Pada masa penjajahan kolonial Belanda, para penjajah meninggalkan salah satu warisan dalam hal dunia politik yang bernama politik adu domba. Istilah ini juga terkenal dengan nama Devide et Impera atau politik pecah belah. Sesuai dengan namanya, politik ini bertujuan untuk memecahkan hubungan dalam politik.
Saat ini, Indonesia akan melakukan pemilihan umum untuk memilih calon presiden. Oleh sebab itu, perlu perhatian khusus agar tidak timbul Devide et Impera yang dapat merugikan semua pihak. Lalu, apa arti sebenarnya dari Devide et Impera? Berikut penjelasan arti, tujuan, dampak, contoh, dan bangsa penganutnya.
Daftar ISI
Definisi Politik Adu Domba
Menurut Maman A. Majid Binfas dalam buku “Mamonisme”, politik adu domba adalah memutuskan hubungan dengan membentrokkan (mengadu domba) kelompok dengan kekuatan besar yang paling berpengaruh. Julius Cesar pertama kali mengenalkan istilah ini sebagai strategi untuk membentuk kekaisaran romawi.
Di Indonesia, strategi politik ini pertama kali masuk pada saat penjajahan Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Belanda menggunakan strategi politik ini untuk mengambil keuntungan dalam hal politik, ekonomi, dan militer. Salah satu caranya yaitu memengaruhi raja-raja yang berkuasa di wilayah Nusantara.
Secara umum, arti dari Devide et Impera yaitu strategi politik, militer, dan ekonomi guna memecah belah suatu daerah atau kekuasaan agar dapat dikuasai dengan mudah.
Tujuan Devide et Impera
Politik adu domba pertama kali hadir di Indonesia untuk memecah belah raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Tujuannya yaitu untuk mencari profit secara besar-besaran melalui penaklukan kerajaan di wilayah Indonesia, mengendalikan jalur perdagangan, dan mendominasi perdagangan rempah-rempah di Asia.
Namun, seiring berkembangnya waktu, tujuan politik pecah belah adalah untuk membuat dan menghasilkan perpecahan kekuasaan dan keselarasan dalam kehidupan masyarakat di wilayah tertentu. Apabila kekuasaan sudah terpecah, maka akan lebih mudah untuk melakukan hegemoni.
Selain itu, menggunakan strategi politik ini juga mampu meminimalisir usaha militer dan biaya serta korban yang banyak bagi penganut politik ini. Faktor utamanya adalah karena hanya perlu mengadu domba penguasa dan lebih efisien. Terlebih aliansi yang cukup besar dapat mempertahankan strategi ini dalam waktu lama.
Dampak Penggunaan Strategi Politik Pecah Belah
Dengan mengetahui tujuan dari politik adu domba yang menimbulkan perpecahan antar penguasa, tentu ada dampak yang masyarakat atau yang terlibat dapatkan saat menggunakan strategi politik ini. Beberapa akibat yang muncul adalah:
- Mengakibatkan dorongan permusuhan, hilang rasa kepercayaan antar kelompok atau masyarakat
- Menciptakan sikap konsumerisme guna menjatuhkan biaya politik dan militer
- Menimbulkan perpecahan antar kelompok dan masyarakat agar aliansi berkurang sehingga dapat melawan kekuasaan yang ada
- Menimbulkan banyak sosok baru untuk bersaing dan mengalahkan satu sama lain
- Memicu adanya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di suatu negara
- Menciptakan seorang musuh
Dampak-dampak yang muncul akibat dari Devide et Impera dapat memecahkan suatu negara. Oleh sebab itu, setiap pemerintahan perlu menghindari penggunaan strategi politik ini, terutama di Indonesia yang merupakan negara kesatuan.
Contoh Kasus Politik Adu Domba di Indonesia
Faktanya, penjajah Belanda telah mengenalkan strategi politik adu domba sejak lama, sehingga telah banyak kasus yang terjadi di Indonesia. Beberapa kasus yang terjadi adalah kasus kerajaan-kerajaan yang runtuh akibat Devide et Impera. Namun, ada juga kasus-kasus lainnya, seperti:
1. Runtuhnya Kerajaan Banten
Kerajaan Banten di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1683) berada pada masa kejayaannya, terutama dalam bidang politik, ekonomi, dan militer. Ia juga berteman baik dengan penguasa daerah Lampung, Gowa, Ternate, Cirebon dan Aceh.
Pada saat itu juga, Sultan Ageng Tirtayasa bersikeras melawan Belanda. Akibatnya, VOC menggunakan strategi politik adu domba terhadap Sultan Haji, putranya, untuk menyerang Kerajaan Banten. VOC menggunakan strategi ini untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa bersama dengan Sultan Haji.
Akibatnya, pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa masuk penjara dan VOC memenangkan kekuasaan di Banten. Kemudian, Sultan Haji menjadi pemimpin kerajaan dan karena ada pengaruh dari VOC, Kerajaan Banten menjadi hancur dan runtuh. Akhirnya, pada awal abad ke-19, Belanda menghapus Kerajaan Banten.
2. Perang Padri (1803-1821)
Perang Padri terjadi pada tahun 1803 sampai dengan 1821 di Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol memimpin perang ini dengan bantuan kolonial Belanda yang menggunakan Devide et Impera. Belanda menggunakan Kaum Adat sebagai senjata untuk menyerang Tuanku Imam Bonjol dan Kaum Padri.
Awal mulanya, Kaum Adat masih suka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama. Seperti berjudi, sabung ayam, suka mabuk, tidak melakukan kewajiban umat Islam, dan sebagainya.
