Prasasti Kota Kapur merupakan salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang konon katanya mengandung sebuah kutukan. Berikut adalah penjelasan lengkap tentang isi dan pendirinya. Apakah benar mengandung kutukan?
Daftar ISI
Asal-Usul Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur berasal dari pesisir barat Pulau Bangka, di Desa Kota Kapur, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Peninggalan sejarah ini tertulis dengan menggunakan aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Serta merupakan sebuah dokumen tertua yang menggunakan bahasa Melayu Kuno.
Pertama kalinya prasasti ini ditemukan oleh seseorang bernama J.K van der Meulen pada bulan Desember 1892, bersama dengan reruntuhan bangunan candi dan arca-arca wisnu. Prasasti ini juga merupakan prasasti pertama yang membahas mengenai Kerajaan Sriwijaya dan tertulis pada tahun 686 Masehi.
Kota Kapur berbentuk tugu yang bersegi-segi. Serta memiliki ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian bawah, dan 19 cm pada bagian atas. Tulisan di atasnya terdapat 10 baris. Di mana tulisannya hanya bisa terbaca dari kiri ke kanan jika prasasti dalam posisi rebah. Lalu, bagian puncak berada di sisi kiri dan sebaliknya.
H. Kern, seorang berkebangsaan Belanda yang merupakan ahli epigrafi dan bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia yang pertama kali menganalisis Prasasti Kota Kapur. Dalam analisisnya pertama kali, ia berpendapat bahwa Sriwijaya merupakan nama seorang raja.
Namun, George Coedes, sejarawan berkebangsaan Prancis mengungkap bahwa, Sriwijaya adalah sebuah nama kerajaan yang terletak di Sumatera pada abad ke-7 Masehi. Coedes juga mengemukakan bahwa Palembang merupakan ibu kota Sriwijaya pada saat masa pemerintahannya dulu.
Ia menambahkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, sampai Thailand bagian Selatan. Selain itu, Coedes mengira bahwa batu dari prasasti ini berasal dari luar karena karakteristiknya yang berbeda dengan jenis batu yang ada di Pulau Bangka.
Sampai pada tahun 2012, prasasti ini masih berada di Rijksmuseum atau museum kerajaan yang bertempat di Amsterdam, Belanda. Meskipun begitu, statusnya adalah Museum Nasional Indonesia pinjamkan, yang berarti masih menjadi kepemilikan Indonesia.
Isi Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur merupakan salah satu dari lima prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hiyan yang merupakan seorang penguasa Kerajaan Sriwijaya sekaligus pendiri Kerajaan. Tanggal penulisannya adalah hari pertama paruh terang bulan Waisaka pada tahun Saka 608 atau 28 Februari 686.
Prasasti ini berisi pasumpahan dan kutukan Datu Sriwijaya kepada semua orang yang berbuat jahat. Ini termasuk pemberontakan, persekongkolan dengan pemberontak, tidak menunjukkan rasa hormat dan kesetiaan kepada Datu Sriwijaya atau kepada pemimpin yang ia angkat, dan masih banyak lagi.
Kutukan tersebut terbentuk agar semua orang yang telah melanggar akan mati kena kutuk atau dikirim ke pimpinan Datu Sriwijaya. Serta akan mendapat hukuman bersama marga dan seluruh keluarganya.
Apalagi, orang yang berperilaku jahat. Seperti membuat seseorang sakit dan gila, menggunakan mantra, racun, dan berbagai jenis ramuan untuk menyengsarakan orang lain akan merasakan kutukan dari batu ini. Orang yang ingin menghancurkan batu ini juga akan terkena imbasnya.
Selain itu, semua orang yang patuh dan setia kepada Datu Sriwijaya akan mendapatkan doa dan berkah dari batu ini. Keturunan dan keluarganya akan mendapat keberhasilan, kesehatan, terbebas dari bencana, dan akan mendapatkan keberuntungan untuk negeri mereka.
Selain itu, baris terakhir dalam prasasti ini berbunyi bahwa mereka akan menyerang Pulau Jawa. Prasasti ini juga menjelaskan tentang keberangkatan pasukan Sriwijaya untuk memperluas daerah kekuasan mereka di Pulau Jawa dengan menaklukkan Tarumanegara.
Naskah Asli dan Terjemahan Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini merupakan salah satu kutukan untuk semua orang yang tidak patuh kepada Raja. Berikut adalah naskah asli dan terjemahannya:
1. Alih Aksara
Adapun alih aksara prasasti ini adalah sebagai berikut:
- Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai.
- Umentern bhakti ni ulun haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana. manraksa yan kadatuan çrivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan parsumpahan.
- paravis. kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka, manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya.
- Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa datua. dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu çriwi-
- jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat. makalanit uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. tamval.
- Sarambat. kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah yan dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam manu-
- ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan. saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava vua-
- tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan di yam nigalarku sanyasa dattua. çanti muah kavuatana. dngan gotrasantanana.
- Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis chakravarsatita 608 din pratipada çuklapaksa vulan vaichaka. tatkalana
- Yan manman sumpah ini. nipahat di velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi java tida bhakti ka çrivijaya.
2. Terjemahan
Berikut adalah terjemahan dari alih aksara di atas:
- Keberhasilan! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)
- Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !
- Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;
- yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka
- dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu:ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,
- saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang
- supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut
- mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya
- dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha [editor: setara dengan 28 Februari 686 Masehi], pada saat itulah
- kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya.
Baca Juga: 9 Peninggalan Prasasti Kerajaan Sriwijaya & Penjelasannya
Sudah Tahu Bagaimana Isi Prasasti Kota Kapur?
Dalam prasasti tersebut terdapat kutukan bagi semua orang yang mengkhianati kerajaan. Namun, beberapa ahli mengemukakan bahwa kutukan tersebut merupakan upaya kerajaan untuk meminimalisir pemberontakan agar mereka bisa meluaskan daerah kekuasaan mereka.
Jadi, secara sederhana fungsi prasasti ini adalah untuk membuat penduduk pada saat itu mematuhi dan menghormati Datu Sriwijaya. Serta tidak melakukan rencana pemberontakan. Sedangkan, untuk saat ini Kota Kapur menjadi pengungkap sejarah Kerajaan Sriwijaya. Semoga bermanfaat!