Salah satu faktor yang kerap menjadi hambatan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan lelaki pilihannya adalah wali nikah. Dan persoalan tentang wali nikah ini pun masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, salah satunya adalah tentang hukum menikah tanpa wali bagi seorang janda.
Sebagaimana kamu tahu, bahwa dalam tradisi pernikahan menurut Islam, wali nikah adalah orang yang berhak mengizinkan seorang perempuan untuk menikah atau kawin dengan seorang laki-laki. Wali nikah ini biasanya adalah ayah atau kakek dari calon mempelai perempuan.
Barulah jika mereka tidak ada atau tidak dapat bertindak sebagai wali, maka wali nikah bisa digantikan dengan orang yang lebih dekat dalam keluarga. Misalnya seperti saudara laki-laki, pamannya, atau sepupu laki-lakinya yang lebih tua, asalkan atas persetujuan ayah atau kakek.
Kalaupun tidak ada wali dari keluarga dekat, maka hak wali nikah bisa jatuh kepada wali hakim, yakni pejabat negara yang punya wewenang untuk mengelola urusan pernikahan. Nah, yang kerap menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika seorang janda menikah tanpa kehadiran wali? Apakah hal tersebut diperbolehkan?
Daftar ISI
Hukum Menikah Tanpa Wali Bagi Janda Menurut Empat Mazhab
Supaya lebih jelas, ada baiknya jika kamu mengetahui terlebih dahulu bagaimana pendapat para ulama dari berbagai mazhab mengenai persoalan ini. Langsung saja simak penjelasan berikut:
1. Menurut Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’i, hukum menikah tanpa wali bagi seorang janda adalah tidak boleh atau tidak sah, baik dia sudah aqil baligh ataupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW, yaitu:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
Artinya: “Barangsiapa wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari hadits ini, Imam Syafi’i menafsirkan bahwa suatu pernikahan tidak dipandang sah tanpa adanya wali nikah. Dan hal ini berlaku baik calon mempelai perempuan tersebut masih gadis atau sudah berstatus janda. Jika perempuan tersebut tetap memaksa untuk menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya harus dibatalkan.
Itu karena seorang perempuan membutuhkan perlindungan dan pembelaan dari walinya dalam urusan perkawinan. Dan kehadiran wali nikah ini adalah bertujuan membuat pria yang akan menikahi perempuan tersebut merasa segan.
Sehingga, muncul rasa tanggung jawab yang lebih besar bagi si pria untuk membimbing si perempuan.
Jikalau walinya mempersulit pernikahannya karena mempersyaratkan banyak hal yang sulit untuk diwujudkan, ada baiknya jika perempuan tersebut membujuk walinya dengan lembut. Atau bisa juga dengan meminta bantuan orang yang berilmu atau yang disegani walinya, supaya mau menikahkannya dengan lelaki pilihannya.
2. Menurut Mazhab Hambali
Pendapat mazhab Hambali dan mazhab Syafi’i kurang lebih sama dalam urusan wali nikah. Para ulama Hanabilah pun bersepakat bahwasannya menikah tanpa wali bagi perempuan itu hukumnya batal, baik dia sudah baligh dan berakal maupun belum.
Hal ini didasarkan pada salah satu hadits tentang wali nikah berikut ini:
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (H.R Ahmad dan Baihaqi)
Berdasarkan hadits di atas, ulama Hanabilah berpendapat bahwa kehadiran wali merupakan rukun pernikahan yang paling penting, karena menentukan keabsahan suatu pernikahan.
Pasalnya, hadirnya wali nikah ini sangat dibutuhkan oleh seorang perempuan, untuk menjaga kehormatan dan kepentingannya dalam pernikahan. Sekalipun dia janda, dia jauh lebih rentan dan mudah didzalimi daripada laki-laki dalam kehidupan pernikahan.
Dan jika seorang janda memaksa untuk menikah tanpa wali, maka hukumnya adalah nikah sirri, baik dalam hukum agama maupun hukum negara. Pernikahan sirri ini dikhawatirkan akan menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap si perempuan, entah itu disakiti, tidak dinafkahi, dan sebagainya.