Kemudian, Kaum Padri berusaha menasehati, namun Kaum Adat menolaknya. Akibatnya, terjadi Perang Padri selama bertahun-tahun.
Kaum Adat kewalahan dan meminta bantuan Belanda dengan imbalan wilayah Minangkabau sebagian. Namun, saat akan perang, Belanda mengulur waktu dengan banyak alasan hingga Kaum Adat tersadar bahwa Belanda hanya mengadu domba mereka. Akhirnya, Kaum Adat dan Padri bersatu mengusir Belanda.
3. Pengeboman Gereja di Surabaya untuk Adu Domba Agama
Selain kasus pada jaman penjajahan Belanda, saat ini juga ada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia karena keinginan untuk memecah belah dengan adu domba. Contohnya kasus pengeboman Gereja di Surabaya pada tahun 2018. Peristiwa ini terjadi karena teroris yang ingin memecah belah umat beragama.
Kejadian tersebut merupakan bom dari satu keluarga yang terduga teroris. Dengan meledakkannya di tempat ibadah, yaitu gereja, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa serangan itu merupakan adu domba kepada umat beragama. Selain itu, kejadian bom itu meledak ketika umat Nasrani sedang beribadah.
Akibatnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menghimbau agar kejahatan seperti pengeboman tersebut tidak terjadi lagi. Begitu juga MUI yang pada saat itu mengatakan agar umat Islam dan Nasrani dapat menahan diri agar tidak terjadi pertikaian antar umat beragama.
4. Politik Adu Domba TNI, Polri, dan BIN
Pada tahun 2013, ada sebuah kasus politik pecah belah antara TNI, Polri, dan BIN. Pihak asinglah yang menciptakan isu seakan-akan pihak BIN membuat wawancara dan Polri menggunakan senjata ilegal. Dengan menggunakan politik adu domba, pihak asing ingin meruntuhkan Indonesia yang rukun, akur, dan damai.
Kejadian yang terjadi kepada BIN (Badan Intelijen Negara) adalah adanya wawancara fiktif oleh Kepala BIN. Faktanya, wawancara tersebut tidak pernah terjadi. Selanjutnya, kasus Polri yaitu menuduh menggunakan senjata-senjata ilegal. Namun setelah ditelusuri, ternyata itu kumpulan senjata konflik Yaman tahun 2016.
Pengamat Intelijen Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menyatakan bahwa isu kejadian-kejadian tersebut hanyalah usaha untuk memecah belah Indonesia melalui keinginan pihak asing.
Upaya yang pihak asing lakukan yaitu dengan cara menyebarkan hoax yang dapat membuat orang salah paham. Oleh sebab itu, setiap masyarakat harus berhati-hati.
Negara Asing yang Menggunakan Strategi Adu Domba
Faktanya, menggunakan Devide et Impera sangat dilarang di Indonesia karena bertentangan dengan Pancasila. Terlebih lagi, di tahun 2023 ini, Indonesia tengah menyiapkan pemilihan umum presiden di tahun 2024 nanti. Oleh sebab itu, pemerintah menghimbau agar tidak ada yang menggunakan strategi berbahaya ini.
Namun, hal tersebut tidak memungkiri adanya penggunaan strategi politik adu domba guna menguasai wilayah lain. Masih ada beberapa negara lain yang menggunakan strategi politik ini untuk meruntuhkan kesatuan negara dan mendapatkan daerahnya. Beberapa negara itu adalah:
1. Amerika
Amerika menggunakan strategi adu domba tersembunyi untuk menguasai wilayah Asia. Untuk menyerang, Amerika mengirimkan armada perang ke wilayah perairan Laut Cina Selatan. Akibatnya, terjadi kekacauan antara Cina dengan Filipina dan Vietnam karena kepemilikan perbatasan wilayah Laut Cina.
Pada saat itu, Amerika membantu Filipina dan Vietnam untuk menyerang Cina. Akhirnya, Cina dan beberapa negara di wilayah Laut Cina mengalami ketegangan karena ulah Amerika yang ikut campur.
2. Inggris
Presiden Soekarno, pada masanya merupakan tokoh yang sangat penting sehingga banyak negara menyukainya, termasuk Inggris. Namun, Soekarno saat itu juga dekat dengan negara komunis, Cina. Akibatnya, Inggris tidak terima dan bersama dengan Amerika, terlibat dalam pemberontakan PRRI Permesta karena hal tersebut.
3. Cina
Cina mendukung pasokan senjata yang sangat banyak untuk Kamboja ketika berperang melawan Vietnam. Penyebabnya adalah Cina tidak terima karena Vietnam berhasil merebut Kamboja serta menjatuhkan rezim Khmer Merah yang secara tidak langsung milik negara Cina.
Hati-hati, Jangan Sampai Kena Politik Adu Domba!
Setelah mengetahui tentang bahaya adanya politik adu domba yang dapat mengancam rasa persatuan dan kesatuan negara Indonesia, sudah seharusnya untuk berhati-hati dalam menggunakan strategi. Tentu, menggunakan berbagai macam cara memang diperbolehkan, namun jangan sampai memecah belah.
Selain itu, ditengah persiapan pemilu 2024, seluruh rakyat Indonesia perlu berhati-hati dan bijak dalam menanggapi berita yang ada agar terhindar dari akibat dari Devide et Impera. Jadi, siapkan diri dengan lebih cerdik mencari kebenaran daripada langsung percaya pada rumor yang beredar.