang akan terbalaskan. Meski masih lama itu rindu yang menyenangkan.”

“Sementara aku. Rinduku tak akan terbalas. Rasa kangenku sulit disembuhkan,” ucap Ani

Setelah perbincangan hangat itu, aku tak ada kesal karena rindu. Namun aku memilih menunggu dengan bahagia karena rindu ibu.

4. Belaian Ibu

Adapun cerpen tentang ibu ini berdasarkan pada karya Sri Rohmatiah Djalil yang isinya sebagai berikut.

Dum … dum … dum

Terdengar suara benda keras dari kamar sebelah. Aku pun memastikan ke sumber suara. Tampak kaki adik bungsu menendang dinding kamar. Dia menendang dengan marah. Air bening bergulir dari kelopak mata.

“Kenapa, Dik?” tanyaku penasaran.

“Ibu mana, Kak?” dia bertanya balik sembari sesegukan.

Iya, adikku ini walaupun sudah kelas empat SD masih sangat manja. Jika pulang bermain ada saja yang ditangisi. Tapi dirinya bukan sedih karena bertengkar atau kehilangan mainan.

“Kaak … panggil ibu!” bentaknya bikin kaget.

Aku pun langsung berlari ke arah Ibu berada. Seperti biasa, hari libur adalah waktunya ibu membuat pizza untuk kami terutama adik-adikku. Aku juga sebenarnya suka. Namun saat ini lagi mengurangi junk food.

“Anak cewek harus langsing tubuhnya. Jaga kesehatan!” pesan ibu.

“Makan dikit boleh kan, Bu. masa adik terus,” protesku.

“Boleh, makanya ibu membuat pizza hanya hari Minggu saja. Supaya kalian tidak terlalu banyak konsumsi terigu,” ucapnya saat itu.

Kadang adik bungsu protes, karena ibu membatasi makan pizza, “Ibu pelit. kata Pak Guru Ozy. Jika pelit, kelak kuburannya sempit,” ucapnya.

“Makanya, ibu membuat pizza tidak setahun sekali,” tegas Ibu.

“Ibuuuuuuu ….” teriak adik lagi. Aku langsung mencolek ibu.

“Adik nangis, Bu. Cepat ke sana. Nanti dia ngamuk!” ucapku.

“Kenapa dia, Kak?” tanya Ibu.

“Palingan berantem sama temannya. Cepat, Bu. Dia pukul-pukul tembok…” seruku.

Ibu segera berlari ke kamar adik. “Jaga oven ya! Sebentar lagi pizza-nya mateng. Jangan lupa lihat lewat kaca oven,” perintah Ibu. Aku hanya mengangguk.

Lagi-lagi aku yang harus menjaga kompor. Bukan tidak mau membantu Ibu. Aku sering lupa tidak melihat kue di oven. Akhirnya gosong, kena omel juga. ”Ingat jangan sambil main game!” teriak ibu. 

Aku langsung meletakkan HP di meja makan. Mataku tertuju ke arah kompor. Hidungku pasang alarm. 

“Jika sudah wangi. Atasnya menguning segera matikan kompor. Keluarkan pizza dari pemanggang.” kata Ibu. 

Benar saja, tidak berapa lama pizza sudah wangi dan menguning. Langkah pertama aku segera mematikan kompor. Selanjutnya roti bundar dengan berbagai toping aku keluarkan dari oven.

Mendengar teriakan adik yang semakin menjadi. Aku pun menyusul ibu ke kamar.

“Bu! Si Fulan tadi ngatain aku jelek.” ucap adik.

“Lagi-lagi masalah bully. Cengeng amat anak laki,” cibirku.

Mendengar ucapanku, adik semakin teriak. Persis seperti panci presto saat ibu memasak daging. 

“Kakak jahat, Kakak jahat!” teriak adik

“Duduk sini, Kak!” perintah Ibu.

Aku pun tidak bisa menolak. Aku duduk di samping ibu. 

“Eh … Kak! ambilkan pizza dan air minum, ya. Bawa ke sini!” perintah Ibu lagi.

Selang beberapa menit, aku membawa satu piring pizza dengan air putih sesuai permintaan Ibu. 

“Ayo minum dan makan dulu pizza-nya. Ini empuk banget mirip pipimu, Dik!” 

Mendengar pizza adik mulai tenang dan duduk bersebelahan dengan Ibu. Dengan lahap dia memakan pizza kesukaannya. 

Menurut teori, jika selesai menangis, anak cenderung lapar. Lebih baik jangan diajak bicara tetapi beri makanan. Teori itu memang benar. Ibu tak perlu ngomel atau memarahi anak-anak yang menangis. Cukup bawa makanan kesukaannya. Setelah itu, ajak ngobrol.  

Intinya Ibu tidak pernah memberi saran untuk melawan teman-temannya. 

”Besok juga mereka lupa. Lalu main lagi. Adik hanya perlukan pelukan dan makanan. Kakak jangan ikut meledek! Kan sudah besar.” ucap ibu

Ternyata benar apa kata Ibu, besoknya adik main lagi. Tentunya bersama temannya yang manggil dia jelek dan adik pun lupa. Mungkin terhipnotis belaian ibu dan enaknya pizza.

