Karma adalah salah satu istilah yang sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Apalagi sebagian besar orang juga percaya dengan adanya hukum karma. Namun, sebenarnya apakah hukum karma dalam Islam benar-benar ada?
Pertanyaan tersebut memang kerap muncul di benak umat muslim. Sebab, istilah karma sendiri lebih mengarah pada agama Hindu dan Buddha. Nah, untukmu yang ingin tahu informasi selengkapnya tentang hukum karma dalam agama Islam, simak artikel di bawah ini sampai akhir, ya.
Daftar ISI
Hukum Karma dalam Agama Hindu dan Budha
Dalam bahasa Sansekerta, karma berasal dari kata karmaphala yang memiliki artinya perbuatan dan hasil yang akan didapatkan dari perbuatan. Sedangkan sebutan untuk akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut disebut dengan karma vipaka.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa istilah karma lebih banyak merujuk pada ajaran agama Hindu dan Budha. Adapun makna karma dalam agama Hindu adalah perbuatan dan karma atas kehendak Brahman yang sumbernya berasal dari pikiran, perkataan, serta perbuatan manusia.
Sedangkan dalam agama Buddha, karma merupakan perbuatan baik dan jahat yang dilakukan oleh seseorang melalui jasmani, ucapan, dan juga pikiran yang kemudian disertai dengan kehendak atau niat.
Apakah Ada Hukum Karma dalam Islam?
Lantas, bagaimana cara pandang Islam terhadap konsep hukum karma ini? Jadi, hukum karma dalam agama Islam sebenarnya tidak ada. Sebab, umat muslim percaya bahwa hanya ada ketentuan dan takdir Allah SWT yang sudah diatur sedemikian rupa untuk kepentingan hidup manusia,
Artinya, setiap perkara yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT sudah pasti memiliki kebaikannya masing-masing. Meskipun dalam realitanya, terkadang masih ada manusia yang kurang menyukainya.
Adapun bukti bahwa tidak ada hukum karma dalam agama Islam sudah dijelaskan dalam Al-Quran, tepatnya di Surat Al Fathir ayat 18 yang berbunyi sebagai berikut:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى ۗوَاِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ اِلٰى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۗ اِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ ۗوَمَنْ تَزَكّٰى فَاِنَّمَا يَتَزَكّٰى لِنَفْسِهٖ ۗوَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ
Artinya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat engkau beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada (azab) Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka yang melaksanakan shalat. Dan barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya dia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah tempat kembali.”
Walaupun begitu, agama Islam tetap mengajarkan kepada umat muslim untuk senantiasa berpikir bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Begitu juga sebaliknya, di mana setiap keburukan akan dibalas dengan keburukan.
Hukum Dzarroh dalam Islam
Biasanya, umat muslim menyebut konsep balasan terhadap setiap perbuatan dengan istilah hukum dzarroh, dibanding dengan sebutan hukum karma, hukum tabur-tuai, ataupun hukum konsekuensi. Jadi, tidak ada hukum karma dalam Islam.
Hukum dzarroh ini dimaksudkan bahwa setiap perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan manusia, meskipun itu hanyalah sekecil biji dzarroh, maka akan tetap mendapatkan balasannya. Hal ini juga tertuang dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 yang berbunyi sebagai berikut:
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ
Artinya: “Maka, barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarroh, niscaya dia akan melihat (balasannya) dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarroh, niscaya dia akan melihat balasannya.”
Kemudian, selain dalam Surat Al Zalzalah, penjelasan mengenai hukum dzarroh ini juga disebutkan dalam Surat Lukman ayat 16. Di mana kala itu Lukman tengah mengajarkan anaknya terkait dengan hukum perbuatan tersebut. Berikut adalah bunyi ayat dalam Surat Lukman ini:
يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “(Lukman berkata), ‘Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Mahateliti.’”
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa hukum karma dalam Islam tidak dibenarkan untuk dipercaya oleh umat muslim.
Sebaliknya, umat muslim justru harus menghindari adanya prasangka yang menyatakan bahwa segala kejadian yang dialami merupakan sebuah balasan dari perilaku diri sendiri atau perilaku leluhur di masa lalu.
Dengan kata lain, percaya terhadap hukum karma dalam agama Islam artinya telah membawa diri sendiri kepada kemusyrikan dan nantinya akan diminta pertanggungjawaban saat di akhirat kelak.
Balasan Bagi Setiap Perbuatan Umat Muslim dalam Ajaran Islam
Seperti yang kita ketahui, bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Sehingga, tidak ada hukum karma dalam Islam. Bahkan, konsep keadilan ini juga menjadi salah satu nama Allah SWT dalam Asmaul Husna, yakni Al-’Adl yang artinya adalah Yang Maha Adil.
Tak hanya itu saja, terkait dengan hukum balasan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh umat muslim juga telah disebutkan dalam Surat An Nahl ayat 37, yang berbunyi:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Apakah Karma Dapat Menurun ke Anak?
Meskipun sudah dijelaskan dengan rinci terkait dengan perspektif agama Islam terhadap hukum karma, namun masih ada sebagian umat muslim yang bertanya-tanya tentang, “Apakah nantinya karma tersebut dapat menurun ke anak?”.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa agama Islam tidak membenarkan adanya karma. Jadi, Islam pun telah menjelaskan bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat memikul dosa orang lain, sebagaimana yang sudah disebutkan dalam Surat Al Fatir ayat 18.
Dari penjelasan dalam Surat Al Fatir ayat 18 tersebut, maka umat muslim dapat mengambil kesimpulan bahwa pernyataan ‘karma dapat menurun ke anak’ tidaklah dibenarkan. Hal ini karena sesungguhnya setiap orang akan memikul dosa yang dilakukannya masing-masing.
Sebagai contoh, jika orang tua melakukan dosa besar karena melakukan zina sebelum menikah hingga lahirlah seorang anak, maka anak tersebut tidak akan menanggung dosa dari kedua orang tuanya. Artinya, dosa dari perbuatan zina yang dilakukan tetaplah menjadi pertanggungjawaban si orang tua.
Sudah Paham Tentang Hukum Karma dalam Islam?
Itu dia penjelasan singkat mengenai hukum karma dalam agama Islam yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Semoga informasi tentang hukum karma menurut pandangan agama Islam tersebut dapat membuka wawasan kita, ya.