3. Menurut Mazhab Maliki
Berbeda dengan dua mazhab sebelumnya, para ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukum menikah tanpa wali bagi seorang janda adalah sah atau diperbolehkan. Hukum tersebut berlaku asalkan dia sudah aqil baligh dan tidak ada halangan syar’i yang menghalangi pernikahannya. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang berbunyi:
لا نكاح إلا بولي
Artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)
Maksud wali dalam hadits ini bukanlah wali keluarga, melainkan wali hakim. Jadi, diperbolehkan bagi seorang janda menikah tanpa wali keluarga, asalkan dia mendapatkan persetujuan dari wali hakim terlebih dahulu.
Sebab, para ulama Malikiyah berpandangan bahwa seorang janda dinilai lebih mandiri dan dewasa dalam urusan pernikahan daripada seorang gadis. Inilah yang membuat seorang janda dianggap lebih mampu mengurus pernikahannya secara mandiri.
4. Pendapat Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafiyah, wali nikah tidak termasuk ke dalam syarat sah sebuah pernikahan bagi perempuan yang sudah aqil baligh, hal ini termasuk janda.
Hal ini didasarkan pada salah satu hadits Nabi SAW yakni:
البكر تستأمر والثيب تستأذن وإذنها سكوتها
Artinya: “Seorang gadis harus dimintai izin (oleh walinya), dan seorang janda harus dimintai persetujuan (oleh calon suaminya), dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits tersebut, para ulama Hanafiyah mengartikan bahwasannya seorang janda hanya memerlukan persetujuan dari calon suaminya jika ingin menikah, bukan persetujuan dari walinya. Jika dia tidak menolak atau diam, maka itu bisa diartikan sebagai bentuk persetujuannya.
Menurut mazhab Hanafi, seorang janda dianggap lebih tahu tentang kepentingan dan kebutuhannya sendiri dalam urusan pernikahan, sehingga dirinya lebih berhak untuk menentukan lelaki pilihannya sendiri.
Selain itu, para ulama Hanafiyah juga setuju, bahwasannya seorang wali tidak bisa memaksa si perempuan untuk menikah tanpa persetujuannya, asalkan calon mempelai lelakinya sekufu (sepadan agamanya, status sosialnya, dll). Lantas, bagaimana jika tidak sekufu?
Jika demikian, maka wali memiliki hak ijbar untuk membatalkan pernikahan anak perempuannya, sehingga disebut sebagai wali mujbir.
Yang dimaksud dengan wali mujbir di sini adalah orang yang dinilai lebih memahami kondisi anak perempuannya dan mencarikan calon pasangan yang lebih baik bagi anaknya, bukan dalam rangka memaksa. Namun, hak ijbar ini dianggap hanya berlaku pada perempuan yang belum aqil baligh. Dan dalam hal ini, janda tidak termasuk.
Dengan demikian, hak ijbar jarang sekali bahkan hampir tidak pernah berlaku bagi perempuan berstatus janda. Hak ijbar menurut mazhab Hanafi hanya berlaku untuk wali (ayah atau kakek) untuk menikahkan anak perempuannya yang belum dewasa atau cukup umur.
Alasan Mazhab Hanafi Membolehkan Janda Menikah Tanpa Wali
Pendapat mazhab Hanafi tentang hukum menikah tanpa wali bagi seorang janda ini ternyata didasarkan pada sejumlah dalil, di antaranya:
أنّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
(رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَبُودَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَمَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ)
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Wanita yang belum menikah lebih berhak atas dirinya daripada walinya (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Malik dalam al Muwatha’)”
Selain itu, ada juga hadits yang artinya, “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis dimintai persetujuannya dan persetujuannya adalah diamnya.”
Dari dua hadits tersebutlah kemudian para ulama Hanafiyah menyatakan bahwa seorang perempuan yang tidak memiliki pasangan, baik itu masih gadis maupun sudah janda, boleh untuk menikah tanpa wali.
Jadi, Apa Hukum Menikah Tanpa Wali Bagi Seorang Janda?
Dari beberapa mazhab di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menikah tanpa wali bagi seorang janda masih menimbulkan perdebatan. Namun, jika dilihat dari produk hukum keluarga Indonesia yang sebagian besar lebih condong kepada mazhab Syafi’i, maka hukumnya adalah batal atau tidak sah.
Dari sisi hukum negara pun, wali nikah merupakan syarat rukun yang wajib ada dalam pernikahan. Hal ini didasarkan pada Hukum Islam pasal 14 serta Permenag Nomor 19 Tahun 2018. Jadi, bagi WNI muslim perempuan yang menikah tanpa wali, baik itu gadis atau janda, hukumnya tidak sah di mata hukum negara.