5. Demi Kesembuhan Anakku

Adapun cerpen tentang ibu berikutnya mengenai perjuangan untuk kesembuhan anaknya. Ceritanya sebagai berikut.

Suatu waktu, di sebuah desa terpencil, hidup seorang anak dan ibu bernama Marniah. Suaminya telah meninggal dunia sejak setahun lalu. 

Setiap harinya, ibu bekerja sebagai pengumpul barang bekas untuk dijual. Anaknya pun yang masih kelas 3 SD juga sering membantu ibu di tempat kerja. Namun suatu hari sepulang sekolah, anak menjadi korban kecelakaan sehingga harus dirawat di rumah sakit. 

Mendengar hal tersebut, ibu langsung bergegas tanpa pamit untuk melihat anak di Puskesmas. Sesampainya disana, ibu langsung menangis histeris karena melihat putranya terkapar pingsan. 

“Ibu ini ibunya anak ini..?” tanya dokter yang baru datang. 

“Iya pak, saya ibunya. Bagaimana keadaan anak saya, dok..?” tanya sang ibu.

“Anak ibu menjadi korban tabrak lari. Keadaannya saat ini cukup parah. Dia harus menerima perawatan intensif. Hal ini karena cedera di bagian kepala yang menyebabkan pendarahan..” jawab Dokter.

Mendengar jawaban tersebut, sang Ibu hanya bisa bersedih. Disisi lain, dia juga membayangkan bagaimana mendapatkan uang untuk pengobatan anaknya. 

Setelah itu, ibu mengunjungi tempat bosnya bekerja untuk meminta dana. Pemilik usaha bersedia mengabulkan permintaannya, dengan satu syaratnya. 

“Saya akan membantu ibu dengan meminjamkan uang. Namun sebagai gantinya, ibu harus bekerja disini seperti biasa. Namun 80% dari gaji ibu, setiap hari akan saya tarik untuk angsuran pinjaman..” ucap pemilik usaha.

Tentu saja ini bukanlah hal yang mudah. Hal ini karena untuk biaya hidup sehari-hari saja masih kurang. Namun karena memikirkan nasib anaknya, ibu Marniah pun akhirnya setuju.

“Baik, pak. Saya setuju dengan syaratnya.” jawab ibu.

Setelah menjalani pengobatan selama beberapa hari, akhirnya anaknya berangsur sembuh. Dia akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan sekolah kembali.

Namun sang ibu juga harus bekerja di tempat lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini karena dari tempat pekerjaan sebelumnya sudah dipotong 80%.

6. Ibuku Malaikatku

Adapun cerpen tentang ibu selanjutnya berjudul “Ibuku Malaikatku” dengan isi sebagai berikut.

Awal kisah ini bermula sejak ayah Ibnu terkena stroke setahun yang lalu. Ibu Ibnu seorang diri mencari nafkah untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. 

Ibnu yang saat itu masih duduk di kelas 6 SD tidak mampu berbuat banyak. Namun sebentar lagi Ibnu akan segera mengakhiri masa SDnya dan beranjak ke SMP. 

Nah karena itu, banyak keperluan yang perlu dipersiapkan, seperti seragam, buku dan biaya pendaftaran. Disisi lain ayah juga harus rutin berobat sekali sebulan.

Akhirnya, mau tidak mau ibu harus bekerja lebih keras lagi setiap harinya. Ibnu bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri sekolahnya saja agar bisa membantu ibu dalam bekerja.

Ibnu pernah menawarkan ide tersebut kepada ibu, namun dia langsung membentak.

“Jangan, kamu harus tetap sekolah. Tidak boleh berhenti bagaimanapun keadaan ekonomi kita. Kamu adalah anak satu-satu kami.” jawab ibu.

“Tapi bu, aku sangat kasihan melihat ibu. Setiap hari bekerja keras untuk semua ini. Aku tidak ingin lagi merepotkan ibu..” lirih Ibnu.

“Jangan sayang! Soal itu tidak perlu kamu pikirkan. Lanjutkan saja pendidikanmu! Rajinlah belajar! Agar cita-citamu bisa tercapai..” jawab ibu.

Semenjak percakapan itu, setiap kali pulang sekolah, Ibnu selalu pergi ke tempat ibu bekerja. Setiap hari ia datang kesana untuk membantu rutinitas ibunya. Meskipun sebenarnya ibu menolak, tapi Ibnu akan memaksa.

Ibu adalah malaikat di dunia. Berkorban seluruh jiwa raga setiap hari untuk anaknya dan suaminya. Semoga kelak di akhirat, ibu dan bapak kita mendapat ganjaran setimpal dari Allah SWT.

Sudah Tahu Contoh Cerpen Tentang Ibu?

Nah setelah membaca 6 cerpen tentang ibu tersebut, bagaimana pendapatmu? Sangat menyentuh, bukan? Kamu juga bisa membuat cerpen sendiri sesuai dengan kisah yang ditemukan sehari-hari sebagai bentuk rasa cinta pada ibu. Semoga bermanfaat.

Share:

Leave a Comment

You cannot copy content of this page